Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Mantan Sekjen PBB, Dag Hammerskjold, yang banyak melakukan perjalanan antarnegara dan antarbenua, pernah menyampaikan pituah indah; ”Perjalanan yang paling panjang dan melelahkan adalah perjalanan masuk ke dalam diri sendiri.” Menyelami hati. Padahal letaknya hanya sejengkal. Di bawah dagu. Di dalam dada. Tapi itulah kenyataannya. Hal ini diperkuat dengan beberapa pepatah yang menunjukkah arah pencarian jauh keluar. Alih-alih ke dalam hati diri sendiri. Cobalah tengok pepatah: Gajah di pelupuk mata tidak tampak, tapi kuman di seberang lautan tampak. Atau kata bijak yang lain; Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri. Ini menunjukkan bahwa memang untuk masuk dan melihat diri sendiri secara utuh itu sangat berat tantangannya. Dibutuhkan perjuangan yang panjang, baik menurut ukuran waktu dan tenaga dengan lika – liku jalan yang harus ditempuh. Terlebih jika tidak mendapatkan bimbingan yang dekat, guru yang tepat dan lingkungan yang hebat mendukung. Niscaya gagal keprathal (total) di tengah jalan, bahkan ketika baru memulainya. Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati tak ada yang tahu.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS Fusshilat:46)
Inilah kata kunci memulai perjalanan, menyibak belantara tinggi, merintis jalan menuju ke dalam diri. Membuka jalur dan lajur ke dalam hati. Prinsip pertama yang harus diterapkan ialah menyadari bahwa semua amal yang kita lakukan itu untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Kita berbuat baik hasilnya akan kita petik nanti. Sebaliknnya, jika kita berbuat jelek, hasilnya juga kita yang akan menuai nanti. Adapun orang lain ikut merasakan kebaikan atau kejelekan yang kita perbuat, itu hanyalah efek samping. Bisa juga dikatakan sebagai refleksi atau bonus. Yang terpenting adalah bahwa ada semacam kepuasan yang mengalir ketika bisa berbuat baik kepada setiap orang. Hati merasa bahagia, dada merasa lega, kepala merasa lapang, sebab bisa menyenangkan orang lain. Kebahagian mereka adalah kebahagiaan kita juga, dilandasi dengan kesadaran bahwa kita hanya sebagai perantara saja. Tak lebih. Yang kita lihat adalah apa yang akan dirasakan hati kita. Tidak terbalik, terbersit pengharapan akan balas budi darinya. Atau merasa sombong dengan kebaikan itu. Bahkan sampai terucap; kalau bukan karena saya, oh niscaya begini dan begitu.
Karakter lembah manah (bersahaja) seperti di atas akan bertumbuh subur-makmur, apabila dipupuk dengan paradigma “Menjadi”, bukan paradigma “Memiliki”. Sayangnya, paradigma “Memiliki” mengalir di setiap aliran darah kebanyakan orang. Bunganya, kesukaan mengukur kesuksesan dan kebahagiaan seseorang dari apa-apa yang dimiliki. Kelompok ini selalu dinilai dan menilai orang lain berdasarkan apa yang mereka miliki: punya harta berapa, rumah dimana, tanah berapa, kendaraan apa, jabatan setingkat apa, pangkat setinggi apa, dan sebagainya. Akibatnya jiwanya bertumbuh keluar, dengan merekahnya gempa nafsu yang selalu melahirkan urat-urat kekurangan. Manusia terus dipacu untuk memiliki lebih banyak lagi. Kurang ini, kurang itu. Pengin ini, pengin itu. Sampai pada keyakinan bahwa kebahagiaan akan diperoleh bila semua keinginan manusia terpenuhi. Padahal keinginan inilah yang membuat manusia tegang dan frustasi. Keinginan tak ada habisnya. Patah tumbuh, hilang berganti. Ujung-ujungnya, manusia tak bahagia karena lebih memusatkan diri pada segala sesuatu yang di luar, yang tidak mereka miliki. Dan bukan fokus ke dalam serta pada apa yang telah mereka miliki.
Selanjutnya, paradigma “Memiliki” akan membuat manusia dihantui ketakutan dan kecemasan berlebih. Ketakutan kehilangan atas apa yang telah mereka peroleh dengan susah-payah. Kecemasan batin yang diperkosa situasi dan keadaan sekitar di luar kendali. Bayangkan orang yang berani dan kritis. Coba beri ia jabatan. Biasanya keberanian dan daya kritisnya akan menurun. Lama-lama menghilang. Mengapa? Karena kini ia sibuk dengan jabatannya. Ia sibuk melakukan apapun juga supaya jabatannya tidak lepas dan hilang. Ada guyonan, apa bedanya pejabat dengan guru? Kalau guru menyampaikan materi presentasi dilakukan dengan posisi berdiri, sedangkan pejabat jika menyampaikan materi dilakukan dengan duduk. Mau tahu kenapa? Sebab takut hilang kursinya diambil orang, tatkala ditinggal berdiri. Ketakutan dan kecemasan kehilangan kekuasaan ini sebenarnya jauh lebih berbahaya, ketimbang kekuasaan itu sendiri.
Selain haus kekurangan, dahaga kecemasan dan adanya jurang ketakutan, orang dengan paradigma “Memiliki” , biasanya hidupnya stagnan. Di situ-situ saja. Tidak beranjak kemana-kemana. Terpenuhinya keinginan manusia paling-paling hanya membawa kesenangan sesaat. Kemudian timbul keinginan yang baru. Begitu manusia memiliki sesuatu yang baru, penghargaan manusia pada sesuatu itu biasanya berkurang, berkurang dan hilang. Seorang lelaki contohnya. Jika tertarik pada seorang gadis cantik, kemudian berakhir dengan menikahinya. Selesai. Lantas, apa lagi? Ini beda dengan paradigma “Menjadi”. Manusia tetap bisa meningkatkan kualitas diri menjadi suami yang makin baik dari waktu ke waktu. Selanjutnya bisa menjadi bapak yang baik dari waktu ke waktu. Dan dimensi-dimensi lain untuk seterusnya. Paradigma “Menjadi” memang tak ada batasnya.
Paradigma “Menjadi” adalah paradigma yang melihat seseorang berdasarkan kualitas kemanusiaannya. Disini yang penting bukanlah apa yang kita miliki tetapi karakter kita, kepribadian dan pertumbuhan diri kita sendiri secara spiritual. Orang dengan paradigma “Menjadi” bukannya tak memiliki barang apapun. Ia juga memiliki sesuatu dan mencintai sesuatu itu, tetapi ada batasnya (sak madya). Bedanya, ia tak terikat dan tergantung dengan sesuatu itu. Ia sadar bahwa kebahagiaan sejati hanya didapat dengan mencari ke dalam dirinya. Ia sadar bahwa apa yang dimilikinya hanyalah pinjaman yang suatu ketika akan kembali kepada pemiliknya yang sejati. Karena itu kehilangan sesuatu baginya bukanlah kehilangan segalanya. Karena golongan ini selalu ingat, bahwa manusia adalah Human Being dan bukan Human Having!
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ هَذَا الْمَالُ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ قَالَ لِي يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِطِيبِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
Dari [Hakim bin Hizam] dia berkata; saya meminta sesuatu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau memberiku, lalu aku meminta lagi dan beliau pun memberiku, lalu aku memintanya lagi dan beliau pun memberiku, kemudian beliau bersabda: “Harta ini.” -Sufyan mengatakan- beliau bersabda kepadaku: ‘Wahai Hakim, sesungguhnya harta benda ini kelihatan hijau dan manis, barangsiapa mengambilnya dengan cara yang baik, maka ia akan diberkahi, dan barangsiapa mengambilnya dengan berlebihan, maka ia tidak akan diberkahi, yaitu seperti orang yang makan dan tak pernah kenyang, tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.’ (HR Al-Bukhari)
Dirangkum jadi satu, setelah paham semua tindakan akan bermuara pada diri masing-masing, perlu dipayungi dengan paradigma “Menjadi” agar berbuah menjadi bahagia yang teduh dan sejati.
Semoga tambah maju dan barokah tim LINES Jambi dan Jurnalistiknya.. Kerenn Jambi
Juoossss…izin sharing ya mas mon ke wag kerjaan dan keluarga. AJKH