Sahabat Umar bin al-Khaththab ra pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar hal itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur” (Saba’:13), makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.”
Dalam pandangan Sayid Quthb, ayat “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” merupakan sebuah pernyataan akan kelalaian hamba Allah SWT dalam mensyukuri nikmat-Nya, meskipun mereka berusaha dengan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja mereka tidak akan mampu menandingi nikmat Allah SWT yang dikaruniakan terhadap mereka yang tidak terbilang. Allah berfirman, “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak bisa menghitungnya”. Oleh karenanya, sungguh sangat ironis dan merupakan peringatan bagi mereka yang tidak mensyukurinya sama sekali.
Hal ini sejalan dengan penjelasan Ibnu Qudamah yang menyatakan bahwa “Makhluk ini tidak mau mensyukuri ni’mat karena dua hal pertama kejahilan dan kedua kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui nikmat. Karena tidak tergambar bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa mengetahui adanya nikmat . Jika pun mereka mengetahui nikmat, mereka menyangka bahwa bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan lisan. Mereka tidak mengetahui bahwa makna syukur sesungguhnya adalah mempergunakan nikmat pada jalan ketaatan kepada Allah SWT.”
Kemudian Ibnul Qayyim merumuskan tiga faktor yang harus ada dalam konteks syukur yang sungguh-sungguh, yaitu dengan lisan dalam bentuk pengakuan dan pujian, dengan hati dalam bentuk kesaksian dan kecintaan, serta dengan seluruh anggota tubuh dalam bentuk amal perbuatan. Adapun bentuk implementasi dari rasa syukur bisa beragam; shalat seseorang merupakan bukti syukurnya, puasa dan zakat seseorang juga bukti akan syukurnya, segala kebaikan yang dilakukan karena Allah adalah implementasi syukur. Intinya, syukur adalah takwa kepada Allah dan amal shaleh, seperti yang disimpulkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi.
Ibnul Qayyim menambahkan: “Syukur termasuk kedudukan yang paling tinggi dan lebih tinggi -bahkan jauh libih tinggi- daripada kedudukan ridha. Di mana sifat ridha masuk dalam syukur karena mustahil syukur ada tanpa ridha.” Hal ini bisa diteladani dari sebuah Hadits yang diriwayatkan Aisyah ra. Aisyah ra meriwayatkan, “Nabi SAW bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah kenapa engkau melakukan yang demikian padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang bersyukur?’”
Terlepas dari pengertian dan pemahaman masalah syukur di atas, walau terasa sulit – sebab sudah di nash dalam KitabNya, walau terasa berat – sebab harus melewati tiga tahapan secara lahir dan batin, rasanya tak pantas jika kita menyerah dalam berjuang menjadi hamba yang penuh kesyukuran. Dan setidaknya ini bisa dimulai dengan sering memanjatkan doa meminta pertolongan kepada Allah agar menjadi hamba yang bersyukur. Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra., Beliau bersabda“Hai Muadz, sungguh aku sangat mencintaimu. Janganlah engkau tinggalkan setiap selesai sholat untuk membaca do’a, “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa berzikir (mengingatiMu), mensyukuri (segala nikmat)Mu, dan beribadah dengan baik”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Oleh: Ustadz.Faizunal Abdillah