Jakarta (20/12). Kemunculan fitur Meta AI di WhatSapp rupanya mengundang pro dan kontra, saat salah satu anggotanya memanggil Meta AI ke dalam obrolan internal. Alih-alih bermanfaat, fitur itu membuat ruang obrolan menjadi simpang-siur karena konteks yang tak jelas.
Sebenarnya apa itu Meta AI?
Meta AI adalah robot obrolan yang ditenagai model bahasa besar tingkat lanjut LLaMa versi tiga milik Meta (induk dari Whatsapp). Maksud Meta memang bagus dengan membenamkan Meta AI, untuk memberi pengalaman berinteraksi dengan rekan secara langsung tanpa menunggu. Integrasi dalam aplikasi ini gratis bagi pengguna yang telah memperbarui aplikasi WhatSapp.
Dinukil dari blog timelines.ai, rupanya Meta AI masih dalam tahap pengembangan dan peluncurannya terbatas hanya di negara tertentu dan Indonesia termasuk salah satu negara terpilih. Secara perlahan, Meta mengumpulkan masukan untuk penyempurnaan fungsionalitas chatbot. Pihak Meta pun belum mengumumkan tanggal pasti terkait peluncuran resmi.
Jika pengguna beruntung, maka bisa langsung memanfaatkan fitur tersebut. Antara lain berfungsi menjawab pertanyaan Anda, menawarkan rekomendasi, berkreasi membuat gambar, hingga mengobrol. Teknologi kecerdasan artifisial mengarahkan preferensi pengguna menjadi prompt atau petunjuk, kemudian diterjemahkan ke dalam tulisan atau gambar.
Pengurus Departemen Teknologi Informasi dan Aplikasi Telematika DPP LDII Febru Wasono mengatakan, penggunaan AI saat ini memang sedang masif diaplikasikan pada banyak platform. “Meta AI adalah salah satunya, meskipun mungkin kalau dibandingkan dengan produk AI lainnya cukup ketinggalan, tapi perlahan semakin mumpuni,” ujarnya.
Meta AI akan menganalisis pesan dan menyampaikan tanggapannya secara langsung di dalam jendela obrolan grup, dan balasan ini akan terlihat oleh semua orang dalam percakapan. Dalam obrolan grup, Meta AI hanya dapat merespons pesan yang secara khusus menyebutnya dengan menggunakan ‘@Meta AI’. Klaimnya, Meta AI tak mengakses obrolan lain dalam grup.
Di balik kelebihannya Meta AI masih memiliki kekurangan terutama dalam mengatur ranah informasi pribadi. Kemudian, sikap ketergantungan pada AI yang berlebihan menyebabkan penurunan kreativitas seseorang. Selain itu, AI rentan penyalahgunaan informasi yang dikhawatirkan membahayakan pengguna.
Bagaimana menyikapi teknologi tersebut?
Febru menegaskan, dari sisi pengguna harus tetap bijak, “Karena secara signifikan, AI belum terlalu bermanfaat,” katanya.
Dalam pemakaian Meta AI di grup obrolan misalnya, pengguna Whatsapp perlu memeriksa informasi sebelum membagikan dan jangan bergantung sepenuhnya pada Meta AI, “Selanjutnya pengguna melindungi privasi dan keamanan akun dengan tidak memberikan data sensitif dan berikan umpan balik (feedback) untuk meningkatkan kualitas data AI,” kata Febru melanjutkan.
Penggunaan Meta AI, menurutnya sama seperti teknologi lain, pasti ada sisi negatif dan positif, sehingga pengguna tentu harus bijak dalam memanfaatkan. Contoh pemanfaatan yang positif bagi LDII sebagai lembaga dakwah, teknologi AI bisa dipakai mengecek dan mengoreksi informasi mengenai LDII dan berbagai kegiatan positif yang dilakukan.
Hal itu sekaligus mendukung umpan balik data yang valid. “Verifikasi itu tentunya didukung dengan fakta dan data yang valid, sehingga data yang dia miliki terkait LDII menjadi berkualitas baik,” ujarnya.
Meski fitur itu tak bisa sepenuhnya dihapus, pengguna bisa menghindari penggunaan trigger atau pemanggil khusus ‘@Meta AI’ atau jika dalam pengaturan aplikasi WhatSapp memungkinkan opsi penyembunyian fitur, maka itu bisa dipakai.