Jakarta (27/2). Ketahanan nasional yang dibangun melalui ketahanan keluarga, rupanya juga terkait dengan hak perlindungan pada anak dan perempuan dari kekerasan. Hal tersebut menjadi paparan topik Maria Ulfah Anshor, Komisioner dari Komisi Nasional perempuan yang menjadi pembicara pada webinar ketahanan keluarga pada Sabtu (27/02) secara daring.
Dalam webinar yang diselenggarakan DPP LDII itu, Maria memaparkan peningkatan ketahanan keluarga dari sisi perlindungan anak dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Maria menekankan bahwa keluarga erat dengan hak perlindungan anak dan perempuan. Rumah adalah tempat pertama anak berinteraksi dengan anggota keluarga lain.
“Keluarga merupakan unit terkecil di dalam masyarakat, kemudian juga menjadi ranah pertama dan instrumental bagi manusia dalam menikmati kehidupan dan tata sentinya, seperti yang telah dikatakan oleh Ketua Komisi Ukhuwah MUI KH Adnan Harahap mengenai “Baiti Jannati”, juga senada yang dikemukakan Bronhen Dander juga menyebutkan, rumah merupakan tempat pertama terjadinya interaksi antara anak dengan anggota keluarganya,” kata Maria.
Menurutnya, rumah menjadi jannati atau tidak itu terkait kemampuan keluarga dalam menjalankan fungsinya secara optimal, yang mana hal ini lekat pemenuhan hak asasi manusia di antara seluruh anggota keluarga yang ada. Fungsi keluarga seperti dipaparkan Maria adalah yang pertama mengajarkan, membimbing, mendidik, dan mengasuh anak untuk mengenal terhadap agama yang dianut oleh orang tua maupun agama dari anak-anak, dalam hal ini pengasuhan anak sangat penting.
Kedua, keluarga memberikan pengajaran etika sopan santun atau akhlakul karimah yang diterapkan dalam keluarga sebagai fungsi penanaman nilai-nilai karakter terkait sosial budaya sekaligus di dalamnya juga merupakan penyaluran kasih sayang keluarga. Selanjutnya keluarga juga berfungsi memberikan perlindungan bagi anggota keluarga, fungsi reproduksi, sosialisasi, pendidikan, serta ekonomi dan pembinaan lingkungan.
“Perundangan yang mengatur mengenai fungsi keluarga itu ada dalam Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana dan Sistem Informasi Keluarga,” kata Maria.
Melindungi Anak, Memastikan Hak Anak Terpenuhi
Mengenai perlindungan anak, Maria menjelaskan, jika mengacu pada UU Perlindungan Anak, tindakan perlindungan anak adalah serangkaian upaya mensejahterakan anak dengan perlindungan secara menyeluruh, tidak sekedar pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Tetapi juga menjadi pemenuhan terhadap keseluruhan hak anak termasuk mencegah dan merespon segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi terhadap anak (Pasal 59).
Mengutip UNICEF, Maria juga menyebutkan bahwa kesejahteraan anak berarti isyarat kemampuan orangtua dan keluarga sebagai salah satu lingkungan terdekat dengan anak, serta mewajibkan adanya dukungan negara yang hadir memberikan pelayanan menyeluruh dalam pengembangan agar anak terlindungi dari berbagai kekerasan dan diskriminasi serta perlakuan salah, baik dalam pengasuhan, lembaga pendidikan, maupun komunitasnya.
UU Perlindungan Anak atau Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan bahwa perlindungan anak itu harus memastikan terpenuhinya hak anak, diantaranya adalah hak untuk diasuh oleh orang tua, hak untuk bermain, hak berekreasi, hak berpartisipasi, hak mendapatkan nama yang baik, hak identitas, hak mendapat kewarganegaraan, dan sejenisnya.
“Selain ada hak-hak yang harus dipenuhi oleh orang tua dan semua orang dewasa terhadap anak, juga ada perlindungan khusus dalam situasi darurat seperti konflik sosial atau situasi bencana termasuk Covid-19 ini. Anak harus mendapatkan perlindungan khusus karena treatment-nya berbeda dengan orang dewasa,” kata Maria menjabarkan.
Desakan Perlunya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Terkait kekerasan terhadap perempuan juga menjadi fenomena yang trennya naik, kekerasan ini disebut juga kekerasan berbasis gender. Detail penjelasannya adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan fiktif, seksual, atau psikologis, untuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi.
“Pemerkosaan itu tidak hanya dimaknai dengan pertemuan antara dua alat kelamin tetapi juga belakangan ini fenomenanya pemerkosaan itu juga bisa menggunakan oral dan anal atau juga bisa memasukkan anggota tubuh lainnya seperti jari atau tangan bahkan benda-benda dalam vagina. Itu termasuk kekerasan seksual,” ujarnya.
Maria Ulfah menambahkan pada satu contoh kasus yang terjadi pada seorang korban di Bengkulu yang tidak hanya mengalami pelecehan, namun juga mengalami kekerasan seksual dengan rudapaksa alat kelamin korban, “Maka dari itu, menjadi sangat penting ketika berbicara tentang kekerasan seksual adalah bagaimana akses hukumnya, karena di dalam sistem hukum Indonesia, tidak dikenali bentuk-bentuk pemerkosaan menggunakan benda, juga tidak termasuk dalam KUHP, Undang-Undang PKDRT, dan undang-undang hukum lainnya,” imbuhnya.
Maria menegaskan kembali hal itu, atas dasar desakan terhadap tingginya kekerasan seksual sehingga perlu diusulkan adanya rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual. (Yuli/LINES)