Oleh Ketua Umum DPP LDII Ir. KH. Chriswanto Santoso, M.Sc
Dulu kala, bangsa-bangsa yang hidup di Nusantara yang saat ini sebagian besar menjadi wilayah Indonesia, pernah menjadi kekuatan besar di Timur. Negeri-negeri seperti Singasari, Sriwijaya, dan Majapahit, bahkan menjadi kekuatan besar yang mengontrol Asia bagian tenggara. Namun, ketika kerajaan-kerajaan besar itu gagal mempertahankan supremasinya akibat perang saudara atau perebutan tahta, maka melemahlah pengaruh mereka.
Ditambah lagi, kejatuhan Konstatinopel pada 1453 oleh Kekaisaran Turki Ottoman, mendorong kerajaan-kerajaan Seropa seperti Spanyol dan Portugis, mencari sumber-sumber rempah baru. Jatuhnya Konstatinopel mengubah geopolitik abad ke-15. Usai menguasai Konstatinopel, Sultan Muhammad Al Fatih (Mehmed II), mengontrol Selat Bosporus yang membuat perdagangan antara Eropa Timur dan Barat terganggu. Harga rempah-rempah yang mengalir dari Eropa Timur dari Asia, menjadi kian mahal. Pendek kata, jatuhnya Konstatinopel membuat Turki Ottoman menguasai geopolitik dan Ekonomi Eropa. Istanbul nama baru Konstatinopel kemudian menjadi pusat rempah Eropa dan Asia. Bahkan, perdagangan komoditas kelas wahid itu, dikuasai sepenuhnya oleh para pedagang Islam.
Bangsa-bangsa Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda lalu berinisiatif melakukan penjelajahan samudera. Mereka datang ke wilayah nusantara, di mana kekuatan-kekuatan besar pada masa lampau telah melemah. Sehingga dengan politik adu domba dan teknologi militer yang lebih baik, mereka mampu menaklukkan nusantara. Lama dikuasai asing, bangsa Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945, terseok-seok mengejar ketertinggalan. Namun, McKinsey Global Institute pada September 2012, memperkirakan Indonesia akan menjadi negara ketujuh, yang menguasai ekonomi dunia pada tahun 2030. Harapan tersebut juga tertuang dalam program nasional “Generasi Emas Indonesia 2045”. Persoalannya, benarkah Indonesia yang makmur juga turut menguasai ekonomi dunia setelah 100 tahun merdeka?
Generasi emas yang bakal mewarnai Indonesia pada 2045 memang harus disiapkan sejak saat ini. Dengan bonus demografi yang dinikmati Indonesia pada 2030, dengan penduduk mayoritas berusia muda dan produktif dapat mendorong bergeraknya sektor ekonomi, jasa, dan manufaktur. Persoalannya, mencetak generasi emas juga butuh strategi di tengah-tengah gempuran hedonisme dan konsumerisme. Pada sisi lain, kemandirian generasi muda dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tantangan yang kuat. Sebab, konflik-konflik saat ini dan pada masa depan, menurut Geof Hischock dalam bukunya Earth Wars: The Battle for Global Resources, berkutat pada penguasaan pangan, air, energi, dan logam. Rempah-rempah bukan lagi isu strategis seperti pada masa lalu.
Untuk itu, kemandirian bangsa pada masa depan ditujukan kepada kemampuan mengelola pangan, air, energi, dan logam. Agar tak dikuasai atau dikelola seluruhnya oleh negara lain. Ormas-ormas Islam, dalam kemandirian bangsa tersebut, juga harus menyediakan kader-kader mereka untuk menyambut Indonesia emas. Pada masa depan, umat Islam masih menjadi mayoritas dan kian memegang peranan penting. Akan tetapi, bila ormas Islam mengabaikan pendidikan, pelatihan, dan kaderisasi, dikhawatirkan generasi muda muslim akan mengalami dekadensi bahkan tercerabut akarnya dari nilai-nilai Islam. Implikasi, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa didasari dengan iman, akan mengakibatkan kerusakan terhadap umat manusia.
Sebagai ormas Islam, LDII fokus membangun sumberdaya manusia (SDM) yang profesional religius sejak Munas VII pada 2011. Generasi yang profesional religius, merupakan SDM yang memiliki ciri alim-faqih (memiliki ilmu pengetahuan agama dan mempraktikkannya), berakhlak mulia, dan mandiri. Sejak 1972, gerak LDII sebagai lembaga dakwah – sebagaimana juga dilaksanakan ormas-ormas lainnya – adalah membangun jasmani dan rohani masyarakat. Program prioritas ormas-ormas Islam berupa pendidikan dan pelatihan pada bidang agama dan kebangsaan diharapkan melahirkan SDM yang memiliki iman dan takwa yang kuat sebagai sandaran moral. Mereka juga memiliki rasa cinta tanah air yang besar karena telah dibekali dengan wawasan kebangsaan.
Memadukan pendidikan formal dan pesantren, menjadi harapan ormas Islam dalam melahirkan generasi yang qurani. Harapannya, generasi masa depan umat Islam di Indonesia adalah generasi yang profesional karena pendidikan. Sementara dalam hal moral, mereka memiliki Emotion Quotien dalam hal moral dia memiliki emotional quotient (EQ) yang bagus. Mereka memiliki kecerdasan emosional karena terlatih untuk bersabar, dalam mempelajari Al Quran dan Al Hadits. Memadukan pendidikan formal dan agama itu, pada dasarnya akan melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan ketahanan (Adversity Quotient/AQ). AQ berperan besar terhadap individu, ketika mereka menghadapi masalah. Mereka bisa melalui dan menyelesaikan masalah tersebut secara mandiri.
Keempat kecerdasan tersebut saling kait-mengait, dan secara otomatis dapat dibentuk dalam pesantren-pesantren yang juga memiliki sekolah formal. LDII telah berupaya membangun sekolah-sekolah yang terintegrasi dengan pesantren. Agar dapat membangun kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan ketahanan para generasi muda. Kelas-kelas menghafal Al Quran atau tahfidz dibuka di berbagai pesantren, karena menghafal, mengkaji, dan mempraktikkan Al Quran terbukti mampu mendorong empat kecerdasan tersebut. Para santri mampu berpikir solutif sebagai bagian dari AQ, karena meneladani Rasulullah dan para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah. Inilah yang membuat pondok pesantren dan sekolah di lingkungan LDII dan ormas Islam lainnya, menjadi sangat strategis dan penting.
Alumni-alumni dari pondok pesantren kemudian melanjutkan ke berbagai universitas dan perguruan tinggi. Mereka disiapkan menjadi SDM yang bakal mengelola pangan, energi, air, dan logam. Sembari mendorong para alumni pesantren ke perguruan tinggi, untuk menciptakan juru dakwah sekaligus cendekiawan, LDII terus mendorong warganya untuk berinovasi dalam delapan program kerja LDII. Program kerja tersebut antara lain Wawasan Kebangsaan, Keagamaan dan Dakwah, Pendidikan, Ketahanan Pangan dan Lingkungan, Ekonomi Syariah, Kesehatan dan Herbal, Energi Terbarukan, dan Teknologi Informasi.
Salah satu yang mendesak, adalah pemanfaatan energi berkelanjutan. Pesantren Wali Barokah yang selama ini bekerja sama dengan DPP LDII dalam melahirkan juru dakwan telah menggunakan sel surya sebagai sumber listrik. Warga LDII di beberapa lokasi juga telah mengembangkan mikrohidro. Hal tersebut untuk mendorong ormas-ormas Islam lainnya, memikirkan pula energi terbarukan sebagai alternatif sumber energi. Mengingat, Indonesia terikat dengan perjanjian Paris yang mewajibkan penggunaan energi terbarukan mencapai 23 persen pada 2025. Bila gagal dipenuhi, Indonesia bakal mendapatkan sanksi internasional yang tentu saja menggerus daya saing ekspor nasional.
Kedua, LDII fokus di bidang digitalisasi. Teknologi informasi dan komunikasi, digunakan dalam setiap klaster dari program kerja tersebut. Salah satu contohnya, dalam bidang pendidikan karakter, LDII membangun platform atau aplikasi Pondok Karakter. Sementara di bidang perdagangan syariah, LDII membuat Pikub.com dan UBPay. Untuk bidang keagamaan dan dakwah, LDII telah menggunakan Massive Open Online Courses (MOOC) atau kursus terbuka masif. Sistem tersebut diaplikasikan Pondok Pesantren Wali Barokah menggear pengkajian Al Quran dan Al Hadist yang menjangkau 2 juta alumninya yang tersebar di berbagai negara.
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا بَقِيَ اْلأَوَّلُ حَتَّى يَتَعلَّمَ اْلآخِرُ فَإِذَا هَلَكَ اْلأَوَّلُ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَ اْلآخِرُ هَلَكَ النَّاسُ
رواه الدارمي
Tidak henti-hentinya manusia dalam keadaan baik, selama generasi tua masih hidup dan generasi muda mau belajar ilmu darinya. Maka jika generasi tua telah mati sebelum generasi muda belajar ilmu darinya, maka rusaklah manusia, (HR Ad-Darami).
Kolom ini telah dimuat di media online Suara Merdeka, dengan judul Ormas Menyambut Indonesia Emas, pada 27 Oktober 2020
https://www.suaramerdeka.com/news/opini/245289-ormas-menyambut-indonesia-emas