Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Semoga tidak ada yang menyanggah. Karena ini hanya mimpi. Cuma berharap menjadi inspirasi saja. Kalaupun tidak, setidaknya bisa menjadi bahan cerita. Mengisi senja kala, saat sepi tak ada apa-apa sebagai penghangat suasana. Suatu malam Ibrahim bin Adham bermimpi. Dalam mimpinya itu, dia melihat malaikat sedang membawa catatan daftar orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah. Namun, betapa kagetnya dia, ternyata namanya tidak tercantum dalam buku itu. Padahal, dengan sudah pol-polan menjalankan syariat ibadah siang dan malam, harapannya tak lain adalah agar dicintai Allah. Tetapi, kenapa tercantum saja tidak? Berarti ada yang salah dengan cara ibadahnya yang melulu berurusan dengan Allah selama ini. Maka dia pun mengubah haluannya. Lantas dia berkata, ’Kalau begitu saya akan lebih banyak bermu’amalah mencintai sesama manusia.” Selang beberapa waktu dia menengok kembali catatan malaikat tentang daftar orang – orang yang mencintai dan dicintai Allah. Sekarang betapa bahagianya dia, ternyata namanya bertengger di urutan teratas orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah.
Dari sini, seperti ada kekuatan yang kemudian menuntun kepada ayat-ayat pencerahan yang bercerita indah tentang berbuat baik kepada sesama.
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan (yang disukainya) kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” [QS Al-Insân:8-10]
Amalan yang disebutkan dalam ayat tersebut merupakan rangkaian amalan baik yang dirasakan oleh orang lain. Jadi, seorang Muslim bila melakukan kebaikan bagi orang lain dengan penuh ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dalam melakukannya, maka Allâh akan memberinya balasan pahala, mengangkat derajatnya, memudahkannya istiqamah dan menambahkan keutamaan dan karunia baginya.
Berbeda dengan cerita dalam mimpi di atas, dalam riwayat indah berikut ini, sering disebut asbabun nuzul, terkait Surat Al-Insan ayat ke 8, berkaitan dengan seorang laki-laki Anṣar bernama Abū Dahdah yang pada suatu hari mengerjakan puasa. Ketika waktu berbuka datang, berkunjunglah ke rumahnya satu orang miskin, seorang anak yatim, dan seorang tawanan. Ketiganya dijamu oleh Abū Dahdah dengan tiga potong roti. Untuk keluarga dan anak-anaknya akhirnya hanya tersedia sepotong roti, padahal dia hendak berbuka puasa. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Jalur lain, disebutkan bahwa Ali bin Abī Ṭālib mendapat upah bekerja dengan seorang Yahudi berupa sekarung gandum. Sepertiga gandum itu dimasak, ketika siap dihidangkan datanglah seorang miskin memintanya. Tanpa berpikir panjang, Ali langsung saja memberikannya. Kemudian dimasaknya sepertiga lagi. Setelah siap dimakan, datang pula seorang anak yatim meminta bubur gandum itu. Ali pun memberikannya. Kali ketiga sisa gandum itu dimasak semuanya, dan secara kebetulan datang pula seorang tawanan yang masih musyrik dan mohon dikasihani. Ali memberikan lagi sisa bubur gandum itu, sehingga untuk dia sendiri tidak ada lagi yang tersisa. Demikianlah untuk menghargai sikap sosial itulah Allah menurunkan ayat ke 8 ini.
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang abrār memberikan makanan yang sangat diperlukan dan disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Memberikan makan dalam hal ini dapat pula berarti memberikan bantuan dan sokongan kepada orang yang memerlukan. Makanan disebutkan di sini karena merupakan kebutuhan pokok hidup seseorang. Boleh jadi pula memberikan makanan berarti berbuat baik kepada orang yang sangat membutuhkannya dengan cara dan bentuk apa pun. Boleh jadi pula yang dimaksud dengan memberikan makanan berarti pula berbuat baik kepada makhluk yang sangat memerlukannya dengan cara dan bentuk apa pun. Disebutkan secara khusus memberikan makanan karena itulah bentuk ihsan (kebaikan) yang paling tinggi nilainya. Bentuk ihsan lain yang juga tinggi nilainya disebutkan dalam ayat lain, yakni:
يَقُوْلُ اَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًاۗ اَيَحْسَبُ اَنْ لَّمْ يَرَهٗٓ اَحَدٌۗ اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِۙ وَلِسَانًا وَّشَفَتَيْنِۙ وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ
Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya? Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, lidah, dan sepasang bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan), tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar? (QS al-Balad: 6-11)
Yang perlu diingat oleh seseorang yang hendak beramal sosial seperti itu adalah keikhlasan dalam mengerjakannya tanpa pamrih. Tidak mengharapkan pembalasan dan ucapan terima kasih sekalipun. Dan itu ranah yang susah. Perlu perjuangan.
Mimpi di atas boleh dianggap lelucon saja, tapi tidak dengan dua kisah indah baik dari Abu Dahdah maupun Ali bin Abi Thalib. Sebab, kalau mau jujur masih banyak orang yang mengerjakan model ibadah seperti mimpi di atas. Malahan tak jauh – jauh, mungkin kita juga termasuk di dalamnya. Beribadah senangnya hanya kepada Allah saja. Kadang kalau berurusan dengan makhlukNya, ogah. Bahkan, kalau boleh sekalian menolaknya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Padahal ayatnya ada dan haditsnya juga ada. Simaklah dua riwayat berikut; satu dari Imam Al-Bukhari dan satu dari Imam Muslim yang terang-benderang sebagai referensi jiwa.
Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata,
آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.” Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali. Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.” Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Salman benar.” (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي . قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ . قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي . قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ . قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي . قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي ”
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat, ‘Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’ Orang itu bertanya, ‘Oh Tuhan, bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’, Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di sisinya?’. ‘Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.’ Orang itu menjawab, ‘Ya Rabbi , bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’. Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kau beri makan ? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati hal itu di sisiKu ?’. ‘Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.’ Orang itu bertanya, ‘Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta ?’. Allah menjawab, ‘Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati itu di sisi-Ku?” (HR Muslim)
Banyak hal bisa membuat kita salah arah dan tujuan dalam beribadah. Alih – alih memperoleh hasilnya, justru hal tak diharapkanlah yang terjadi. Salah satunya karena keterbatasan pemahaman. Banyak awan penghalang yang bergelayut di langit pikiran, sehingga menutupi indahnya cakrawala kehidupan. Atau melihat dengan kaca jendela yang salah. Yang kotor, kusam dan berdebu, sehingga pemandangan yang indah pun jadi kusam terlihatnya. Bukan mata yang salah, pun pemandangan yang rusak. Tapi kaca jendela penglihatan kita yang perlu dibersihkan. Oleh karena itu, bagi pemerhati kehidupan, pencinta kehidupan, penekun kehidupan, mari kita sibak salah satu rahasia yang belum banyak dipahami oleh kalayak berkaitan dengan kepedulian sosial atau boleh disebut ibadah sosial/budi luhur ini.
Jika sudah dimampukan menjalankan pola ibadah seperti kisah sahabat Salman dan Abu Darda tentu sangat kewalahan syukur. Tinggal membangun sisi-sisi lain untuk melengkapi dan menghubungkan semuanya. Hasilnya sebentuk peribadatan yang kuat dan kokoh. Bila, hubungan dengan Allah digambarkan sebagai garis vertika ke atas, maka tinggal melengkapi garis horisontalnya, berupa hubungan ke samping: kiri, kanan, depan dan belakang. Tentu sesuai dengan hak-haknya dan kemampuan setiap diri dalam pelaksanaannya. Jika masih ragu belum terpacu, tatkala sampai di sini, maka pencerahan lain disampaikan dalam hadits qudsi riwayat Imam Muslim di atas dengan pasti, yaitu tuntutan Allah agar setiap manusia untuk hadir dalam kegentingan sekitar. Dalam bahasa yang lugas, dipercakapkan antara Allah dan hambanya, terkait keseharian yang terjadi di sekitar. Alih-alih masalah manusia, tetapi di situlah Allah berada dan jadi tuntutan nantinya, di hari akhir nanti. Selain itu juga nanti tidak ada tuntutan kepada Allah, dengan mempertanyakan kehadiranNya. Sebab ada kalanya manusia diamanati untuk melakukan hal-hal baik sebagai perantara Yang Maha Kuasa. Simaklah anekdot para hamba pencari Tuhan ini. Di jalan aku melihat seorang gadis kecil menggigil kedinginan dalam pakaiannya yang tipis. Tiada harapan baginya untuk mendapatkan cukup makanan. Aku menjadi marah dan berkata kepada Tuhan: ‘Mengapa hal ini Kau biarkan? Mengapa Engkau tidak berbuat sesuatu?’ Sementara waktu Tuhan tidak berkata apa-apa. Malamnya Ia menjawab dengan sangat tiba-tiba: ‘Aku telah berbuat sesuatu. Aku menciptakan engkau.’
Kepedulian kita kepada diri sendiri, dilanjutkan lingkungan kecil keluarga, kemudian kepada sesama, perhatian kita kepada lingkungan sekitar, cinta kasih kita kepada sekililing – yang terangkum dalam akhlak yang baik dan budi yang luhur, mampu mendahului kegigihan hamba yang mengkhususkan ibadah hanya kepada Sang Pencipta melalui berpuasa dan bangun malam. Dalam hal ini seorang bijak pernah mengingatkan; ”Yang penting bukan seberapa besar yang kita perbuat, melainkan seberapa besar cinta kasih yang kita sertakan dalam perbuatan kita.” Oleh karena itu, setelah tahu cara mencinta dalam beribadah, maka selanjutnya jangan sampai salah dalam mencinta. Mencinta di jalur Allah saja (Hablum minallah) bisa celaka. Memilih mencinta di jalan – jalan manusia dan alam sekitarnya (hablum minannas) saja juga berbahaya. Cermati gerak – langkah kita. Hablum minallah penting, tapi hablum minannas jangan sampai tertinggal begitu saja. Ada hak dan kewajiban yang harus dan terus dipenuhi di sana. Keduanya harus berjalan seiring dan seimbang. Karena itu, teruslah berbudi luhur dalam mengawal keimanan ini. Sampai mati.
Senada dg sabda nabi bahwa sebaik2nya muslim adalah yg bermanfaat bg org lain. Dan org lain selamat dari mulut dan tangannya….AJKH Mas Kus
Ayat terpanjang yaitu Qs 2:282, 1 halaman penuh, transaksi jangka panjang yg mahal kalau pakai transaksi non-syirkah. Eksplisit perlindungan kaum lemah baik materi atau non materi sehingga persyaratannya harus ada catatan dan penasihat yg didunia modern menjadi akutansi dan konsultan. Tentunya terumit ilmu dan amalannya sehingga pahalanya logis terbesar, menegakan keadilan antara duafa dan aghnia. Menguntungkan/ merugikan bagi keduanya, tidak menguntungkan sebesar-besarnya hanya bagi aghnia. Aamiin