Parni dengan ulet menjajakan nasi pecel. Keuletannya selama 30 tahun mengantarnya berkunjung ke Tanah Suci.
Di antara bubur ayam dan nasi uduk, yang yang lazim jadi sarapan warga Jakarta, nasi pecel bukanlah yang populer. Meskipun nasi pecel sangat populer untuk sarapan di Nganjuk, Kediri, Ponorogo dan Madiun.
Tapi Parni berani menekuni kuliner yang kurang populer itu. Dengan semangat dan tekad yang luar biasa, ia menjajakan nasi pecel dengan cara berkeliling. Selama 30 tahun, ia menggendong keranjang dan penampi sederhana yang berisi pecel. Wanita asal Desa Kemasan, Sukoharjo, Jawa Tengah itu, menjelajahi setiap sudut Cipinang Timur hingga Jatinegara Kaum di bilangan Jakarta Timur demi mencari rezeki.
Pecelnya bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga menginspirasi. Dari berjuang melawan cuaca sampai kampung-kampung yang hilang tergusur pencakar langit. Perubahan kampung menjadi gedung-gedung itu, tentu saja menggusur para pelanggan setianya.
Meskipun begitu, pelan tapi pasti nasi pecel buatan Parni mendapat ruang di hati pecintanya. Mereka terbiasa sarapan dengan nasi pecel. Parni memperoleh keterampilan membuat nasi pecel secara turun temurun. Nasi pecel merupakan budaya, yang terekam dalam jejak sejarah kuliner Jawa.
Dinukil dari medcom.id, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada (UGM), Murdijati Gardjito, mengungkap istilah pecel berasal dari bahasa Jawa. Pecel atau pecal artinya diperas setelah direbus.
Pecel muncul di kehidupan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa sejak abad ke-9 masehi, era Kerjaan Mataram Kuno. Saat itu, Kerajaan Mataram Kuno dipimpin Rakai Watukura Dyah Balitung (898-930). Pada awalnya, pecel merupakan menu jamuan bagi rombongan kerajaan. Tetapi, kini pecel telah menjadi hidangan yang biasa disantap sehari-hari.
Jejak munculnya hidangan pecel juga dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi. Pecel dalam kisah itu, membuat terpesona Sunan Kalijaga kala dihidangkan Ki Gede Pemanahan, saat bertandang di Kota Gede ibu kota Mataram Islam kala itu. Pecel yang terdiri dari sayuran, tauge, dan saos sambal kacang dipadu lauk pauk lainnya, memang legit dan lezat.
Bagi Parni pribadi, pecel merupakan penyelamat. “Saya terhimpit ekonomi ditambah dengan orangtua yang sudah sakit begitu lama,” ujar Parni yang mulanya bekerja sebagai pembatik. Ia memutuskan merantau ke Jakarta menumpang di rumah keponakannya. Himpitan ekonomi itu juga yang membuatnya nekat meninggalkan suami yang berprofesi sebagai buruh tani dan anaknya yang berumur tiga tahun.
“Saat itu, saya bekerja sebagai seorang pembatik di Sukoharjo, saya berpikir buruh batik hasilnya tidak seberapa dan seandainya saya punya anak, tentu tidak cukup untuk membiayainya,” ujarnya di sebuah balai di kawasan Jatinegara Kaum, Jakarta.
Setibanya di Jakarta, Parni tak langsung jualan nasi pecel tapi bubur candil. Banyak yang menyukai racikan buburnya itu, ia dan ponakannya menjajakannya hingga 10 tahun. Lalu ia menjual pula nasi pecel, rupanya “cuannya” lebih banyak ketimbang bubur candil. Ia pun memutuskan beralih menjajakan kudapan itu.
“Kalau dihitung, perkiraan saya jualan pecel sudah 30 tahun,” ujar Parni sembari tangan keriputnya meracik makanan khas Jawa itu.
Setelah 10 tahun di Jakarta, suaminya memutuskan menyusul. Parno, suaminya itu memutuskan untuk berjualan bakso di salah satu sudut toko minimarket di bilangan Cipinang Timur, Jakarta Timur, “Setelah 10 tahun di Jakarta akhirnya suami ikut merantau juga. Setelah di Jakarta, suami saya belajar jualan bakso, dan alhamdulillah sampai sekarang masih,” tambahnya.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Parni menceritakan perjuangannya menghidupi keluarganya. Sebab, di saat bersamaan, orang tua Parni meninggal dunia dengan meninggalkan dirinya dan tiga saudaranya.
Sebagai anak sulung, Parni harus menanggung biaya hidup mereka. Namun, karena keterbatasannya, ia tak sanggup untuk menyekolahkan adik-adiknya. Tapi ia tak kurang akal. ketiga adiknya ia kirim ke pondok pesantren hingga berhasil menjadi mubaligh.
“Ketika itu, ibu saya meninggal dunia dan kondisi adik-adik saya masih kecil. Otomatis saya harus menanggung mereka semua. Saat itu, ekonomi saya serba terbatas makanya tidak bisa menyekolahkan mereka. Tapi alhamdulillah bisa jadi mubaligh,” ucapnya sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya itu.
Ia bersyukur, jerih payahnya itu berbuah manis. Tak hanya mengentaskan ekonomi keluarga, keinginannya untuk bisa umrah ke tanah suci dikabulkan Allah SWT. Lebih tepatnya pada 2022 lalu, ia dan suaminya bisa beribadah di tanah suci Mekah.
“Alhamdulillah, selama saya di Jakarta 40 tahun, saya dan suami bisa umroh ke tanah suci. Kalau bisa dibilang hanya modal niat. Tabungan kami sebenarnya tidak cukup, tapi alhamdulillah bisa berangkat berdua,” ujar wanita 67 tahun itu.
Dan bahkan, banyak dari pelanggan pecelnya memberikan dukungan baik materil dan nonmateril. Ia mengaku, tak menyangka para pelanggan pecelnya itu begitu peduli dengan dirinya.
“Dan yang membantu biaya umrah adalah para pelanggan pecel. Mereka menyumbangkan uang rupiah dan real. Bahkan ada seorang pelanggan yang membelikan handphone,” ujarnya mengenang kebaikan para pelanggan.
Bagi Parni, berkunjung ke Tanah Suci adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Bahkan sering meneteskan air mata ketika melihat orang berangkat haji dan umrah, “Setiap melihat orang berangakat umrah saya selalu menangis. Berharap saya juga bisa kesana. Dan alhamdulillah Allah paring,” ujarnya.
Ia tak berhenti berharap dan berdoa, “Setiap habis salat saya selalu berdoa supaya bisa haji dan umrah. Dan alhamdulillah diberi kelancaran,”ungkapnya
Sedikit demi sedikit ia menabung. Kerja kerasnya dimulai sejak pukul 03.00. Ia mengayuh sepedanya menuju Pasar Klender, Jakarta Timur. Ketika sepedanya dipenuhi sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya, Parni segera menuju dapur untuk meracik makanan khas Jawa, yang banyak digemari orang itu.
Ketika ufuk timur disepuh warna jingga, Parni bergegas melangkahkan kakinya dengan menggendong keranjang dan tampah, mengelilingi kawasan Cipinang Timur-Jatinegara Kaum. Tak lama berselang, pecel dengan cita rasa yang khas itu ludes di tengah kerumunan orang yang setia menjadi pelanggannya selama puluhan tahun lalu.
Ketika ditanya, bagaimana nanti ketika Jakarta sudah tidak lagi menjadi ibu kota? Ia menjawab, meski tak lagi menjadi ibu kota, Jakarta tetap akan menjadi daya tarik kaum urban untuk mengadu nasib seperti dirinya. (Faqih/LINES)
Alhamdulillah..
Hasil dari Kerjo mempeng lan tirakat banter
kisah yang sangat menginspirasi