Emansipasi wanita yang dinikmati saat ini tak lepas dari jasa R.A. Kartini. Namun tak banyak yang tahu, gerakan emansipasi wanita oleh Kartini terinspirasi ajaran Islam. Sosok Kyai Sholeh bin Umar adalah tokoh yang mengajarkan Alquran pada Kartini, dan dari quran itulah dia menemukan Islam menetapkan hak kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Awalnya Kartini sempat apatis dengan ajaran Islam. Mengingat Islam pada saat itu hanya mengajarkan bagaimana cara membaca Al Quran, yang ia sendiri tidak mengerti artinya. Yang Kartini tahu, Islam hanyalah agama nenek moyangnya yang harus ia ikuti. Surat-surat Kartini kepada Stella Zihandelaar, sahabat penanya sering kali dimanfaatkan berbagai kalangan untuk menjatuhkan citra Islam, seolah Kartini menentang ajaran Islam.
Beberapa isi suratnya kepada Stella saat itu memang bercerita tentang ketidaktertarikan Kartini terhadap Islam dan sulitnya dirinya memahami Al Quran. Pernyataan Kartini dalam suratnya tersebut sering diartikan salah bahwa dirinya tidak setuju dengan ajaran Islam yang dinilai mendiskriminasikan perempuan.
Namun, pertemuan dirinya dalam pengajian Kyai Sholeh di Darat, Semarang, mengubah pandangannya tentang Islam. Kartini yang semula tidak mengerti arti Surat Al Fatihah yang sering ia baca, tercekat, setelah mengetahui artinya. Ia mendesak pamanya untuk meminta Sang Kyai menjadi gurunya.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pasca dirinya dihadiahi 134 juz ayat Al Quran yang diterjemahkan Sang Guru ketika pernikahannya. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan,”.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902 dirinya berusaha mengubah citra Islam yang dipandang miring oleh penganut kejawen. Kartini menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Selain itu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”
Namun tampaknya cita-cita Kartini dalam surat tersebut belum terwujud saat ini. Ajaran Islam yang melindungi kaum wanita sering kali disalahartikan dengan berbagai fitnah dan tanggapan miring karena kesalahan persepsi. (Bahrun/Republika/Lines)