Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Inilah universitas terhebat di dunia. Walau kampusnya tidak mentereng. Banyak yang dipinggir. Tepi kota. Gang sempit. Sedikit akses. Marginal. Gedungnya cenderung offset. Namun selalu penuh sesak. Alhamdulillah, saya menjadi salah satu mahasiswanya. Walau tanpa registrasi dan kapan waktu kelulusannya tidak tahu pasti. Setidaknya kebanggaan itu sedang tumbuh, berkembang dan mengakar kuat di dalam jiwa. Saat ini. Dihitung-hitung, sudah hampir 35 tahun menimba ilmu di bangku kuliah ini. Masa yang panjang, bukan? Dan tanpa terasa, mereguk manisnya rahmatan lil’alamin.
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
”Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus:58)
Salah satu pembelajaran istimewanya, yang selalu menarik adalah terkait hal ini. Menyangkut manajemen, khususnya aspek kepemimpinan. Bab khusus mendengarkan, yang saat ini seolah – olah terlupakan. Ia menjadi nomor kesekian. Yang banyak dipoles, yang banyak dicari, adalah meningkatkan kemampuan berbicara. Public speaking. Nyatanya beberapa universitas yang membuka jurusan itu tidak pernah sepi peminat. Seminar dan kursus pun bak jamur di musim hujan. Sedangkan untuk jurusan public hearing sudah lama tak terdengar beritanya. Sedikit orang yang berminat. Kurang greng, kalau belajar mendengarkan. Mungkin karena orang merasa sudah bisa mendengar duluan sebelum bisa berbicara, maka perlu segera memolesnya. Berbicara itu lebih susah daripada mendengarkan, itu pendapat khalayak. Tujuannya agar didengar, berpengaruh dan monumental. Dalam bisnis kelihaian berbicara adalah hal yang sangat menentukan.
Fenomena ini, sebenarnya bertolak belakang dengan masalah kehidupan yang seharusnya. Yang perlu dan pertama diasah sejujurnya adalah kemampuan mendengarkan. Inilah yang alamiah. Inilah jalur yang benar. Sebab pertama kali indera yang berfungsi adalah pendengaran. Jadi, menjalani kehidupan beragama sebenarnya adalah menjalani kehidupan sebagaimana adanya. Mengingatkan kembali untuk menuju kesejatian. Asal usul. Menjalani kehidupan dengan mengikuti sunnatullah. Tidak melanggarnya. Allah berfirman:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarkanlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.” (QS at-Taghobun 16)
وَلَقَدْ مَكَّنّٰهُمْ فِيْمَآ اِنْ مَّكَّنّٰكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَّاَبْصَارًا وَّاَفْـِٕدَةًۖ فَمَآ اَغْنٰى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ اَبْصَارُهُمْ وَلَآ اَفْـِٕدَتُهُمْ مِّنْ شَيْءٍ اِذْ كَانُوْا يَجْحَدُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.” (QS. Al-Ahqaaf : 26)
Berikutnya, dalam bahasa simbol; secara jumlah, semua orang diberi jalur pendengaran lebih banyak ketimbang alat untuk bicara. Dua telinga berbanding satu mulut. Dua kali mendengarkan dan satu kali bicara. Tak lain maksudnya adalah karena mendengarkan itu lebih susah. Karena itu perlu alat yang banyak. Dan ini yang perlu dipelajari lebih lanjut. Sedangkan bicara disusulkan kemudian, setelah seorang anak manusia telah lama dan mampu menggunakan pendengarannya dengan baik. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda’ bahwa dia berkata, ”Perlakukan secara adil kedua telingamu dalam kaitannya dengan mulutmu. Ketahuilah bahwa engkau diberi dua telinga dan satu mulut itu artinya, engkau mesti lebih banyak mendengar daripada berbicara.” (Al-Bahr Ar-Ra’iq hal 68).
Jadi, kalau seseorang sudah berikrar setia mendengarkan dan taat (sami’na wa’atho’na), mestikah masih banyak umbar bicara? Jawabnya tentu tidak. Harus hemat bicara. Ataukah dia harus lebih banyak belajar bagaimana mengasah kemampuan mendengarkannya? Jawabnya ya, pasti. Karena mendengarkan banyak sekali manfaatnya.
الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ
”(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).” (QS Az-Zumar:18)
Apakah mendengarkan ini tidak bertentangan dengan perintah berkata baik atau diam? Justru sebaliknya, malah saling melengkapi. Memperkuat satu dengan yang lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah dari Rasululloh SAW bersabda; ” Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR Muslim).
Dari sini, kita meniti jembatan pemahaman lain yang lebih sempurna akan maksud hadits di atas. Kita tidak hanya dituntun, kalau memang tidak bisa bicara yang baik ya diam saja, bukan. Justru tuntunan sebenarnya dari maksud tersirat teks di atas adalah banyak mendengarkan. Sebab banyak hal yang bisa kita dapatkan dari sikap diam mendengarkan ini. Bukan malah sebaliknya kita sibuk berlatih bicara yang baik tapi akibatnya melupakan kemampuan mendengarkan yang fundamental ini.
Jadi, tidak salah ketika orang – orang sibuk memoles diri dengan mengasah kemampuan bicaranya. Tetapi ketika gagal dalam mengemban misi berbicara yang baik, maka dianjurkan lagi untuk diam mendengarkan.
Sebab mendengarkan yang baik akan menghasilkan pembicaraan yang baik. Banyak orang yang mampu bicara baik tetapi hilang kemampuan mendengarkannya yang baik. Tetapi orang yang punya kemampuan mendengarkan yang baik, sedikitpun tak akan pernah rugi karenanya. Seorang bijak pernah ditanya, ”Kenapa engkau selalu memilih diam? Dia menjawab, ”Sebab aku belum pernah menyesal atas sikap diamku. Sementara itu, aku telah menyesal berulang kali atas ucapanku.”
Mari kita perhatikan dengan seksama. Dulu, tatkala banyak wanita jadi ibu rumah tangga, ada seseorang yang menyediakan diri untuk mendengar di rumah. Dulu, ketika masuk sekolah ada guru yang santai menyediakan diri untuk mengajar dan mendengarkan. Dulu ketika masuk ke surau, ada ustadz yang mau berbagi cerita dan mendengarkan. Sekarang zaman sudah berubah. Jangankan di rumah, di sekolah, di kantor, bahkan dalam kelompok spiritual dan religius pun, sangat langka ada manusia yang tekun mendengarkan. Semuanya gamang, hanya mau didengar, didengar dan didengar. Dalam hal ini mungkin kita perlu mengenang sikap Atha’ bin Abi Robah yang indah dalam mendengarkan. Ia berkata:
إن الرجل ليحدِّثني بالحديث فأنصت له كأني لم أسمعه وقد سمعته قبل أن يولد
“Sesungguhnya ada seseorang laki-laki menceritakan kepadaku suatu cerita, maka aku diam untuk benar-benar mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu, padahal sungguh aku pernah mendengar cerita itu sebelum ia dilahirkan.” (Siyar A’laam An-Nubala)
Mendengarkan adalah sebuah perjalanan yang dimulai dari mendengar ke luar, yaitu melihat dan merasakan penderitaan kehidupan orang lain di sekitar kita. Dalam proses ini, seseorang bertemu dengan wajah kehidupan yang semakin kaya setiap harinya, baik bagi pendengar maupun yang didengar.
Namun, setelah sekian lama mendengar ke luar, muncul kerinduan untuk beralih ke dalam—mendengarkan suara hati dan jejak kenangan yang telah lama terpendam. Ini adalah saat untuk mendengar kembali masa kecil, perasaan-perasaan yang tertekan, pesan-pesan dari mimpi, serta jeritan alam bawah sadar seperti amarah dan suasana hati yang buruk. Banyak orang merasa takut dan justru lari dari suara-suara alam bawah sadar ini, terutama dari trauma yang mencekam. Bagi yang memilih untuk bersujud dengan tekun dan tulus, mendengarkan semua suara dari dalam, seberapa pun menyakitkannya, akan berjumpa keindahan pada akhirnya.
Setelah melewati fase mendengar ke luar dan ke dalam, tumbuh kerinduan untuk mendengar secara total dan utuh—mendengarkan semesta dalam segala dimensinya. Suara bumi, pepohonan, burung, awan, matahari, bulan, bintang, lingkungan sekitar, bahkan mungkin suara Tuhan sendiri—semuanya menyatu dalam keharmonisan yang agung dan penuh makna.
Dan untuk mengasahnya perlu waktu lama bahkan tak terhingga. Jadi, bersyukurlah saya, ketika saya terikat kontrak di universitas terbaik di dunia ini untuk belajar lebih banyak hal tentang mendengarkan; mulai mendengar keluar, kemudian mendengar ke dalam dan mendengar secara utuh. Agar kelak bisa mengerti bagaimana seni mendengarkan yang sempurna.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقُوْلُوْا رَاعِنَا وَقُوْلُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan, “Rā‘inā (bebal dan bodoh)” Akan tetapi, katakanlah, “Unẓurnā (perhatikanlah)” dan dengarkanlah. Dan bagi orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih.” (QS Al-Baqarah: 104)
AJKH Mas Kus atas pengingatnya. Betul sekali…kita sering menjumpai hal ini di sekitar kita. Orang lebih suka ngomong dibanding mendengar. Termasuk saya. Memang kadang kita juga harus siapkan mental yang baik agar tidak kecewa ketika kita suatu ketika sudah menjadi pendengar yang baik, sementara lingkungan kita belum. Jangan berkekspektasi semua orang bisa menjadi pendengar yag baik seperti idealnya. Yang bisa kita lakukan adalah merubah diri kita dan anak istri kita. Itu yang paling memungkinkan. Syukur2 bisa mengajak lingkungan kita juga bisa menjadi pendengar yang baik. Semangat berbenah terus…