Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang sangat berarti bagi Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 24 Maret 1946 tersebut menjadi simbol perlawanan dan pengorbanan masyarakat Bandung dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Guru Besar Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro (Undip) Singgih Tri Sulistiyono yang juga Ketua DPP LDII mendorong bangsa Indonesia terutama generasi muda untuk meneladani peristiwa Bandung Lautan Api. Peristiwa itu menjadi cerminan semangat persatuan dan sikap rela berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Ia menjelaskan peristiwa tersebut bermula saat kedatangan pasukan sekutu yang tenyata diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA), setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada perang dunia II, “Di situlah terjadi crash antara kekuatan rakyat Indonesia yang sudah terorganisir dan terlatih. Mereka menghadang kekuatan NICA yang ingin kembali menjajah Indonesia,” ungkapnya.
Dalam Sejarah Nasional Indonesia VI, Djoened Poesponegoro dkk. (2008), disebutkan bahwa peristiwa Bandung Lautan Api bermula ketika pasukan sekutu yang dipimpin oleh MacDonald mengeluarkan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat kala itu, Mr. Mohammad Djamin (Datuk Djamin), untuk menyerahkan semua senjata di Bandung, kecuali yang dimiliki oleh TKR, kepada pasukan sekutu dan Belanda.
Situasi menjadi semakin tegang pada malam 24 November 1945, ketika TKR dan kelompok perjuangan lainnya menyerang markas sekutu di Bandung utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger. Tiga hari setelah serangan tersebut, ultimatum diperbarui, Brigadir Jenderal MacDonald menuntut penyerahan semua senjata, termasuk yang dimiliki TKR.
Kemudian, pada 23 Maret 1946, ultimatum lain disampaikan kepada Perdana Menteri Syahrir, meminta pasukan Indonesia meninggalkan Bandung Selatan hingga jarak 10-11 kilometer dari pusat kota pada pukul 24.00, 24 Maret 1946.
Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela jika Kota Bandung kemudian dimanfaatkan oleh pihak sekutu serta NICA. Mereka kemudian berdiskusi melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak RI.
Singgih melanjutkan dalam diskusi tersebut terdapat perbedaan pendapat antara apakah Bandung harus dibumihanguskan menjadi lautan api atau tetap dipertahankan sampai titik darah penghabisan, “Meskipun terjadi perbedaan-perbedaan pendapat bila itu sudah dieksekusi maka rasa persatuan harus dibangun kembali, sehingga tidak terjadi pecah belah, konflik sendiri, yang akhirnya justru memperlemah bangsa ini,” tekannya.
Aksi bumi hangus di Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal dalam situasi saat itu karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan Sekutu dan NICA, meski masyarakat Bandung harus mengorbankan harta bendanya untuk dibumihanguskan.
“Apapun yang bisa itu akan menguntungkan Belanda harus dibumihanguskan, temasuk gedung-gedung atau instalasi militer, rumah, persenjataan, dan lain-lain yang tidak mampu dibawa oleh rakyat, oleh para pejuang kemudian dibakar supaya tidak dimanfaatkan oleh tentara NICA,” ungkapnya.
Singgih juga menekankan generasi muda harus bisa meneruskan semangat perjuangan bangsa Indonesia, meski dengan cara yang berbeda. “Semangat rela berkorban inilah yang seharusnya sampai sekarang harus diwarisi oleh para generasi pemimpin Indonesia. Termasuk generasi muda termasuk dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” tutupnya.
Para pejuang zaman dulu meskipun berbeda pendapat mengutamakan persatuan dan kesatuan. Cermat dalam memilih keputusan karena didasari musyawarah. Inilah yang harus diteladani generasi muda.
Semoga ldii selalu lancar, sukses,berhasil,aman dan barokah