Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Di ruang minum teh yang syahdu, dinaungi nuansa yang tenang menghanyutkan, seorang murid malu-malu bertanya kepada sang guru. Hatinya gundah, perasaannya membuncah ingin segera tahu dan mendapatkan wejangan. Sudah lama ia dambakan sampai dihinggapi rasa penasaran tensi tinggi tentang bagaimana jalan tercepat menuju pencerahan. Dengan lembut sang guru bergumam, “Minumlah tehmu.” Setelah teh habis, tanpa memberi kesempatan pada muridnya bertanya lagi, guru ini lagi-lagi bergumam, “Sekarang, cuci cangkirmu.” Ajaib. Hanya dengan mendengar pesan sederhana ini, dan melakukan semuanya dengan penuh pengagungan (ta’dhim), sang murid mengalami pencerahan.
Bagi orang kebanyakan, cerita ini sungguh susah dimengerti. Namun, bagi yang telah lama menyelam di kedalaman pengetahuan, keilmuan dan spiritual, kisah ini sangatlah mengagumkan. Bahkan dalam khasanah hadits dijumpai beberapa riwayat menakjubkan akan datangnya pencerahan yang lebih sederhana lagi. Diceritakan oleh Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan mengenai ‘Abdullah bin ‘Umar,
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ . قَالَ سَالِمٌ فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لاَ يَنَامُ مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَلِيلاً .
“Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah (maksudnya Ibnu ‘Umar) seandainya ia mau melaksanakan salat malam.” Salim mengatakan, “Setelah dikatakan seperti ini, Abdullah bin ‘Umar tidak pernah lagi tidur di waktu malam kecuali sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pencerahan tidak ada di tempat dan waktu yang jauh. Setiap yang tercerahkan mengalaminya di saat ini. Makanya, banyak guru kehidupan yang berpesan, pencerahan teramat dekat. Ia serupa buku karena teramat dekat banyak yang tidak bisa membacanya. Pencerahan teramat sederhana, namun karena pikiran menyukai kerumitan, maka banyak yang tidak mempercayainya. Pencerahan menyatu bersama tarikan dan hembusan nafas, temukan ketenangan, rangkul kelembutan, hembuskan kesejukan serta hadirkan kedamaian. Lanjutannya bisa mengisi kehidupan dengan kemuliaan dan kasih sayang. Kuncinya, dengarkan dengan penuh penghormatan (ta’dhim/mengagungkan) dan kerjakan sekarang juga dengan penuh suka-cita. Allah menguatkan;
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka); dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS An-Nisa:66-68)
Sebelum jauh menyelami kedalaman kolam jernih pencerahan ini, ada baiknya kita kembali menyimak ketentuan-ketentuan hidup dan kehidupan yang sudah digariskan Sang Pencipta. Maksudnya untuk mempermudah dan bekal yang cukup sehingga mudah untuk melangkah ke depan. Kalaupun harus mundur, hanya strategi saja, untuk kemudian meloncat jauh ke depan dan menjemput pencerahan. Allah membuat ketentuan dalam firmanNya;
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32) }
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS Fathir:32)
Diketahui Bersama bahwa ada tiga tipe manusia di depan kehidupan ini. Pertama, dholimu linafsih (orang yang menganiaya diri sendiri) yaitu mereka yang melawan kemudian penuh penderitaan. Ciri khas manusia yang belum membadankan kesadaran ini, kesehariannya teramat sibuk dengan menendang atau mencengkram. Duka cita, kekalahan, sakit, dicaci dan hal yang menjengkelkan lainnya sekuat tenaga ditendang sejauh-jauhnya. Suka cita, kemenangan, dipuji, ditinggikan, dihormati dan hal menyenangkan lainnya dicengkram sekuat-kuatnya. Padahal kehidupan seperti roda yang berputar. Ada kalanya di atas (kesuksesan, kebahagiaan dan kemenangan) tidak bisa ditahan keserakahan agar selalu di atas selama-lamanya. Ada saatnya di titik terendah (kegagalan, kekalahan dan kesialan) tidak bisa dipaksa kesedihan agar terus di bawah atau dipaksa segera ke atas. Semuanya berputar alami apa adanya, sesuai masanya.
Kedua, muqtashid (orang yang sedang-sedang saja) adalah manusia yang menyatu dengan setiap putaran kemudian mengalami kedamaian. Bisa digambarkan mirip orang yang di tepi roda, belum ke pusat roda, tetapi menikmatinya. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya menggambarkan tipe kedua ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ، فَيَسْأَلَهُ، وَنَحْنُ نَسْمَعُ، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَكَ، قَالَ: «صَدَقَ» ، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ قَالَ: «اللهُ» ، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ قَالَ: «اللهُ» ، قَالَ: فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ؟ قَالَ: «اللهُ» ، قَالَ: فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ، وَخَلَقَ الْأَرْضَ، وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا، وَلَيْلَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ» ، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي أَمْوَالِنَا، قَالَ: «صَدَقَ» ، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ» ، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا، قَالَ: «صَدَقَ» ، قَالَ: ثُمَّ وَلَّى، قَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ»
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Dahulu kami pernah dilarang untuk bertanya tentang apa saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh sebab itu kami merasa senang apabila ada orang Arab Badui yang cukup berakal datang kemudian bertanya kepada beliau lantas kami pun mendengarkan jawabannya. Maka suatu ketika, datanglah seorang lelaki dari penduduk kampung pedalaman. Dia mengatakan, “Wahai Muhammad, telah datang kepada kami utusanmu. Dia mengatakan bahwasanya anda telah mengaku bahwa Allah telah mengutus anda?”. Maka Nabi menjawab, “Dia benar”. Lalu arab badui itu bertanya, “Lalu siapakah yang menciptakan langit?”. Beliau menjawab, “Allah”. Lalu dia bertanya, “Siapakah yang menciptakan bumi?”. Nabi menjawab, “Allah”. Dia bertanya lagi, “Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menciptakan di atasnya segala bentuk ciptaan?”. Nabi menjawab, “Allah”. Lalu arab badui itu mengatakan, “Demi Dzat yang telah menciptakan langit dan yang menciptakan bumi serta memancangkan gunung-gunung ini, benarkah Allah telah mengutusmu?”. Maka beliau menjawab, “Iya”. Lalu dia kembali bertanya, “Utusanmu pun mengatakan kepada kami bahwa kami wajib untuk melakukan shalat lima waktu selama sehari semalam yang kami lalui.” Nabi mengatakan, “Dia benar”. Lalu dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah memerintahkanmu dengan perintah ini?”. Nabi menjawab, “Iya”. Lalu dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami berkewajiban untuk membayarkan zakat dari harta-harta kami?”. Nabi mengatakan, “Dia benar”. Dia berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang telah menyuruhmu untuk ini?”. Beliau menjawab, “Iya”. Dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami wajib berpuasa di bulan Ramadhan di setiap tahunnya.” Nabi mengatakan, “Dia benar” Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah menyuruhmu dengan perintah ini?”. Beliau menjawab, “Iya”. Dia mengatakan, “Utusanmu pun mengatakan bahwa kami wajib untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukaan perjalanan ke sana.” Nabi menjawab, “Dia benar”. Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang memerintahkanmu dengan ini?”. Nabi menjawab, “Iya”.
Anas mengatakan; Kemudian dia pun berbalik seraya mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahkan selain itu dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau dia benar-benar jujur/konsisten niscaya dia akan masuk surga”.
Ketiga, sabiqun bilkhairat (orang yang berlomba dalam kebaikan) – ia yang mengolah kejadian menjadi bahan pencerahan. Kendati demikian, tingginya spiritualitas tidak membuat seseorang bebas sepenuhnya dari masalah. Bahkan guru yang paling tercerahkan sekali pun, bila putaran waktunya digoda, ia tetap akan digoda masalah. Bedanya dengan orang kebanyakan, guru tercerahkan mengolah setiap masalah menjadi berkah berupa berbunyinya bel kesadaran dan peringatan di dalam diri. Serupa akar beracun yang diracik menjadi obat. Dia mirip orang yang sudah masuk ke pusat roda, dengarlah doanya;
وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hasyr: 10)
Diterangi cahaya pemahaman seperti ini, dibandingkan memperparah kehidupan mari nyalakan lentera pencerahan diri. Sekecil apapun sinarnya, ia amat berguna. Hindari menendang yang menjengkelkan serta mencengkram yang menyenangkan. Mungkin indah dan sangat membantu jika mampu mengingat dan mempraktikkan pesan simbolik guru yang bergumam; “Minumlah tehmu.” Karena itulah jalan pencerahan, memeluk lembut kekinian dengan ketenangan, keteduhan dan keindahan kasih sayang yang akhirnya melahirkan kesembuhan, kedamaian dan keheningan. Bagi yang sudah sampai sini, dengan senang hati memancarkan cinta ke segala penjuru, berbahagia melihat yang atas berbahagia, berdoa untuk kebahagiaan mereka yang masih di bawah. Subhanallah wabihamdih, subhanallahil adhim!
alhamdulillahi jaza kumullahu khoiro atas nasihatnya, semoga lancar dan barokah pak