Oleh Thonang Effendi*)
Setiap tahun, Ramadan hadir membawa kesempatan untuk melakukan refleksi mendalam. Bulan suci ini bukan sekadar ajang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga momentum mengendalikan hawa nafsu, memperbanyak kebaikan, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits Tirmidzi, di awal Ramadan malaikat berseru, “Wahai orang-orang yang ingin berbuat baik, kerjakanlah! Wahai orang-orang yang ingin berbuat jelek, cegahlah!” Seruan ini mengingatkan bahwa di bulan penuh berkah ini, setiap amalan, baik atau buruk, akan dilipatgandakan balasannya.
Dalam suasana Ramadan, Nabi Muhammad SAW menyontohkan kedermawanan yang luar biasa, bahkan melebihi angin yang berembus. Maka, inilah saat yang tepat untuk mengoptimalkan potensi kebaikan dalam segala aspek, baik pemikiran, tenaga, harta, maupun tindakan. Sebaliknya, Ramadan juga menjadi ruang perenungan untuk berserah diri kepada Allah, memohon ampunan atas segala kekhilafan di masa lalu. Di sinilah pentingnya mawas diri.
Mawas Diri: Mulat Sarira Hangroso Wani
Dalam kearifan Jawa, terdapat ungkapan mulat sarira hangroso wani. Sebuah ajakan untuk berani melihat dan mengevaluasi diri sendiri, baik dalam kelebihan maupun kekurangan. Ini sejatinya adalah refleksi mendalam yang selaras dengan konsep muhasabah dalam Islam. Berani mengakui kesalahan bukanlah kelemahan, melainkan langkah awal menuju kesadaran diri (self-awareness) yang lebih baik.
Manusia diciptakan sebagai makhluk terbaik yang diberi potensi untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah keburukan. Namun, tak jarang hawa nafsu menjerumuskan manusia ke dalam kesalahan dan maksiat.
Maka, Ramadan adalah saat yang tepat untuk kembali ke fitrah. Menjadi pribadi seutuhnya, yang mengejawantahkan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, maka tugas setiap insan adalah membangun kembali nilai-nilai akhlakul karimah dalam diri mereka.
Akhlakul Karimah sebagai Fondasi Kendali Diri
Dalam konsep Tri Sukses yang merupakan komponen dari 29 karakter luhur yang dikembangkan oleh LDII, akhlakul karimah menempati posisi utama. Mengapa? Karena akhlak yang mulia adalah kendali utama dalam kehidupan seseorang.
Secara istilah, akhlak berarti sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang, sedangkan karimah berarti mulia, terpuji, atau baik. Dengan demikian, akhlakul karimah adalah sifat mulia yang tertanam dalam jiwa dan tercermin dalam tindakan sehari-hari.
Penerapan akhlakul karimah mencakup berbagai aspek:
- Akhlak terhadap diri sendiri: Menjaga kebersihan dan kesehatan, bertutur kata sopan, berpakaian rapi, hingga hal-hal kecil seperti menata sandal dengan rapi saat ke masjid atau majelis taklim.
- Akhlak terhadap sesama manusia: Mengedepankan senyum, salam, sapa, sopan santun, berbicara dengan penuh hormat, menghargai harta dan hak orang lain, serta berbuat baik kepada tamu dan tetangga. Termasuk di dalamnya adalah berbagi makanan, takjil berbuka puasa, dan memberikan pertolongan tanpa pamrih.
- Akhlak terhadap hewan: Memberi makan dengan penuh kasih sayang, tidak menyiksa, serta memastikan hewan peliharaan memiliki keseimbangan hidup, misalnya bagi yang memelihara burung atau ayam, disediakan jantan dan betinanya.
- Akhlak terhadap lingkungan: Menjaga kelestarian alam, membuang sampah pada tempatnya, melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan, serta menggunakan sumber daya alam secara bijak.
Ketika akhlakul karimah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan mencapai derajat keimanan yang lebih tinggi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
Ramadan, Waktu untuk Berlomba dalam Kebaikan
Pada akhirnya, Ramadan adalah bulan penuh berkah, bulan untuk mawas diri dan kembali kepada pribadi yang lebih baik. Ini adalah kesempatan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjauhi segala bentuk keburukan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran: “Fastabiqul khairat” (berlomba-lombalah dalam kebaikan) (QS. Al-Baqarah: 148).
Maka, mari jadikan Ramadan sebagai momentum untuk memperbaiki diri, memperkuat akhlak, dan menebar manfaat bagi sesama, hewan, lingkungan, dan alam semesta. Dengan begitu, kita tidak hanya menjalankan ibadah puasa secara ritual, tetapi juga menghidupkannya dalam nilai-nilai kehidupan yang lebih luas. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi tentang bagaimana kita menjadi manusia yang lebih baik, hari ini dan seterusnya.
*Thonang Effendi adalah Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Alhamdulillah, pencerahan tentang fadhilah Ramadhan yg lugas. Sehat selalu pak Tonang, mdh2an Allah menerima puasa, shalat, shodaqoh, i’tikaf dan zakat kita semua dan diberi rejeki mendapatkan Lailatul Qadar, amin.