Berpuasa itu mengatur waktu makan. Hal tersebut disampaikan dokter spesialis gizi klinis Retno Wijayanti, dalam tayangan “Talk Show Ramadan LDII TV” pada Minggu (16/3). Ia menjelaskan saat berpuasa, terjadi perubahan waktu makan dari tiga kali yaitu pagi, siang dan sore, saat Ramadan menjadi dua kali sehari.
“Awalnya teratur tiga kali membuat badan kita terbiasa seperti itu. Saat puasa waktu makan berpindah dari sahur kemudian berbuka kemudian saat tarawih bisa dilanjut sedikit makan. Pastinya ada jeda waktu yang cukup panjang di antara waktu sahur sampai mendekati waktu berbuka,” jelasnya.
Ia menjelaskan, inti menjaga kesehatan dan tetap bugar selama bulan Ramadan adalah makan dengan gizi yang seimbang. Gizi seimbang atau yang sering dikampanyekan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) yaitu ”Isi Piringku”. Kalau dulu sering terdengar kampanye “Empat Sehat Lima Sempurna” untuk sekarang menjadi “Isi Piringku”.
”Kampanye ini untuk usia dewasa mulai 18 sampai 59 tahun atau sebelum lansia. Jadi ketika kita lihat piring bulat seperti jam, tinggal kita bagi dari jam 12 sampai jam 6 berarti dibagi dua bagian. Bagian satu untuk buah dan sayur atau serat sedangkan bagian lainya dibagi dua bagian yaitu sepertiga protein nabati dan hewani, dua pertiga bagian lainya kabohidrat. Ini satu porsi untuk sekali makan,” terang Retno.
Ia mengungkapkan, meskipun terjadi perpindahan waktu makan tidak membuat tubuh kekurangan nutrisi untuk tubuh. Saat puasa manusia akan semakin selektif untuk menentukan menu makan atau nutrisi yang masuk dalam tubuh.
”Sebelum puasa, misalkan di kantor ada teman yang menawarkan titip beli kopi. Akhirnya beli dan meminumnya, membuat glukosa dan kalori berlebih, belum lagi tawaran makan gorengan. Tetapi jika puasa bisa menentukan, sahur dan buka bisa kita rencanakan menu makanan yang baik. Sebenarnya terlihat di masyarakat, memulai hidup lebih baik dengan menjaga makan dimulai saat puasa,” terangnya.
Retno menjelaskan, saat puasa banyak orang yang memulai tujuan hidup sehatnya, mulai dari mengatur makan untuk menurunkan berat badan, sampai menaikkan masa otot. Puasa adalah momentum yang tepat karena meski tergoda tetap tidak boleh makan dan minum karena bisa membatalkan puasa.
”Sekarang ini banyak anggapan di masyarakat berpuasa untuk diet, sebab pada dasarnya istilah diet itu sebenarnya asupan makanan. Membatasi makanan yang orang tahu untuk menurunkan berat badan. Ada juga diet untuk meningkatkan kalori, biasanya untuk pasien yang kekurangan gizi diberikan diet untuk meningkatkan berat badan,” terangnya.
Ia menjelaskan istilah diet sebenarnya untuk mengatur pola makan. Menurunkan berat badan saat Ramadan biasa saja karena puasa dapat merencanakan asupan yang diinginkan dan tidak mudah tergoda dengan kalori tambahan lainnya. Godaan untuk ngemil atau makan kalori yang tak perlu sering terjadi saat siang hari sehingga jika diet menurunkan berat badan saat puasa hal tersebut dapat dihindari.
Retno menyinggung tentang metabolisme tubuh saat bulan puasa. Ia menjelaskan saat puasa memang ada kekosongan cukup panjang tubuh tidak menerima makanan. Terjadi jeda waktu lebih dari tujuh jam tanpa makan memang dapat membuat metabolisme dalam tubuh menurun.
“Penurunan metabolisme karena tidak ada makanan yang dibakar sehingga tubuh secara otomatis menurunkannya. Makanan dari sahur akan dihemat oleh tubuh, jangan sampai saat siang otak tidak kebagian gula akhirnya sulit berfikir, apalagi untuk jantung. Memang semua akan berdampak, seperti otak yang harus diberi saupan glukosa setiap saat untuk berfikir, begitu juga jantung membutuhkan asupan lemak sebagai sumber energi agar bisa berdenyut terus,” terangnya.

Ia melanjutkan, asupan untuk otot juga harus dipenuhi untuk berjalan, lidah kita, mulut kita untuk membaca Al Quran juga membutuhkan asupan. Karena semua butuh asupan, akhirnya tubuh memperlambat proses pembakarannya agar tidak cepat habis agar cukup sampai berbuka.
”Meski saat puasa metabolisme kita melambat, jangan saat berbuka tiba langsung kita hantam dengan makanan yang terlalu manis. Karena ketika pembakaran melambat langsung diberi manis yang berlebih mengakibatkan tubuh akan terkejut sehingga dapat masuk ke pembuluh darah sehingga gula darah meningkat drastis dan insulin keluar banyak. Jadi meski gula darah naik, dan insulin cepat menurunkan membuat cepat lapar,” jelasnya.
Berhati-hati dengan Takjil Manis
Retno menegaskan perlunya pembatasan konsumsi takjil saat berbuka puasa. Penggunaan gula untuk pemanis pada takjil yang dibeli tidak dapat dipastikan kualitasnya, bisa menggunakan gula pasir, atau bahkan pemanis tambahan yang membahayakan. Perlunya kontrol diri, jangan makan terlalu manis karena mengakibatkan indeks glikemik yang tinggi.
”Indeks glikemik adalah kemampuan makanan untuk masuk kedalam pembuluh darah dengan cepat. Jika glukosa berlebihan masuk sampai pembuluh darah, dapat berakibat insulin cepat menurunkan, sehingga mudah lapar. Akhirnya over eating, beranggapan dengan makanan manis cepet kenyang tapi membuat cepat lapar dan mencari makanan lainnya lagi,” tegasnya.
Ia memberikan saran, makan takjil memang disunahkan dengan kurma dan air hangat. Kurma adalah pilihan takjil terbaik dengan catatan tidak berlebihan, meski manis tapi banyak serat. Karena serat berfungsi seperti penyaring. Meski makan gula tapi ada serat maka serat akan menahan agar tidak masuk pembuluh darah, disaring perlahan akhirnya terkontrol, insulin tidak cepat keluar akhirnya masuk kedalam sel pelan-pelan.
“Cara agar energi yang kita dapatkan dari sahur dapat bertahan sampai berbuka, sepeti obat yaitu slow release. Energi yang dipdapat dapat melepas secara perlahan jangan hanya bisa bertahan dua tiga jam lalu ngantuk, lemas,keringatan, mual yang merupakan gejala hipoglikemia. Cara mengatasinya dengan diet seimbang,” jelasnya.
Retno menegaskan selama puasa selalu memperhatikan diet seimbang yaitu konsumi buah dan sayur atau serat harus setengah dari isi piring. Saran Kemenkes untuk memperbanyak konsumsi serat dapat memperlambat penyerapan asupan untuk otak, otot, jantung sehingga rasa kenyang bertahan lama. (Nabil)