Kesaktian Pancasila perlu dijaga, jika tidak, bangsa Indonesia akan mengalami disorientasi, dan tinggal menunggu waktu kehancuran. Untuk itu, seluruh elemen bangsa, harus belajar dari sejarah, bagaimana Pancasila hadir sebagai dasar negara.
Guru Besar Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono mengungkapkan, Hari Kesaktian Pancasila merupakan akumulasi puncak konflik dari berbagai faksi politik yang berkembang.
Sejak zaman akhir kolonialisme, dan awal kemerdekaan, sampai dengan tahun 1960-an, berbagai kelompok faksi politik saling bersaing dan berkonflik. Bahkan, sampai menggunakan kekerasan yang akhirnya meletus tragedi tahun 1965.
Pada saat itu berkembang situasi, ideologi Pancasila, cenderung akan digantikan dengan ideologi komunisme. “Alhamdulillah, percobaan kudeta yang menamakan dirinya G30S/PKI bisa diatasi, bisa dicegah, dan bisa digagalkan. Itulah yang kemudian bangsa Indonesia sepakat menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila,” ujar Ketua DPP LDII tersebut.
Melihat hal tersebut, Singgih menegaskan pentingnya belajar dari sejarah untuk menjaga kesaktian Pancasila. “Belajar sejarah berarti mempelajari narasi atau kisah mengenai sebuah peristiwa. Belajar sejarah, bisa dilakukan melalui dokumen dan arsip, untuk memperoleh fakta sejarah dari sumber sejarah. Kemudian para penulis sejarah menarasikan di dalam kisah sejarah,” ujarnya
Namun, belajar dari sejarah berarti mengambil hikmah dari rangkaian peristiwa yang telah terjadi. Misalnya, setelah didalami, ternyata tragedi 1965 merupakan hasil dari proksi politik pecah belah yang diintroduksi kekuatan asing, dalam konteks perang dingin.
Singgih melanjutkan, pada saat itu, antara blok barat yang beraliran liberal dan kapitalis, dan blok timur yang beraliran komunis dan sosialis, masing-masing berusaha menancapkan dan mengembangkan pengaruhnya di luar negara mereka.
“Sehingga, justru konflik dan kekerasan timbul, tidak di Amerika Serikat, atau di Uni Soviet, tetapi di negara lain yang menjadi ladang persaingan konflik dari dua kekuatan ideologi besar tersebut,” jelasnya.
Contohnya ada di Vietnam, Korea, ataupun di Indonesia. “Ini jadi bahan pembelajaran, jangan sampai kita menghadapi pola sejarah yang sama. Kekuatan asing berusaha membuat proksi di Indonesia,” katanya.
Jangan sampai, bangsa Indonesia asik dengan konflik sesama anak bangsa. Tahu-tahu, sudah dikontrol kekuatan asing. “Ini jadi pelajaran penting, bukan hanya di era tahun 1960-an, tetapi juga generasi kini, dan generasi yang akan datang,” tegasnya.
Memaknai Kesaktian Pancasila
Untuk memaknai kesaktian Pancasila, perlu melihat rangkaian peristiwa yang dialami bersama sebagai sebuah bangsa. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan dasar negara dan filosofi kehidupan bersama. “Yang digali dari nilai-nilai luhur yang telah berkembang di masyarakat, selama beribu-ribu tahun. Kemudian dikristalisasi di Pancasila,” ujar Singgih.
Sehingga, jika bangsa Indonesia mencoba mengambil ideologi bangsa lain, entah itu komunisme, sosialisme, ataupun ideologi keagamaan tertentu, maka ini tidak sesuai. “Misalnya mendirikan negara agama, sedangkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, maka tentu, masyarakat yang tidak sesuai dengan negara agama akan protes, dan menjadi sumber konflik, bahkan konflik berdarah,” tegasnya.
Kemudian, jika ada pihak yang ingin memaksakan ideologi komunisme. “Yang ada, filosofi ateisme bertentangan dengan jiwa bangsa Indonesia, yang sejak dahulu merupakan masyarakat yang religius, yang percaya dengan kekuatan ilahiyah,” ujarnya.
Singgih melanjutkan, dengan karakter kepribadian bangsa tersebut, Pancasila memfasilitasi melalui aspek ketuhanan di sila pertama. Pancasila juga memfasilitasi kepribadian bangsa di sila-sila selanjutnya. “Aspek kemanusiaan dalam konteks antar manusia dan antar bangsa, bisa difasilitasi dalam sila kedua,” ujarnya.
Aspek berbangsa dan persatuan nasional, sebagai wadah untuk merealisasikan tujuan berbangsa dan bernegara ada di sila ketiga. Kemudian, sebuah cara bagaimana berbangsa dan bernegara, bukan dengan feodalisme dan sikap diktator, namun dengan cara demokrasi, musyawarah untuk mufakat, difasilitasi dalam sila keempat.
Sedangkan, sila kelima, mencantumkan tujuan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai kemakmuran di dalam keadilan, dan keadilan di dalam kemakmuran.
Maka, ini sudah sangat sesuai dengan realitas historis dan faktual bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang plural, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
“Ini, kalau mau diganti dengan ideologi lainnya, akan menimbulkan kegaduhan. Maka, jika Pancasila dilupakan, maka di situlah cobaan akan dihadapi bangsa Indonesia. Akan berat sekali jika meninggalkan Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama sebagai suatu bangsa,” tegasnya.
Bahkan, bangsa Indonesia patut berbangga, bahwa masyarakat internasional mengakui Pancasila. “Sekjen PBB António Guterres mengakui ini. Unity in diversity. Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya.
Sejarah Pancasila
Singgih mengungkapkan, Pancasila disusun pada zaman penjajahan Jepang. “Itulah kehebatan founding father, memanfaatkan situasi kritis yang sedang dihadapi tentara pendudukan Jepang, yang sedang mengalami kemunduran dan kekalahan di medan pertempuran, saat melawan sekutu,” ujarnya.
Saat itu, melakukan komunikasi dan hubungan dengan pemerintahan pendudukan Jepang, mendesak agar Indonesia mendapatkan kemerdekaan. “Pada saat itu, Jepang memberikan kesempatan kemerdekaan. Kemudian didirikan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),” ujarnya.
Saat itu, dipersiapkan bagaimana wujud bangsa Indonesia. Setelah merdeka, dasarnya apa, bentuknya seperti apa, mau ke mana, dan bagaimana nanti menjalankan negara yang baru, semua sudah dirancang pada zaman pendudukan Jepang.
“Termasuk juga mengenai dasar negara Indonesia yang akan didirikan pada saat itu. Di situlah berbagai tokoh bermusyawarah, termasuk bung Karno, bung Hatta, dan lainnya, ” katanya.
Saat Jepang mulai kalah, mereka berusaha menarik simpati masyarakat Indonesia. “Jepang takut, kalau sampai Amerika Serikat menduduki wilayah Asia Tenggara. Maka, Jepang berusaha mendapatkan bantuan masyarakat, melalui organisasi bentukan Jepang seperti pasukan Pembela Tanah Air (PETA), dan lainnya,” ujarnya.
Untuk menarik hati bangsa Indonesia itulah, Jepang memberikan janji kemerdekaan, dengan membentuk BPUPKI. “Kemudian menjelang Agustus 1945, membentuk PPKI. Dari situlah, dasar negara Pancasila digodok oleh tokoh bangsa, ada M Yamin, bung Karno, Radjiman, dan lainnya,” jelasnya.
Puncaknya, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. “Ini lompatan besar dan luar biasa. Ketika bangsa-bangsa yang lain di dunia tidak bisa merumuskan dasar ideologi seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Tokoh bangsa Indonesia bisa merumuskan hal tersebut,” katanya.
Mewariskan Pancasila
Untuk memastikan kelestarian Pancasila, Singgih menyarankan, pelajaran sejarah harus menjadi kewajiban bagi para siswa di semua tingkatan. “Bangsa Indonesia lahir dari sejarah. Sebelum lahir bangsa Indonesia, sebelum ada kesempakatan Sumpah Pemuda tahun 1928, yang ada di wilayah Indonesia adalah suku, kelompok, dan agama tertentu,” ujarnya.
Melalui kesadaran membangun bangsa yang diidamkan, lahirlah bangsa Indonesia. “Sehingga jika meninggalkan sejarah, maka kita tidak akan tahu jati diri bangsa. Dan akan mengelami disorientasi sebagai bangsa,” ujarnya.
Hal ini, berbeda dengan Jepang, yang sejak zaman dahulu, sudah merasa sebagai orang Jepang, karena mereka relatif sebagai bangsa yang homogen. “Sedangkan Indonesia berasal dari berbagai macam elemen sosial budaya,” katanya.
Untuk itu, menjadi kewajiban pemerintah membuat kurikulum sejarah, sebagai pendidikan moral. “Perlu guru sejarah, yang tidak hanya memberikan pelajaran sejarah, tetapi harus mengarahkan peserta didik mampu belajar dari sejarah. Bagaimana proses terbentuknya negara Indonesaia, bagaimana pendahulu bangsa mati-matian dengan air mata dan darah serta nyawa mempertahankan NKRI, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,” imbuhnya.
Singgih menyontohkan, di level keluarga saja, jika tidak mengingat sejarah, maka keutuhan keluarga berpotensi runtuh. “Ingat bagaimana sewaktu merintis berjuang bersama, dengan cita-cita mulia bersama. Sehingga, saat sudah berhasil, menjadi keluarga yang makmur, memiliki anak yang saleh dan salehah, dan keutuhan keluarga bisa terjamin,” tegasnya.
Sedangkan, jika melupakan masa lampau, akan muda tergoda dan akan menyebabkan keluarga berantakan.
Kembali ke kehidupan berbangsa dan bernegara, jika terjadi disorientasi bernegara, maka tinggal menunggu kehancuran bangsa Indonesia. Berbicara saat orde baru, Pancasilais sejati artinya seseorang yang paham nilai-nilai Pancasila dan berusaha mengamalkan nilai-nilai Pancasila, dan mampu memberikan contoh yang baik dalam pengamalannya.
Di sini, tugas negara, menyosialisasikan dan mengkulturasikan Pancasila dalam elemen bangsa. “Baik di sekolah, di lingkungan masyarakat, ataupun di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Selanjutnya, ia mengingatkan, negara harus bisa mengkondisikan sebuah situasi yang sama atas pengamalan Pancasila. “Pejabat harus memberikan contoh yang baik. Di sekolah, memberikan pembelajaran menjadi Pancasilais sejati, tetapi jika pemimpin tidak memberikan contoh yang baik, maka akan mengalami degardasi. Katanya Pancasilais, tetapi kelakuan tidak seperti itu, dan ini berpotensi membuat Pancasila tidak sakti. Inilah tugas negara, dan tugas kita bersama,” tutupnya.