Yogyakarta (3/10) Da’i atau juru dakwah sebagai teladan moralitas, dituntut semakin berkualitas dan mampu menafsirkan pesan-pesan dakwah kepada masyarakat. Selain fokus pada masalah agama, da’i juga dapat menjawab tuntutan realita saat ini. Pasalnya umat Islam pada lapisan bawah belum sanggup menghubungkan secara tepat isi dakwah yang sering didengarnya (dakwah billisan) dengan realita sulitnya kehidupan sosial ekonomi sehari-hari.
Masalah inilah yang ditangkap DPW LDII DI Yogyakarta (DIY) yang menggandeng Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) menggelar pelatihan dakwah dengan tema “Pelatihan Metode Dakwah Aktual di Tengah Isu-Isu Terkini”. Acara ini digelar di Ponpes Mulya Abadi, Mlati, Sleman, Minggu, (2/10). Acara ini menargetkan, para juru dakwag mampu memaksimalkan dakwah dalam bentuk nyata (bilhal).
Pelatihan ini diadakan dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1438 H dan dalam rangkaian Musyawarah Wilayah VI LDII DIY yang akan digelar pada 15-16 Oktober 2016 di Gedung University Club UGM. Pelatihan ini menghadirkan narasumber Dr. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., MA Wakil Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SUKA dan Dr. Hamdan Daulay, M.Si., MA Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi serta Wakil Dekan II Fakultas Sains dan Teknologi UIN SUKA.
Menurut Alimatul yang juga sebagai Ketua Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Pimpinan Pusat Aisyiyah, dakwah harus selaras dengan isu-isu aktual/kontemporer menyangkut kegiatan, ide, pendapat atau hal-hal yang relevan dengan kondisi saat ini. Dalam hal pemikiran Islam antara lain Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan, Islam Import dan Islam Export, Sunni dan Syiah, Ahmadiyah, dll. Dapat juga isu HAM, gender, LGBT, kelompok rentan, maupun isu terkait teknologi, digital, dan new media.
“Tiga pendekatan dakwah yang dapat dilakukan adalah memahami agama secara apa adanya sesuai yang tertulis pada naskah (tekstual), atau mempertimbangkan aspek lain di luar teks/naskah yang tertulis (konstekstual atau progresif) atau memilih berada di antara dua pendekatan (moderat),” jelas Alimatul.
Hamdan menggarisbawahi bahwa dalam konteks masyarakat yang multikultur, multietnis, multiagama, dan multidimensi lainnya, maka persoalan pluralitas harus dapat dikelola dengan baik. “Dakwah di Indonesia selalu dihadapkan pada fakta keberagaman dan kebhinnekaan. Untuk itu, hal ini harus dikelola agar potensi keresahan dan konflik di tengah masyarakat tidak terjadi,” ujar Hamdan.
Ia menambahkan pendekatan dialog yang baik di tengah perbedaan dibutuhkan agar bisa memberi kesejukan bagi umat, sehingga dapat memperkokoh keutuhan dan persatuan bangsa. Bukannya justru mempertajam perbedaan, menonjolkan eksklusivisme, dan bahkan membuka potensi konflik dan intoleransi di tengah masyarakat.
Dalam kegiatan yang diikuti oleh sekitar 150 da’i-da’iyah LDII se-DIY ini terungkap bahwa sesungguhnya budaya bangsa yang pluralistik ini terkenal sangat toleran, santun, dan menghargai perbedaan yang ada. Kemauan untuk menghargai dan menghormati perbedaan adalah merupakan bagian dari kebudayaan yang sangat luhur. Perbedaan adalah suatu keindahan yang harus dipelihara dengan baik. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan konflik. Emosi umat yang tak terkendali harus diarahkan melalui peningkatan pembinaan kehidupan umat beragama oleh tokoh-tokoh agama.
Harapan terbesar dari Wakil Ketua DPW LDII DIY yang juga Pengurus Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI Pusat, Dr. H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si., pelatihan ini mampu mengembangkan pemikiran para da’i-da’iyah LDII se-DIY agar lebih maju menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih pada saat sekarang ini.
Selain itu, Ardito juga menekankan bahwa budaya kerukunan beragama sesungguhnya sudah menjadi bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia yang telah mampu menunjukkan kerukunan beragama yang begitu indah dan menyejukkan. Perbedaan agama yang terdapat di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi penghalang untuk hidup berdampingan dan saling menghormati.