Bangsa Indonesia hidup dalam sebuah paradoks, berbeda suku, agama, dan ras di sisi lain mampu membangun persatuan yang teguh. Lalu bagaimana kehidupan sosial umat Islam di wilayah non-Islam (Nonis)?
Kumandang adzan menggema dari pengeras suara Masjid Roudhotul Jannah di kawasan Sekretariat DPW LDII Nusa Tengara Timur (NTT). Suara muadzin mengantar mentari perlahan tenggelam. Langit jingga mengingatkan umat Islam di Kupang segera bergegas mengambil air wudhu dan bersiap pergi ke masjid menunaikan ibadah salat Maghrib.
Maghrib di “Kota Kristen” ini rasanya tak beda dengan magrib-magrib di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Nuansanya sama persis dengan kota-kota di pulau Jawa yang mayoritas muslim, saban senja suara adzan bersahut-sahutan menjemput petang.
Di Nusa Tenggara Timur, masjid berdiri bersama ribuan gereja Kristen dan Katolik. Menukil data dari Kantor Wilayah Kementerian Agama NTT lebih dari 40 masjid tersebar di Kupang. Islam adalah agama minoritas di Nusa Tenggara Timur. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 menyebutkan Islam hanya dianut oleh sebagian kecil, mencakup 8,8 persen dari total penduduk.
Namun menjadi muslim di kota yang mayoritas Kristen bukanlah hal yang sulit. Dalam podcast Linestalk bertajuk “Berdakwah di Daerah Muslim Minoritas”, pada Jumat (20/9), Ketua DPW LDII Provinsi NTT, Mustafa Beleng mengungkapkan kelompok muslim sebagai minoritas di NTT dapat dengan leluasa menjalani kehidupan beragamanya. Para warga LDII dan masyarakat muslim di NTT bisa beribadah bebas dan damai tanpa adanya ancaman apapun, meskipun mereka minoritas.
“Kalau persoalan agama seperti adzan itu tidak ada batasan atau larangan. Kami menjalani ibadah dengan lancar tanpa adanya perselisihan dengan masyarakat sekitar yang mayoritas memeluk agama Kristen dan Katolik,” ucapnya.
Ia melanjutkan kehidupan harmonis antar umat beragama tersebut bahkan disimbolkan dengan berdirinya Kantor Sekretariat DPW LDII NTT yang bersebelahan dengan panti asuhan milik Katolik, “Kami tetap hidup rukun berdampingan. Bahkan ketika ada acara, kami saling membantu berbagi fasilitas yang kami miliki,” lanjutnya.
Mustafa pun mengapresiasi peran pemerintah provinsi NTT, yang tidak membeda-bedakan pemeluk agama, dalam memberikan bantuan fasilitas peribadatan, “Semua agama dibantu oleh pemerintah provinsi NTT,” tutur Mustafa.
Kehidupan harmonis yang dijalani umat muslim sebagai minoritas ternyata juga dirasakan oleh warga LDII Papua. Hal tersebut tercermin dari berdirinya Kantor DPW LDII Papua dan salah satu pondok pesantrennya di samping gereja, “Sejauh ini kami saling bekerja sama, menghormati dan rukun. Bahkan fasilitas-fasilitas kita bisa dipakai untuk agama kristen dan sebaliknya,” tutur Ketua DPW LDII Papua, Sugiono.
Kehidupan beragama yang harmonis di Papua, bukanlah tanpa ujian. Sugiono mengisahkan peletakan batu permata dan pembangunan salah satu pondok pesantren di Perumahan Jaya ABRI pernah ditolah warga. Namun itu hanyalah dinamika dengan komunitas lokal.
Sugiono mengungkapkan penolakan itu hanya kasus kecil, secara umum pembangunan lembaga pendidikan berbasis keagamaan selalu disambut positif, “Kasus penolakan ini menunjukkan bahwa setiap kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak sosial dan lingkungan serta harmonisasi dengan nilai dan kepercayaan komunitas setempat,” papar Aparatur Sipil Negara (ASN) di Papua itu.
“Kami berbicara sebagai masyarakat muslim pada umumnya. Baru-baru di Jayapura ada satu yayasan membangun pondok tetapi ada penolakan dari pihak gereja. Mereka sampai mendemo di kantor gubernur, intinya menolak untuk mendirikan pondok di situ,” ungkapnya.
Sugiono menyampaikan permasalahan yang menyangkutpautkan dengan agama tersebut dapat diselesaikan dengan komunikasi yang dibalut dengan sikap toleransi. Masyarakat minoritas muslim di wilayah ini dituntut mampu memposisikan diri sebagai panutan, sehingga setiap tindakan dan langkahnya menjadi uswah atau contoh yang baik bagi masyarakat sekitar.
“Memang di Papua sempat beberapa kali ada ujian secara umum terhadap umat Islam. Namun, kuncinya adalah komunikasi yang baik dan sikap saling toleransi,” ucapnya.
Sugiono pun berbagai kiat agar kehidupan beragama berjalan dengan rukun dan damai: minoritas harus tahu diri, tidak terlalu pamer. Terutama mengikuti adat istiadat yang berlaku di wilayah mayoritas. Di sisi lain ia memuji pemerintah provinsi Papua yang memiliki beragam kebijakan yang tidak diskriminatif terhadap minoritas.
Peran pemerintah provinsi Papua sangat strategis dalam membina kerukunan antarumat beragama, “Yang jelas dengan adanya FKUB dan program bantuan keagamaan dan kehadiran pemerintah dalam mengantisipasi dan menjaga konflik agar tidak terjadi. Peran pemerintah memang saat ini sudah sangat membantu. Kemarin juga ada kegiatan doa bersama semua agama dalam kaitan Pilkada supaya sejuk saling mengormati pilihan,” tutupnya.
Hubungan harmonis antar umat beragama ini tak hanya berjalan di lingkungan umat Kristen-Islam saja. Di Bali misalnya, umat muslim bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang mayoritasnya memeluk agama Hindu.
Tradisi ‘Ngejot’ saat perayaan Hari Idul Adha menjadI salah satu bentuk kerukunan antar umat beragama yang ada di Bali. Ketua DPW LDII Bali, Olih Solihat Karso mengungkapkan istilah ‘Ngejot’ berasal dari bahasa bali yang berarti ‘memberi’. Dalam hal ini, warga LDII Bali rutin melaksanakan tradisi ini untuk berbagi daging kurban kepada umat beragama lain.
“Saat tradisi Ngejot, daging yang kita bagikan adalah daging kambing. Itu praktik toleransi yang kami kerjakan,” ucapnya.
Keharmonisan umat beragama di Bali tidak hanya terjadi setelah pemotongan kurban, keharmonisan itu terjadi juga sebelumnya dimana pemerintah daerah dan Keluarga Puri atau kerajaan juga ikut menyumbang hewan kurban kepada LDII Bali setiap tahunnya.
“Saat kurban kemarin dari Pak Walikota yang beragama Hindu pun turut memberikan satu ekor kambing besar untuk dikurbankan di LDII. Ada juga dari Keluarga Puri rutin memberi satu ekor sapi untuk dikurbankan di LDII,” lanjut Olih.
Olih melanjutkan keharmonisan antarumat beragama juga dicerminkan saat perayaan Hari Nyepi. Ia bertutur, Ramadan tahun ini cukup unik karena salat tarawih perdana bertepatan dengan Hari Nyepi.
Ia lantas mengimbau warga LDII di Bali untuk melaksanakan salat tarawih di masjid terdekat atau di rumah masing-masing selama Hari Raya Nyepi berlangsung dengan tidak menggunakan pengeras suara luar untuk menghormati Nyepi.
“Saat itu kebetulan sedang bulan puasa. Maka kami menyerukan kepada warga LDII untuk melaksanakan tarawih di rumahnya masing-masing untuk menghormati perayaan Hari Nyepi,” ucapnya.
Bagi warga LDII yang menjalani kehidupan sebagai kaum minoritas di daerah mayoritas non-Islam bukanlah hal yang sulit. Kehadiran Pancasila yang digagas oleh para pendiri bangsa itulah yang mengeratkan perbedaan. Bagi mereka, Pancasila merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Esa sebagai dasar negara yang bisa mempersatukan bangsa meski dipenuhi dengan segudang perbedaan.
“Masalah agama itu adalah masalah keyakinan. Dan kita tidak bisa memaksakan keyakinan pada semua orang. Konsep yang kita kembangkan adalah persaudaraan dengan bingkai toleransi sebagai pengamalan nilai-nilai Pancasila,” tutupnya.