MAKKATU AL-MUKAROMMAH – DAY 1: BAITULLOH (KA’BAH) – Part 3
Selain di tiga lokasi yang disebutkan diatas, tidak ada dalil syar’i yang menyebutkan keistimewaan tertentu yang dipunyai oleh bagian-bagian Ka’bah lainnya. Namun demikian, entah karena alasan apa, banyak jama’ah calon haji (JCH) melakukan tindakan-tindakan yang semestinya tidak dilakukan karena berpotensi mengarah kepada perbuatan Syirik kepada Alloh. Contoh-contoh yang sering kita lihat, yang seharusnya TIDAK dilakukan JCH antara lain:
(1) Bergelantungan di pintu Ka’bah untuk berdoa.
Meskipun kita selalu melihat banyak JCH dari berbagai negara berebut tempat untuk berdoa di pintu Ka’bah, secara syar’i sebetulnya tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa pintu Ka’bah merupakan tempat yang makbul untuk berdoa. Kami sendiri heran dan bertanya-tanya, mengapa banyak JCH berebut bergelantungan di bawah pintu Ka’bah untuk berdoa? Seharusnya mereka berebut berdoa di Multazam yang merupakan tempat makbul.
(2) Berebut untuk mencium Rukun Yaman
Di bagian lain yang biasanya JCH berebut untuk menciumnya adalah bagian Rukun Yaman (bukan yang ada Hajar Aswad-nya). Meskipun banyak JCH yang melakukannya, sebetulnya mencium Rukun Yaman tidak didasarkan pada dalil syar’i dan tidak ada kefadholannya. Seharusnya JCH tidak perlu berebut dan memaksakan diri melakukannya. Bahkan dalam thowaf, jika JCH tidak bisa mengusap, maka tidak perlu isyaroh tetapi langsung saja mengganti doanya menjadi doa antara Rukun Yaman dan Hajar Aswad.
(3) Menangis dan meratap di tembok Ka’bah
Jika sedang thowaf, jangan heran kalau menjumpai banyak JCH yang menangis dan meratap di tembok Ka’bah, terutama di tembok antara Hijir Ismail dengan Rukun Yaman, antara Hajar aswad dan Hijir Ismail, atau di bagian dalam Hijir Ismail. Meskipun kita melihat banyak JCH dari berbagai negara melakukannya, tidak perlu diikuti karena tidak ada dasar dalil syar’i-nya dan tidak ada riwayat yang menyebutkan kefadholan melakukan hal tersebut.
(4) Mengusap-usap tembok Ka’bah atau Kiswah (selambu penutup Ka’bah) dengan tangan atau kain dan mengusapkannya ke muka atau seluruh badan. Kadang JCH ada yang menuangkan minyak wangi terlebih dahulu ke temboknya, baru diusap-usap.
Hal inipun juga tidak ada dasar dalil syar’inya. Apalagi kalau kemudian berkeyakinan bahwa benda yang diusapkan ke dinding Ka’bah akan mendatangkan berkah, maka hal ini sudah menjurus pada kelakuan syirik.
(5) Sholat sunnah pas mepet dengan Ka’bah.
Ketika thowaf maka seringkali dijumpai JCH yang bergerombol melakukan sholat sunnah pas mepet dinding Ka’bah, terutama di lokasi antara Hajar Aswad dan Hijir Ismail, sehingga membahayakan diri sendiri dan JCH lainnya yang sedang thowaf. Hal ini semestinya tidak dilakukan karena tidak ada dasar dalil syar’inya, tentang kefadholan melakukan sholat sunnah mepet dinding Ka’bah. Sholat sunnah mepet Ka’bah pahalanya ya sama saja dengan sholat sunnah di bagian manapun di dalam Masjidil Harom (yaitu 100.000x sholat di lndonesia sehingga tidak perlu membahayakan diri sendiri dan orang lain untuk melakukannya.
(6) Memotong atau merobek sebagian kecil dari Kiswah (selambu penutup Ka’bah)
Ketika Kiswah masih dibiarkan bergelantung hingga fondasi Ka’bah, ada JCH yang sengaja mengambil guntingan Kiswah dan menyimpannya. Tindakan tersebut juga tidak mepunyai kefadholan khusus karena tidak ada dalil syar’i yang mendasarinya. Tindakan ini justru mengarah kepada perbuatan syirik jika beranggapan bahwa potongan kiswah yang diambil mampu mendatangkan berkah.
Jika Alloh memberikan kesempatan kepada para pembaca postingan ini untuk datang ke Mekkah dan menyaksikan sendiri keagungan Baitulloh (Ka’bah), maka janganlah ikut-ikutan melalukan hal-hal yang telah disebutkan diatas. Selain tidak ada dasar hukum syar’i yang menyebutkan kefadholan perbuatan-perbuatan yang disebutkan diatas, salah-salah malah bisa menjurus pada kelakuan syirik yang dilarang Alloh.
Moga-moga Alloh SWT paring manfaat dan barokah dan semoga informasi ini ada manfaatnya.(Makkatu al-Mukarommah, 21 Oktober 2010)
MAKKATU AL-MUKAROMMAH – DAY 2: SCIENTIFIC FACT SEKITAR MASJIDIL HAROM – Part 1
MENGAPA DI MASJIDIL HAROM TIDAK PERNAH DIPASANG KARPET?
Bagi jama’ah calon haji (JCH) yang datang ke Mekkah tahun 2010 dan sudah mendatangi Masjid Nabawi dan Masjidil Harom, mungkin bisa membandingkan bagaimana kondisi kedua masjid ini. Salah satu hal yang berbeda antara kedua masjid tersebut adalah: (a) di Masjid Nabawi – di lantainya selalu digelar karpet tebal berwarna merah. (b) Sebaliknya, di Masjidil Harom – tidak satu lembar karpetpun yang dijumpai digelar diatas lantai marmernya? Apakah perbedaan tersebut akibat manajemen bagian cleaning servicenya yang berbeda atau karena jumlah JCH yang datang ke Masjidil Harom jauh lebih banyak dibandingkan ke Masjid Nabawi, sehingga tidak efisien jika dipasang karpet (biaya operasional carpet cleaningnya akan terlalu besar!). Apakah salah satu dari dua penjelasan tersebut yang menyebabkan di Masjidil Harom tidak dipasang karpet? atau ada penjelasan lain?
Well… dua penjelasan tersebut bukanlah jawaban dari pertanyaan mengapa di Masjid Nabawi dipasang karpet sedangkan di Masjidil Harom tidak. Penjelasan ilmiah dari pertanyaan tersebut berkaitan dengan arah kiblat yang berbeda kondisinya bagi kedua masjid tersebut.
(1) Kalau di masjid Nabawi – arah kiblat hanya satu yang menuju Ka’bah. Dengan demikian, karpet standar dapat dipasang dan shofnya dibuat dengan arah dan jarak tertentu. Misalnya, pada karpetnya dibuat pola garis dengan jarak 1.5 m sebagai indikator shof sholat. Maka bongkar pasang karpet dan pengaturan tanda shof sholat akan dapat dilakukan tanpa kesulitan.
Lain halnya dengan di Masjidil Harom, yang walaupun arah kiblatnya sama-sama ke arah Baitulloh (Ka’bah) tetapi dalam prakteknya arah kiblat tersebut membentuk garis melingkar memutari Ka’bah. Dengan demikian, jika akan dipasang karpet maka akan tidak praktis untuk membuat tanda shof sholatnya. Membuat disain karpet dengan pola garis sebagai tanda shof sholat yang mengarah ke kiblat di Masjidil Harom akan menjadi tidak praktis. Proses bongkar pasang karpetnya juga akan membawa kesulitan karena karpetnya harus dipasang ditempat tertentu agar garis shof sholatnya pas. Oleh karena itu, yang paling aman ya tidak usah dipasangi karpet. Tanda shof sholat yang sesuai dengan arah kiblat telah dibuat permanen dalam bentuk pemasangan marmer berwarna lebih gelap atau pembuatan garis shof permanent di lantai marmenya. Dengan demikian, shof atau barisan sholat dari jama’ah sholat yang ada di Masjidil Harom akan teratur sesuai dengan posisinya relatif terhadap Ka’bah.
Demikian penjelasan ilmiah tentang pertanyaan mengapa di Masjid Nabawi dipasang karpet sedangkan di Masjidil Harom tidak. Jawabannya berkaitan dengan arah kiblat yang berbeda situasi dan kondisinya dari dua masjid tersebut.
Moga-moga Alloh SWT paring manfaat dan barokah dan semoga informasi ini ada manfaatnya.(Makkatu al-Mukarommah, 22 Oktober 2010)
MAKKATU AL-MUKAROMMAH – DAY 3: SCIENTIFIC FACT SEKITAR MASJIDIL HAROM – PART 2
MENGAPA MERPATI HAROM SEMUA BIRU?
Bagi jama’ah calon haji (JCH) yang datang ke Mekkah tahun 2010, mau tidak mau pasti akan melihat banyak burung merpati (burung dara) yang berkeliaran di sekitar Masjidil Harom (dikenal sebagai merpati harom). Jika ada JCH yang sempat memperhatikan dengan sedikit lebih teliti, barangkali JCH akan melihat bahwa warna burung merpati yang berkeliaran tersebut hampir sama, yaitu biru-keabuabuan. Tidak pernah dijumpai merpati dengan warna coklat atau putih atau warna lain diantara warna biru keabuabuan tersebut. Apakah hal ini juga merupakan salah satu mukjizat Masjidil Harom yang masih bertahan hingga zaman moderen ini?
Jawaban dari kenapa semua merpati harom berwarna biru keabuabuan tidak memerlukan mukjizat untuk penjelasannya. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari proses seleksi yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja oleh penduduk Mekkah.
Sebelum menjelaskan lebih jauh hal tersebut secara ilmiah, perlu disampaikan terlebih dahulu mengapa ada merpati di Mekkah. Barangkali JCH pernah mendengar ceritera tentang burung Abaabil? Rupanya penduduk Mekkah mencoba mencari representasi burung tersebut di Mekkah. Tetapi karena di Mekkah sendiri tidak ada lagi burung lokal yang survive di jaman moderen ini, maka burung Abaabil direpresentasikan sebagai burung merpati/dara. Burung merpati warna biru keabuabuanlah yang mendekati gambaran burung Abaabil menurut penduduk Mekkah, sehingga hukum di Kota Mekkah secara resmi melarang orang untuk mengganggu atau sampai membunuh merpati yang berwarna biru keabuabuan (haram hukumnya membunuh merpati yang berwarna biru keabuabuan). Kalau yang warnanya lain (putih atau coklat atau yang lain) boleh dibunuh dan dimakan. Akibat dari ketentuan ini, terjadilah secara sengaja atau tidak sengaja proses seleksi yang mempertahankan merpati warna biru.
Kembali kepada pertanyaan mengapa merpati mekkah semuanya berwarna biru? Jawabannya adalah proses seleksi genetik yang mengeliminir sumber gen penentu warna lain dan mempertahankan gen penentu warna biru. Setelah sekian waktu berjalan, akhirnya terjadi proses genetik yang disebut fiksasi – untuk gen penentu warna bulu merpati harom. Ketika telah terfiksasi maka seluruh turunan merpati tersebut otomatis akan mempunyai bulu yang sama, yaitu warna biru keabuabuan, seperti yang kita lihat saat ini. Demikianlah kira-kira penjelasan ilmiah mengapa merpati mekkah warnanya biru keabu-abuan semua.
Moga-moga Alloh SWT paring manfaat dan barokah dan semoga informasi ini ada manfaatnya.(Makkatu al-Mukarommah, 23 Oktober 2010)
MAKKATU AL-MUKAROMMAH – DAY 4: SCIENTIFIC FACT SEKITAR MASJIDIL HAROM – PART 3
MENGAPA LANTAI THOWAF DINGIN?
Barangkali ada jama’ah calon haji (JCH) yang bertanya-tanya, mengapa marmer di lantai sekitar Ka’bah tempat JCH melakukan thowaf tidak pernah terasa panas, meskipun disiang hari bolong atau ketika panas terik matahari? Apakah ini termasuk mukjizat Baitulloh (Ka’bah) yang masih bertahan hingga zaman moderen?
Untuk membuat marmer disekitar Ka’bah tetap terasa dingin meskipun ditengah terik matahari, sehingga JCH yang mau melakukan thowaf disiang hari bolong tidak perlu marasakan telapak kakinya terpanggang diatas batu panas, tidak memerlukan mukjizat. Cukup dengan membuat rangkaian pipa pendingin, semacam yang kita temukan di belakang refrigerator atau air conditioning di rumah-rumah JCH, di bawah marmer yang dipasang disekitar Ka’bah.
Yang membuat marmer tersebut dingin adalah konstruksi pendingin yang dipasang di bawah marmer, yang menyerap panas yang diterima oleh marmer akibat sinar matahari dan membuangnya di tempat lain. Melalui mekanisme seperti itulah marmer di sekitar Ka’bah dapat dibuat selalu tetap dingin meskipun di atas lantai matahari bersinar sangat terik.
Bayangkan berapa besar energi yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sistem pendinginan lantai di sekitar Ka’bah? Bayangkan juga bagaimana kalau sampai sistem pendinginan tersebut gagal berfungsi? Yang jelas pasti akan menyulitkan bagi JCH untuk melakukan thowaf, meskipun thowafnya dilakukan pada malam hari.
Loh… kenapa masih sulit thowaf di malam hari dalam kondisi tanpa pendingin lantai, padahal kan matahari sudah terbenam? Karena marmer tergolong sebagai batu yang akan lambat menjadi panas dan setelah panas akan lambat pula menjadi dingin. Oleh karenanya, jika sistem pendinginnya gagal maka selama seharian marmernya terus-menerus menyerap panas matahari sehingga mencapai suhu yang tidak dapat ditoleransi kulit tubuh manusia. Ketika malam tiba, memang matahari sudah terbenam tetapi karena lambat melepaskan panas maka temperatur marmernya tetap tidak dapat ditolerir oleh tubuh manusia sehingga barangkali thowaf baru bisa dilakukan jauh menjelang dini hari. Dalam hal ini, rentang waktu bagi JCH untuk melakukan thowaf menjadi sangat sempit.
Sekarang bayangkan bagaimana mereka thowaf di zaman Rosulalloh SAW dan para shohabat, yang waktu itu belum ada sistem pendingin di sekitar Ka’bah? Apa kaki para shohabat yang thowaf tidak kepanasan? Well… kalau ini kami hanya bisa menebak saja. Kami bayangkan, pada zaman Rosulalloh SAW, lantai di sekitar Ka’bah masih berupa pasir. Butiran-butiran pasir bukan suatu konduktor/penghantar panas yang baik. Dengan demikian, panas matahari tidak akan dengan cepat meningkatkan temperatur pasir di sekitar Ka’bah. Berdasarkan hal tersebut, kalau thowaf dilakukan pada pagi hari hingga sekitar pukul 10.00, perkiraan kami temperatur pasirnya masih dapat ditolerir kulit kaki para shohabat. Disamping itu, diantara butiran pasir juga terdapat udara yang memfasilitasi pasir di lapisan yang lebih bawah panasnya lebih rendah dari yang lapisan atas. Butiran pasir yang kecil-kecil juga memfasilitasi cepatnya pelepasan panas oleh pasir, dalam hal ini berarti thowaf juga dapat dilakukan di waktu sore atau menjelang malam hari. Itu tebakan kami loh…, kebenarannya… Wallohu a’lam.
Moga-moga Alloh SWT paring manfaat dan barokah dan semoga informasi ini ada manfaatnya.(Makkatu al-Mukarommah, 24 Oktober 2010)
MAKKATU AL-MUKAROMMAH – DAY 5: SCIENTIFIC FACT SEKITAR MASJIDIL HAROM – PART 4
MENGAPA SELAMBU KA’BAH BERWARNA HITAM?
Semua jama’ah calon haji (JCH) yang datang ke Mekkah atau jama’ah haji yang sudah pernah datang ke Mekkah sebelumnya pasti tahu bahwa warna selambu Ka’bah (Qishwah) adalah hitam. Nanun demikian, barangkali hanya sedikit diantara JCH atau jama’ah haji yang sudah melihat Ka’bah – yang iseng-iseng bertanya pada dirinya atau pada orang lain pertanyaan berikut: “Mengapa warna selambu Ka’bah (Qishwah) dibuat hitam? Kenapa tidak putih? atau merah? atau warna lainnya?
Jawaban dari pertanyaan tersebut berkaitan dengan alasan kepraktisan.
Pertama, warna hitam bersifat menyerap cahaya sehingga tidak membuat silau pada orang yang memandangnya meskipun disiang hari bolong. Dalam kondisi demikian, warna putih akan menyakitkan mata orang yang melihatnya (blinding effects). Disamping itu, karena menyerap cahaya berarti juga menyerap panas dan tidak memancarkan panas ke sekitarnya. Karena yang diselimuti adalah bangunan Ka’bah dari batu yang tidak dihuni orang, maka tidak masalah kalau selambunya warna hitam yang menyerap panas.
Kedua, warna hitam tidak terlalu berubah warnanya ketika kotor dibandingkan dengan warna lain. Bayangkan jika warna selambunya adalah putih, barangkali setiap tiga hari sekali harus dilepas dan dicuci kaleee. Kalau tidak, pastilah warna selambunya akan berubah menjadi belang bonteng akibat kotoran yang menempel.
Demikian penjelasan ilmiah dari pertanyaan kenapa untuk selambu Ka’bah (Qishwah) dipilih warna hitam dan bukan warna lain. Jawabannya berkaitan dengan alasan kepraktisan.
Moga-moga Alloh SWT paring manfaat dan barokah dan semoga informasi ini ada manfaatnya.(Makkatu al-Mukarommah, 25 Oktober 2010)
MAKKATU AL-MUKAROMMAH – DAY 6: HOTEL DAN TRANSPORTASI HAJI 2010
Jama’ah calon haji (JCH) dari Indonesia ditempatkan di pondokan/hotel dengan jarak antara 2 km sampai dengan sekitar 7 km di sekitar Masjidil Harom. Kami tidak tahu bagaimana kondisi pondokan/hotel dan transportasi dari seluruh JCH asal Indonesia. Yang dapat kami sampaikan adalah kondisi pondokan/hotel dan transportasi yang dialami oleh JCH dari kloter 02/JKS dan lokasi yang ada di sekitar kami.
Diantara tiga lokasi yang posisinya searah dengan Aziziyah, yaitu: Aziziah Janubiyah, Aziziyah Syimaliyah dan Syisyah – maka kondisi pondokan/hotelnya relatif baik. Di pondokan/hotel yang ditempati oleh JCH kloter 02/JKS, yaitu Hotel Marwah yang lokasinya di Aziziyah – Janubiyah No. 418, menurut penilaian kami kamarnya paling tidak tergolong hotel Bintang 4 tetapi setiap kamar diisi oleh antara 3 – 7 JCH. Jarak antara hotel ke Masjidil Harom sekitar 3 – 4 km.
Di hotel Marwah, masing-masing kamar tersedia pantry dengan teko elektrik untuk memasak air. Jika JCH membawa peralatan masak elektrik (kompor listrik, rice cooker, dll.) maka bisa memasak makanan di pantry.
Posisi hotel tempat kloter 02/JKS berada relatif strategis karena dilewati oleh transportasi bus dari terminal Mahbaz Jin ke arah Aziziyah Janubiyah, dengan frekuensi datang dan pergi yang cukup tinggi. Tetapi untuk pergi ke Masjidil Harom, dari terminal Mahbaz Jin harus berganti dengan bis jurusan Masjidil Harom.
Meskipun jumlah bus cukup banyak, pada jam-jam tertentu jumlah jama’ah pengguna jauh melebihi daya angkut bus yang tersedia sehingga harus menunggu giliran terangkut dalam waktu cukup lama. Dalam hal ini, jalan kaki langsung dari hotel ke Masjidil Harom dapat menjadi alternatif yang dipilih dibandingkan lama menunggu bus datang.
Kondisi transportasi ke wilayah di Aziziyah Syimaliyah tidak sebagus ke Janubiyah. Selain lokasi ke Syimaliyah lebih jauh, frekuensi kedatangan bus ke lokasi pondokan juga relatif lebih jarang sehingga ratio jumlah jama’ah yang akan diangkut dengan bus yang datang lebih besar. Akibatnya, banyak jama’ah yang harus menunggu lama sebelum terangkut ke Masjidil harom. Kondisi di Syisyah kurang lebih sama dengan Syimaliyah.
Informasi JCH yang berasal dari Kabupaten Bogor, pondokannya berada dalam radius 2 km dari Masjidil Harom (Ring 2). Untuk pondokan JCH tersebut tidak tersedia transportasi dari pondokan ke Masjidil Harom atau sebaliknya, sehingga JCH tersebut perlu mengatur transportasi sendiri dengan biaya SR. 2 per perjalanan atau berjalan kaki menuju ke Masjidil Harom. Untuk urusan makan, JCH dari rombongan Kabupaten Bogor (sebagian atau semuanya, kurang jelas infonya!) mengorder catering dari Hud dengan biaya SR. 20 per hari (makan 3x).
Jama’ah calon haji dari kloter 2/JKS, di kloter JCH warga LDII dari Kota Bogor berada, merasa beryukur alhamdulillah karena diberi pemondokan yang barokah, tidak terlalu jauh dari Masjidil Harom dan transportasinya relatif mudah. Kedua hal tertsebut sangat membantu pelaksanaan program ibadah JCH warga LDII yang tergabung dalam kloter 02/JKS.
Moga-moga Alloh SWT paring manfaat dan barokah dan semoga informasi ini ada manfaatnya.(Makkatu al-Mukarommah, 26 Oktober 2010).
Oleh: Pak Dar
Bersambung…