Oleh Thonang Effendi*)
Di sudut kedai kopi, di ruang tamu, hingga di meja rapat informal, tradisi ngopi bareng telah menjelma lebih dari sekadar menikmati secangkir kopi. Ia menjadi jembatan untuk menyambungkan rasa, menyelaraskan pemikiran, hingga menyatukan gerak langkah dalam mencapai tujuan bersama. Lebih dari sekadar kebiasaan, ngopi bareng adalah peristiwa sosial yang merajut kedekatan emosional dan intelektual antarindividu.
Budaya Ngopi Bareng: Dari Secangkir Kopi ke Dialog Bermakna
Di setiap pertemuan ngopi bareng, cerita tentang kopi mengalir deras, mulai dari jenis kopi, asal kebun tempat biji kopi ditanam, hingga proses panjang dari panen, penyimpanan green bean, teknik roasting, hingga seni penyeduhan baik dengan alat modern maupun metode manual. Tak lupa, ritual menikmati kopi yang khas, termasuk camilan pendamping yang menggugah selera. Namun, yang lebih menarik bukan hanya tentang kopi itu sendiri, melainkan interaksi yang terjadi di sekelilingnya.
Budaya ngopi bareng kini telah menjadi fenomena yang melibatkan berbagai kalangan. Anak muda, pekerja profesional, hingga keluarga. Dalam kehangatan suasana tersebut, orang-orang berbagi cerita, tertawa, dan berdiskusi. Pada titik ini, ngopi bareng bukan sekadar menikmati kopi, melainkan tahapan awal untuk ta’aruf, mengenal karakter dan perspektif masing-masing. Dari sinilah proses menyambungkan rasa bermula.
Menyambungkan Rasa: Tautan Emosi dalam Secangkir Kopi
Dalam budaya Jawa, ada istilah sambung roso, yakni upaya menelisik dan memahami perasaan yang tidak selalu terucap, tetapi bisa dirasakan. Saat berkumpul, ekspresi wajah, tatapan mata, hingga intonasi suara menjadi bahasa yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Ada yang menyebut ini sebagai tahap tafahum, di mana perasaan mulai terhubung dan chemistry terbangun.
Dalam perspektif pembinaan karakter di LDII, menyambungkan rasa adalah bagian dari 6 Thobiat Luhur, khususnya rukun. Rukun adalah pekerjaan hati, dan hati berbicara dalam bahasa rasa. Ketika suasana hati telah selaras, seseorang lebih mudah menerima dan menghargai ide serta pemikiran orang lain. Dari sini, kebersamaan mulai menemukan pondasinya, membuka jalan menuju penyelarasan pemikiran.
Menyelaraskan Pemikiran: Menjahit Gagasan Menjadi Kesatuan
Setiap individu memiliki pemikiran unik, terbentuk dari pengalaman, pengetahuan, dan analisis pribadinya. Dalam forum ngopi bareng, gagasan-gagasan bertemu, saling bersinggungan, dan terkadang bertentangan. Namun, ketika sudah ada rukun, setiap orang merasa aman untuk menyampaikan ide tanpa takut diremehkan atau disalahkan.
Proses diskusi dalam ngopi bareng ini sejalan dengan konsep kompak dalam 6 Thobiat Luhur, yakni kompak, mencapai kesepahaman dan satu persepsi dalam berpikir, seiya sekata, “sa iyeg sa ekoproyo” serta mengerti peran dan tugas masing-masing. Istilah yang pernah dikemukakan oleh KH. Ma’ruf Amin, taswiyatul manhaj, menyamakan pola pikir, menjadi relevan dalam konteks ini. Ketika pemikiran telah selaras, langkah berikutnya adalah memastikan setiap individu memahami perannya dalam mewujudkan solusi bersama dan siap membantu satu sama lain, sering orang menyebut istilah lainnya yaitu ta’awun.
Menyatukan Gerak Langkah: Dari Dialog ke Aksi Nyata
Keselarasan pikiran saja tidak cukup tanpa koordinasi dalam bertindak. KH. Ma’ruf Amin menyebutnya sebagai tansiqul harokah, yakni menyatukan gerak langkah dalam bekerja menuju tujuan bersama. Dalam 6 Thobiat Luhur, hal ini tergambar dalam prinsip kerjasama yang baik, di mana setiap individu tidak hanya memahami perannya, tetapi juga berkomitmen untuk menjalankan tugasnya hingga tuntas. Disinilah tahapan takaful diterapkan, masing-masing saling menjamin dan menanggung, bahu-membahu, memastikan tugas bisa diselesaikan sesuai ide gagasan kesepakatan bersama.
Ketika semua unsur ini berpadu, rukun dalam rasa, kompak dalam pemikiran, dan kerjasama yang baik dalam aksi, maka cita-cita bersama lebih mudah diwujudkan. Bukan sekadar wacana, tetapi menjadi langkah nyata yang membawa manfaat bagi banyak orang.
Dari Ngopi Bareng ke Kemashlahatan Umat
Akhirnya, ngopi bareng bukan hanya soal menikmati kopi. Ia menjadi ruang sosial di mana individu belajar menyambungkan rasa, menyelaraskan pemikiran, dan menyatukan gerak langkah. Dalam konteks pembinaan karakter, ini adalah implementasi nyata dari taswiyatul manhaj dan tansiqul harokah, sekaligus penerapan nilai rukun, kompak, dan kerjasama yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Berawal dari secangkir kopi, dialog bermakna pun tercipta. Dari obrolan santai, lahirlah gagasan besar. Dan dari kebersamaan, terjalin koordinasi yang membawa manfaat luas. Mungkin inilah esensi sejati dari ngopi bareng. Membangun kebersamaan untuk kemashlahatan umat.
Thonang Effendi adalah Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII