Di lingkungan kecil keluarga, ada kesulitan besar untuk mengajak anggota untuk tekun memanjangkan mata, menyimak huruf-huruf dan merangkai kata per kata. Baik latin maupun arab. Walau sedari kecil sudah sering dituntun dan diteladani, ternyata belum tertular juga.
Maunya memanjakan mata melihat tayangan-tayangan saja. Giliran disuruh membaca, ampun, langsung membuang muka. Kalau pun mau membaca, cuma sebentar lalu bubar. Tak ada daya tahan.
Memang tidak mudah. Bersyukurlah bagi mereka yang mempunyai literasi yang baik. Ia tidak saja berguna untuk urusan dunia, tetapi menuntun ke jalan yang menyenangkan di jalan Tuhan. Bagi yang senang membaca, ternyata membantu dalam mendalami dan menekuni teks-teks Quran dan Hadits. Membaca bukan sebuah kendala, tetapi sebuah karunia dan kesenangan bisa berlama-lama. Penuh energi dan sarat imajinasi.
Dan izinkan kali ini saya mengaitkan kegiatan membaca ini dengan wahyu pertama turunnya Quran: iqra’. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulya, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5). Kata ‘iqra’ (bacalah) berasal dari akar kata ‘qara’a, yang meliputi segenap bacaan yang bersumber dari Sang Pencipta (Al-Qur’an atau kitab-kitab suci sebelumnya).
Ini berarti perintah ‘iqra’ dapat didefinisikan sebagai menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca baik teks atau ayat-ayat tertulis yang berasal dari Allah maupun ayat-ayat tidak tertulis yang tersebar dalam segala fenomena kehidupan di alam semesta. Relevansinya, ada manfaat dan nilai ibadah di sana ketika kita bisa dan mau membaca.
Anda boleh membaca banyak buku, e-book, internet, mendengarkan ceramah, dan karya ilmiah lainnya, tapi jangan lupa “membaca” diri Anda sendiri. Dari pengalaman masa kecil, mimpi-mimpi, catatan sekolah, orang-orang yang Anda sukai, sampai asal-usul, visi-misi kehidupan, dan lain-lainnya. Tanpa mengenali diri Anda, semua pengetahuan tidak akan berguna dan bahkan bisa menyesatkan. Makanya, ditulis di sebuah buku tua; “Raja segala pengetahuan adalah pengetahuan tentang siapa diri Anda.”
Berangkat dari sini, kemampuan membaca dimaksudkan untuk memahami lebih jauh titah bahwa Allah tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaNya. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melaikan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. az-Zariyat: 56)
Walau begitu, dalam perkembangan selanjutnya membaca tetap perlu kehati-hatian. Biar tidak salah arah, terjerumus sesatnya pikiran. Seperti pesan keras dari tokoh spiritual dunia di medsos berbunyi: “Anda semua sudah salah kaprah mengerti Tuhan”. Sedih tentu saja membaca pesan ini. Sejujurnya, Tuhan yang kita temukan sangat tergantung pada kebersihan hati kita masing-masing dan dari mana kita mengambil jalan pengertian itu. Ia yang pemarah menemukan Tuhan yang juga pemarah. Ia yang pemurah menemukan Tuhan yang juga pemurah.
Hal ini bisa diandaikan 2 pendaki yang mendaki gunung dari arah berlawanan, yang satu dari timur, yang satu dari barat. Saat matahari mau tenggelam, Gurunya bertanya soal di mana posisi matahari. Yang mendaki dari barat mengatakan di belakang, yang mendaki dari timur menyebut di depan. Dan berdebatlah mereka seru sekali: “belakang, depan, belakang…”. Sang Guru yang sudah di puncak hanya senyum-senyum saja, sambil membaca pesan tua; “Ada banyak jalan menuju puncak, tapi hanya ada satu puncak yakni puncak jalan cinta Ilahi.” Ya Rohman, Ya Rahim.
Yang terpenting lagi dalam membaca adalah jangan sampai terlewat. Ada kalanya kita membaca bab-bab yang menyenangkan, maka hati senang dan terus semangat. Tapi ada saatnya bertemu dengan bab-bab yang membencikan, hati sedih dan ingin menyobeknya. Harus diingat bahwa buku kehidupan selalu berisi bab-bab yang menyenangkan dan bab-bab yang menyedihkan. Membuang salah satu bab berarti membuang bab penting di buku suci kehidupan. Sebab tanpa membaca bab ini, bab berikutnya sungguh tidak bisa dimengerti.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
“ مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِينَ وَمَنْ قَامَ بِمِائَةِ آيَةٍ كُتِبَ مِنَ الْقَانِتِينَ وَمَنْ قَامَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنَ الْمُقَنْطَرِينَ ”
Dari Abdullah bin Amr bin Ash dia berkata, Rasulullah sallallahu alahi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan (membaca) sepuluh ayat, maka dia tidak termasuk golongan orang-orang lalai. Dan barangsiapa yang menunaikan seratus ayat, maka dia termasuk qanitin (ahli ibadah/tunduk). Barangsiapa menunaikan seribu ayat, maka dia termasuk golongan orang Muqanthirin (orang kaya-banyak pahala).” (Rowahu Abu Daud)
Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang.
Tulisan yg menarik dan menggugah.
Terima kasih
Rasanya masih kurang panjang hehehehe penjabaran kok udh selesai saja