Usai menjadi narasumber di Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Peran Strategis Bahasa Indonesia dan Faktor Genetika dalam Menjaga Keutuhan NKRI” yang di helat DPP LDII, Guru Besar Linguistik Universitas Mataram, Prof. Dr. Mahsun mengunjungi Ponpes Minhajurrosyidin, Pondok Gede (27/3).
Kedatangannya untuk mengetahui metode sorogan, yang lebih dikenal dengan manqul atau talaqqi yang biasa dilakukan warga LDII dalam mengkaji quran dan hadits. Ponpes Minhajurrosyidin merupakan ponpes milik yayasan warga LDII, sudah berstatus Pendidikan Diniyah Formal (PDF).
Dalam kunjungannya, Prof. Dr. Mahsun ditemani oleh Anto Jumain anggota DPP LDII Departemen Hubungan antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri. Anto Jumain menjelaskan beberapa hal seputar Ponpes Minhajurrosyidin.
Ponpes yang berdiri sejak tahun 1995 ini memiliki santriwan-santriwati berasal dari seluruh Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Filipina, Kamboja, Vietnam), dan Suriname. Guru pondok pesantren saat ini sebanyak hampir 30 orang. Kurikulum yang diberikan adalah Tafsir Al-Quran dan Al-Hadits dengan metode sorogan (talaqqi).
Anto Jumain juga mengajak Prof. Dr. Mahsun mengelilingi Ponpes Minhajurrosyidin. Mulai dari gedung belajar, dapur, asrama siswa, dan lapangan olahraga. Terlebih lagi, Guru besar Universitas Mataram ini melihat langsung proses belajar mengajar para santri.
“Jadi sebenarnya sama saja dengan pola yang umum, ketika saya lihat metode sorogan persis dengan pandangan teori bahasa,” ujar Prof. Dr. Mahsun.
Mempelajari alquran hadis sama halnya mempelajari bahasa karena berbahasa Arab. Soal bahasa, menurutnya bahasa itu pembentuknya ada bunyi dan pemahaman atau arti. Kedua unsur ini merupakan kesatuan yang membentuk bahasa. Ada bentuk atau bunyi-bunyian saja tanpa arti, itu bukan bahasa.
“Begitu pula ada gagasan, ada pikiran tapi tidak ada bentuk atau bunyi, mana kita tidak tahu apa yang ada di pikiran orang. Oleh karena itu kedua unsur bahasa itu harus ada,” ujarnya menambahkan.
Anto Jumain juga menambahkan sedikit metode sorogan yang dilakukan warga LDII. Menurutnya metode sorogan sangat memudahkan warga LDII dalam mempelajari AlQuran dan Hadis.
“Lewat metode sorogan kita membina dan memahamkan mereka. karena tidak semua orang menjadi ustad atau mubaligh. Maka keberadaan guru mutlak dalam metode sorogan,” ujar Anto Jumain.
Guru dalam metode sorogan menjelaskan makna AlQuran dan Hadis kata per kata hingga pemahamannya dengan mendalam. Tentu, pembelajaran AlQuran dan Hadis di dalam ponpes lebih intensif dibanding kegiatan pengajian warga LDII di luar lingkungan ponpes.
Hal ini yang membuat Prof. Dr. Mahsun takjub. Menurutnya, orang dalam mempelajari bahasa harus memahami gagasan dahulu baru diikuti pemahaman bentuk simbol-simbol yang digunakan untuk menyampaikan gagasan tersebut.
Mereka para santri belajar menangkap gagasan. Ini yang dipahami dulu baru mereka belajar ayat-ayatnya. Belajar metode sorogan terkadang dalam AlQuran ada pengulangan kata-kata sehingga orang bisa mempelajari Bahasa Arab lewat alquran.
“Menurut saya metode sorogan model yang bagus karena pada saat itu orang belajar memperkaya kosakata, di dalam bahasa ada unsur terkecil, kata yang punya makna. Kata dirangkai menjadi kalimat, kalimat dirangkai menjadi paragraf sehingga mendapat maknanya secara utuh,” ujarnya.
Agar metode sorogan dapat berhasil, warga LDII juga mencetak AlQuran dan Hadis khusus yang bisa dimaknai setiap kata. Ketika guru menjelaskan makna ayat AlQuran atau Hadis kata per kata dengan Bahasa Indonesia, santri bisa mencatat maknanya. Mereka mencatat baik dengan bahasa latin untuk yang baru masa orientasi pondok, maupun Bahasa Arab Melayu alias pegon bagi santri lanjutan.
Dalam bayangan Prof. Dr. Mahsun, penting bahwa gagasan ayat-ayat itu bisa tersampaikan. Kata-kata itu terkadang berulang. Karena santri sudah hapal bahwa kata ini maknanya ini, dengan sendirinya dia sudah memperoleh kemampuan kosokata. Ia sangat berharap metode sorogan LDII bisa dirumuskan menjadi buku.
“Karena belajar Bahasa maka harus belajar bagaimana orang memperoleh Bahasa. Gagasannya dulu baru kebentuk-bentuknya. Jika bisa dirumuskan mejadi buku, metode yang dilakukan LDII sangat luar biasa,” ujarnya.