Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Anugerah, musibah adalah putaran hidup. Berhasil atau gagal adalah pertandanya. Senang – susah adalah hiasannya. Dan tergantung kemampuan hati bagaimana mengolahnya. Orang yang berjiwa besar, berhati luhur, cobaan dan mushibah sebesar apapun dapat dilalui dengan nyamannya. Endingnya malah bergembira dengan mushibah itu semua. Sedangkan orang yang berjiwa kerdil, berhati sempit, rasanya seperti kiamat. Dan sebagian hati malah menelannya sehingga panjang buntutnya. Yang pada akhirnya, disertai dengan adanya dendam tak berkesudahan. Kalau mau bercermin, mari simak sabda Rasulullah SAW berikut ini.
عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.”
Dari Shuhaib, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, karena seluruh urusannya adalah baik baginya. Dan itu tidaklah terjadi kecuali bagi orang yang beriman; jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR Muslim)
Situasi yang digambarkan oleh Rasulullah SAW tersebut bukan sembarang mukmin, tetapi mukmin yang mempunyai kualitas hati yang moncer. Dimana lakon apa saja yang dihadapinya selalu berbuah kebaikan dan kebaikan. Ditimpa musibah dapat pahala. Diberi kegagalan tidak marah. Dicoba sakit sabar. Apalagi diberi kebaikan, semakin banyak syukur dan syukurnya. Hidup seolah berjalan dengan semua kebaikan. Orang bilang; tak pernah mati gaya.
Hidup seorang mukmin adalah tarian indah antara syukur dan sabar. Syukur menjadikannya rendah hati dalam nikmat, sabar menjadikannya tegar dalam ujian. Dan di antara keduanya, ia menemukan kedamaian yang tak tergantikan, karena ia tahu bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang sempurna. Inilah keajaiban iman, anugerah terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Maka, apa yang harus dikhawatirkan? Karena dalam setiap langkah, setiap nafas, dan setiap kejadian, seorang mukmin selalu berada dalam pelukan kasih sayang Tuhannya.
Untuk menuju ke sana perlu rasanya kita belajar dari kisah Nasrudin, kala mencari kebesaran hati. Suatu hari, Nasrudin yang sedang dirundung masalah mendatangi gurunya. Tanpa membuang waktu, ia langsung menceritakan semua masalahnya. Sang Guru hanya mendengarkan dengan seksama keluh – kesahnya, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta Nasrudin untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya pelan dan perlahan.
“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya,” ujar sang guru.
“Pahit, pahit sekali “, jawab Nasrudin sambil berkali – kali meludah ke samping.
Sang Guru pun tersenyum, lalu mengajak Nasrudin berjalan ke tepi telaga di belakang rumahnya. Sesampai di sana, Sang guru itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah,” pinta Sang Guru.
Saat Nasrudin mereguk air itu, Sang Guru kembali bertanya lagi kepadanya,
“Bagaimana rasanya ?”
“Segar Guru,” sahut Nasrudin.
“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?” tanya Sang Guru.
“Tidak, tidak sama sekali,” sahut Nasrudin.
Sang Guru tergelak sambil berkata, “Nasrudin, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnya pun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang kamu dapat lakukan; lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.”
“Tapi Guru, bagaimana cara saya membesarkannya? Bukankah hati itu, cuma sebesar kepalan tangan?” tanyanya.
“Isilah hati dengan hikmah, kepahaman hidup dengan menyemai bibit – bibit penerimaan (nrimo ing pandum), dermawan (suka memberi) dan penuh kepasrahan. Dan jauhkan hati dari penyakit iri, dengki, sombong dan arogan. Niscaya dia akan seluas samudra, menampung segala hal dan mencukupi,” jawab Sang Guru.
Benar sekali, mari hiasi dan perbaiki hati kita, biar nyegoro. Menerima semuanya tanpa keserakahan memilih dan kesia-siaan memiliki. Para tetua sering mengunci dengan kalimat indah: nrimo ing pandum. Karena ia adalah seni menerima apa yang telah digariskan Tuhan dengan hati yang ikhlas. Ia adalah laku hidup yang sederhana namun penuh makna, di mana jiwa tidak terombang-ambing oleh keinginan yang meluap-luap, juga tidak dirundung keluhan yang tak berkesudahan. Dalam nyegoro, ada kebijaksanaan untuk memahami bahwa apa yang datang adalah anugerah, dan apa yang pergi adalah bagian dari takdir yang harus diterima. Nrimo ing pandum bukanlah bentuk pasrah tanpa usaha, tetapi penerimaan penuh kesadaran. Ia lahir dari keyakinan bahwa setiap rezeki, kebahagiaan, ujian, dan kehilangan adalah jatah yang telah disiapkan oleh Gusti Allah, Sang Pengatur Kehidupan. Seperti air yang mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai, hidup menjadi lebih tenang ketika kita berhenti melawan arus takdir.
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوْا مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ سَيُؤْتِيْنَا اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ وَرَسُوْلُهٗٓ اِنَّآ اِلَى اللّٰهِ رَاغِبُوْنَ
“Jika mereka benar-benar ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, ‘Cukuplah Allah bagi kami. Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rasul-Nya. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah'” (QS At-Taubah:59)
Orang yang nrimo ing pandum memiliki hati yang lapang. Ia tidak iri pada rezeki orang lain, karena ia tahu bahwa kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak yang dimiliki, tetapi dari seberapa besar rasa syukur yang hadir di dalam hati. Ia juga tidak gelisah terhadap masa depan, karena ia percaya bahwa Tuhan telah menakar segala sesuatu dengan tepat, tak kurang dan tak lebih. Dalam nrimo ing pandum, seseorang belajar untuk memetik kebahagiaan dari hal-hal kecil. Menikmati secangkir teh hangat di pagi hari, mendengar tawa anak-anak, atau melihat matahari terbenam di ujung senja adalah anugerah yang tak ternilai. Baginya, hidup bukan soal memiliki segalanya, tetapi tentang mampu menghargai apa yang sudah ada. Seperti pohon yang tegak berdiri meski diterpa angin, nrimo ing pandum membuat seseorang tetap tegar di tengah badai kehidupan. Ia tidak mengeluh ketika hujan datang, dan tidak berlebihan saat mentari bersinar. Hidupnya seimbang, karena ia tahu bahwa suka dan duka adalah warna yang melengkapi lukisan kehidupan. Hidup yang nrimo ing pandum adalah hidup yang damai. Ia membawa ketenangan bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Sebab, dalam penerimaan itu, ia menemukan Tuhan, Sang Sumber Kebahagiaan sejati. Itulah ciri-ciri hati yang moncer. Sudahkah kita miliki?