Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Pada sebuah obrolan ringan di suatu pertemuan santai kala senja, diiringi rintik gerimis yang romantis, seorang motivator kondang, dengan suara parau di akhir sesinya bertanya; “Apakah ada di dunia ini yang lebih berarti daripada kebahagiaan?” Itu pertanyaan yang masih terus menempel kuat di benak. Seolah menjadi PR yang harus dikerjakan sampai hari ini, tidak bisa terabaikan. Walaupun kebahagiaan itu beragam, sebelum disepakati maksud dan tujuannya. Dan kebahagian seolah berevolusi sesuai zaman dan keadaan. Namun yang pasti, kebahagiaan adalah salah satu tujuan universal manusia, sedangkan makna dan nilai kebahagiaan bisa berbeda untuk setiap kepala. Bertingkat dan berjenjang.
Namun, bisa ditemukan fakta di mana-mana, sebagai perwakilan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, semua orang ternyata pengin bahagia. Ditilik dari ucapan misalnya, pada proses kelahiran, kita sering berujar semoga anaknya hidup bahagia dunia dan akhirat. Kepada kedua mempelai yang baru menikah, kita ucapkan semoga berbahagia. Juga pada proses kematian tersemat harapan bahagia di alam sana. Dalam setiap kesempatan berdoa pun, kebanyakan tak lupa memohon kebahagiaan; baik di dunia maupun akhirat, dengan berbagai versi bahasa dan bermacam bahan untuk menjadi bahagia. Ada yang lengkap, ada juga yang menganggap sudah lengkap.
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍوَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” sedangkan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun. Di antara mereka ada juga yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.” (QS Al-Baqarah:200-201)
Fakta kedua, ditemukan bahwa semua orang tidak ada yang mau hidup susah, kecuali terpaksa. Maksudnya setelah tidak berhasil mendekapnya. Setiap orang rela berusaha siang – malam dan banting – tulang untuk meraihnya. Tidak kenal waktu, 24 jam sehari rasanya masih belum cukup. Tidak kenal lelah, segala macam cara dicoba asal bahagia. Tidak ada kata menyerah, kalau bisa cukup saya saja yang menderita asal anak-cucu berbahagia. Bahkan sampai ada yang lupa diri, putus asa, hingga berakhir di rumah sakit jiwa, seperti cerita Lulu berikut.
Alkisah di sebuah rumah sakit jiwa, ada dua pasien yang terus-menerus memanggil wanita bernama Lulu, sambil membentur-benturkan kepala. Lulu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan memikat, sehingga banyak pria jatuh cinta padanya. Pasien pertama, dia menjadi pasien rumah sakit jiwa karena cintanya kepada Lulu ditolak. Dia tidak bisa menerima kenyataan tersebut, sehingga pikirannya terganggu dan akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa. Baginya, Lulu adalah cinta sejatinya, dan penolakan Lulu membuat hidupnya terasa hancur. Pria kedua, tampaknya lebih beruntung dibanding pria pertama. Pasien kedua adalah pria yang berhasil menikahi Lulu. Namun, setelah menikah, dia justru menemukan bahwa Lulu tidak seperti yang dia bayangkan. Kehidupan pernikahan mereka penuh konflik, dan Lulu tidak mampu memenuhi ekspektasi kebahagiaannya. Kekecewaan ini membuatnya kehilangan kewarasan dan akhirnya juga dirawat di rumah sakit jiwa.
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS Al-Hadid:20)
Ketiga, kadang semakin keras berusaha mendapatkannya, yang terjadi malah semakin menjauh. Semakin dikejar, semakin lari kencang. Semakin dipuji, semakin meninggi. Semakin dalam menyelam, semakin dalam tenggelam. Kebahagiaan yang didambakan, tak kunjung mendekat. Bagai pungguk merindukan bulan. Dan, darinya banyak cerita yang berujung duka, lantaran tak kunjung meraihnya. Frustasi. Kebahagiaan seolah barang super mahal, sesuatu yang susah didapatkan. Simaklah cerita berikut. Seorang muda datang kepada seorang Guru dan bertanya, “Kira-kira saya membutuhkan berapa waktu untuk memperoleh penerangan batin?” Kata Guru itu, “Sepuluh tahun.” Orang muda itu terkejut. “Begitu lama?” tanyanya tidak percaya. Kata Guru itu, “Tidak, saya keliru. Engkau membutuhkan dua puluh tahun.” Orang muda itu bertanya, “Mengapa Guru lipatkan dua?” Guru itu berkata, “Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan tiga puluh tahun.”
Kebanyakan orang tidak pernah belajar sesuatu karena mereka menggenggam segala sesuatu terlalu cepat. Kebahagiaan dan kebijaksanaan bukanlah suatu titik sampai akan tetapi suatu cara berjalan. Kalau engkau berjalan terlalu cepat, engkau tidak akan melihat pemandangan yang indah. Dengan tepat mengerti ke mana engkau menuju mungkin adalah cara yang paling tepat untuk tersesat. Namun, tidak semua orang bergelandangan tersesat.
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ “ طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنِعَ ”
Dari Fadhalah bin Ubaid, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, _“Beruntung/berbahagialah orang yang diberi hidayah kepada islam dan kehidupannya cukup (tidak meminta – minta) dan menerima (qona’ah dengan yang ada).” (HR At-Tirmidzi)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ ”
Dari Abdullah bin Amr, bahwasanya rasulullah SAW bersabda, _“Sungguh berbahagia/beruntung orang yang memeluk islam kemudian diberi rejeki yang cukup dan Allah menganugerahkan sifat qonaah (nerimo) dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR Muslim)
Berdasarkan cerita-carita dan wasiat tua di atas, para penekun kehidupan dan guru-guru bijak di dunia ini, berkomentar serupa. Bahwa kata kunci mencari kebahagiaan adalah qona’ah – menerima. Dan menerima adalah perbuatan hati bukan? Setiap orang punya hati. Dengannya orang bisa menjadi bahagia. Maka, jika kita ingin mencari kebahagiaan, perbaikilah hati. Poleslah, agar benar – benar kita tahu dan kenal dengan hati kita sendiri. Sebab perjalanan terberat dan terjauh adalah perjalanan masuk ke dalam diri sendiri, mengenal hati sendiri. Walau letaknya hanya sejengkal dari dahi.
Kebahagiaan sejati adalah hasil dari kedamaian batin, kesadaran penuh, cinta, dan penerimaan. Dengan hidup dalam kesadaran, melepaskan keterikatan, kemudian memberi cinta, kita dapat menemukan kebahagiaan yang tidak tergantung pada kondisi eksternal. Bahagia bukanlah tujuan, melainkan cara kita menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran dan cinta. Kesalahan kebanyakan orang mirip kisah lucu berikut ini. Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari sebuah jarum yang hilang. Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut. Tetapi selama sejam penuh mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.
Tetangganya pun bertanya, “Sebenarnya jarumnya jatuh dimana?”
“Jarumnya jatuh di dalam rumah,” jawab Nasruddin.
“Kalau jarum jatuhnya di dalam, kenapa mencarinya di luar?” tanya tetangganya.
Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, “Karena di dalam gelap, di luar terang.”
Begitulah, gambaran perjalanan kita mencari kebahagiaan dan kedamaian. Sering kali kita salah arah, salah tempat. Banyak orang yang mencari kebahagian tetapi salah alamat. Kebanyakan orang mencarinya di luar. Banyak orang yang mencari kebahagiaan di luar obyek yang sebenarnya. Alhasil pencarian itu tidak mendapatkan apa-apa. Gatot alias gagal total. Sebenarnya daerah tergelap dan terdalam dalam mencari kebahagiaan, kedamaian dan keindahan, adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak ‘sumur’ kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu juga mencarinya jauh-jauh, karena ‘sumur’ itu berada di dalam diri semua orang. Tetapi karena alasan ’gelap’, banyak orang meninggalkannya. Padahal sejatinya, setiap orang tinggal mengeksplorasi dan mengekspresikan apa yang di dalam diri masing – masing untuk menjadi bahagia. Tinggal membelokkan pencarian yang sekarang berorientasi keluar, menjadi mencari ke dalam diri masing – masing.
Jadi, untuk memulai perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan, mulailah mengenali diri sendiri, potensi dan indahnya karunia Alah yang telah diberikan kepada kita semua ini. Orientasi ke dalam, bukan ke luar. Berprinsip menerima, bukan grangsang (rakus). Dan dalam bahasa indah keimanan tindakan ini merupakan rintisan serta penerapan syukur yang sebenar – benarnya.