Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Menjelang tutup tahun, ada nuansa rindu yang menderu. Ingin rasanya segera berlalu dan menyambut yang baru. Masalah-masalah, beban-beban dan segala hal yang berbau tidak menyenangkan tanggal satu per satu. Jatuh dan jauh bersama tahun yang berlalu. Berganti angan-angan, harapan-harapan dan doa-doa yang indah. Berkedok untuk jalan indah beribadah, agar semua-semua sesuai maunya dan kata hatinya. Sayang, semilir anginnya menggiring ke buritan kesibukan. Sepoi-sepoinya menina-bobokkan. Pasang-surut ombaknya mendorong jauh ke tepian. Hanya ada sebuah tarikan nafas panjang datang menyelamatkan; ayo kembali menjadi insan sejati. Cuaca boleh berubah, hari boleh berganti, tahun boleh bertambah, namun jangan pernah memanjangkan angan-angan lalu menyerah. Selalu ada kesempatan dalam kesempitan, sebelum datang penyesalan. Di dalam hening sunyi sepi seperti ini, terngiang-ngianglah pesan indah Sang Guru Sejati; sempatkanlah dan sempat-sempatkanlah.
Hati pun tertaut pada sebuah warisan tua yang bertuah. Menekan dalam-dalam pemahaman. Menohok kalbu yang beku. Mencairkan wawasan. Menimang pemikiran yang gamang. Memunculkan secercah cahaya kejernihan, di tengah badai keputus-asaan. Muncullah tirta suci kepasrahan, yang menghanyutkan sampah-sampah ketidaktahuan akan arti kesibukan. Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ : يَا ابْنَ آدَمَ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِيْ، أَمْلأْ صَدْ رَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَكَ شُغْلاً، وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكْ
‘Sesungguhnya Allah Yang Maha Luhur berfirman, ‘Wahai anak Adam, sempat-sempatkanlah untuk beribadah kepada-Ku, akan Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku akan menutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku akan memenuhi tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutup kefakiranmu.'” (HR At-Tirmidzi)
Inilah kemudian, yang mungkin, bisa dijadikan PR bersama untuk muhasabah dan instrospeksi di penghujung tahun ini. Di tengah pandemi, di tengah bencana yang terjadi di sana-sini, di tengah peringatan cuaca ekstrim yang akan terjadi; sempatkanlah dan sempat-sempatkanlah, sepertinya cocok bagi siapa saja, kapan saja dan bagaimana saja keadaannya. Yang sehat selamat mau menolong bisa. Yang terkena musibah dan susah juga bisa, untuk selalu menyempatkan dan menyempat-nyempatkan sesuai konteknya; untuk selalu menebar dan menuai bulir-bulir kebaikan.
Sebelum jauh, mari kita pahami secara seksama. Jangan sampai terbuai, merasa sudah, namun ternyata belum apa-apa. Bahkan terkalahkan olehnya. Kali ini, izinkan saya memberikan semacam batasan. Tentu saja siapa pun bebas memberikan batasan sesuai kondisi dan situasinya masing-masing. Kadang, bahkan masuk ranah pribadi, yang tidak bisa diintervensi. Juga tidak bisa disamakan satu dengan yang lain. Karena kesibukan sangatlah beragam, tergantung isi dari kepala. Konon pengangguran pun menyatakan dirinya sibuk. Itupun sah-sah saja. Karena sibuk mencari pekerjaan, padahal banyak waktu luang.
Nah, tolok ukur yang bisa dipakai dalam hal ini adalah mengenali tingkat kesibukan dan tingkat keberhasilannya. Maksudnya sesibuk apakah seseorang beraktifitas sehingga harus “menyempatkan”. Jika kemudian telah berhasil “menyempatkan”, seperti apa mengisi kesempatan yang datang itu. Output pertama akan menjadi dasar untuk output berikutnya. Banyak yang hanya sampai pada output pertama dan gagal di output kedua. Semoga dengan pemahaman sederhana ini bisa memaksimalkan untuk meraih keduanya. Sebab tanpa itu berarti belum termasuk menyempat-nyempatkan. Kabar gembiranya mungkin masuk dalam pepatah arab berikut ini.
الاجر بقدر التعب
“Imbalan pahala tergantung pada kadar kesulitan yang dihadapi.”
Tingkat kesibukan yang dimaksud di sini, untuk ‘sempatkanlah’ merujuk kepada tingkat kesibukan yang sedang-sedang saja. Sedangkan ‘sempat-sempatkanlah’ mengacu pada tingkat kesibukan yang padat dan berat. Atau dengan kata lain, ‘sempatkanlah’ bertitik tolak pada kesibukan yang bersumber dari diri sendiri, tidak tergantung dengan orang lain. Sedangkan ‘sempat-sempatkanlah’ berkorelasi dengan kesibukan yang lebih banyak tergantung dengan pihak lain, bukan dari diri sendiri. Dari sini, bisa kita nilai seperti apa yang sering kita alami dan memberikan label sibuk itu. Jujur saja, banyak yang melabeli menyibukkan diri sendiri. Bukan sibuk yang sebenarnya. Hanya pepeko. Ujung-ujungnya tidak termasuk dalam kategori dalam dalil di atas, namun masuk pada dalil berikut ini.
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan rewel (sok sibuk dan penuh keluh-kesah).” (QS Al-Balad: 4)
Berikutnya tentang tingkat keberhasilan. Tak lain adalah cara mengisi ketika sudah terlepas dari jerat yang bernama kesibukan. Intinya, ada yang terus mempersungguh mengisi kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Ketika lepas dari jebakan kesibukan, bisa mencari pulihan dengan waktu yang tersedia secara optimal. Di sisi lain ada yang cukup puas dengan meninggalkan kesibukan itu sendiri, tetapi tidak mengisinya dengan benar-benar benar, diperdaya yang lainnya. Harapan sesungguhnya adalah benar-benar bisa keluar dari jerat kesibukan baik yang bersumber dari diri sendiri ataupun pihak lain, kemudian mengisinya dengan maksimal. Inilah yang optimal. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Imam Nuruddin As-Sindi, dalam kitabnya “Hasyiyah Ala Sunan Ibni Majah”. Tafarrogh li’ibadati – luangkanlah waktu untuk beribadah kepada-Ku, maksudnya adalah luangkanlah dirimu dari segala sesuatu (yang menyibukkan) hanya untuk beribadah kepada-Ku dan maksimalkanlah waktumu untuk beribadah (hanya kepada Allah).
Mengilas balik kembali dalil tafarrogh di atas, semoga bisa menjawab kegelisahan yang melanda selama ini. Merasa sudah menyempatkan, mempersungguh dan menyempat-nyempatkan, namun belum juga menuai hasilnya. Bisa jadi, karena alasan sebagaimana penjelasan di atas. Bisa salah satunya atau keduanya. Sebab dalilnya sangat jelas dan gamblang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada setiap insan yang berhasil menyempatkan beribadah sepenuhnya kepadaNya, dengan dua hadiah indah berupa kecukupan dan kekayaan serta terpenuhi kebutuhannya (kaya hati) tertutupi kefaqirannya. Sebaliknya, Allah memberikan peringatan bagi yang tidak menyempatkan beribadah sepenuhnya kepadaNya dengan dua hadiah berupa bermacam-macam kesibukan, dan berbagai kefakiran yang terus merongrong, tiada henti, sebagai imbalan. Inilah konsekuensi.
Jujur masih banyak yang kurang mempersungguh dalam menyempatkan untuk beribadah ini. Bahkan dalam penerawangan pribadi saya, masih banyak waktu yang terbuang percuma, tidak digunakan secara paripurna untuk beribadah. Sering memberi permakluman, melalui apresiasi dan memantas diri dengan leha-leha dan yang serupa. Sudah sedikit, tidak maksimal, tetapi mengharapkan hasil optimal. Sedihnya lagi, kadang malah berlindung di balik tafarrogh ini dengan cara menyibuk-nyibukkan diri. Yang seharusnya bisa ditinggalkan untuk mendekat dan menghamba kepada Allah sehingga datang pertolongan, malah sebaliknya kesibukan dijadikan tameng dan alasan untuk menjauh, namun tetap berharap pertolonganNya datang. Bagaimana mungkin?
Bersyukur dan kewalahan syukur, Allah selalu mengirimkan peringatan dengan berbagai caranya. Kadang lewat teman, melalui bencana atau bisa dengan peristiwa lainnya. Tak lain agar jiwa-jiwa indah bisa terus bersinar dan mengambil hikmah di sebaliknya. Namun diperlukan kesabaran, kerendah-hatian serta kemauan dan kejelian membaca tanda yang tersirat dan tersurat. Sayangnya, kadang kita melewatkan keduanya. Yang ada hanya kesembronoan dengan tindakan mengabaikan dan menghinakan. Masih mau memandang sebelah mata itu mending, kadang sengaja tutup mata dan berpaling. Maka, sebagai penguat dan penyemangat kali ini, agar kita bisa mempersungguh dengan sebenar-benarnya; menyempatkan dan menyempat-nyempatkan dalam beribadah kepada Allah, tanpa pepeko, cermatilah pesan indah Rasulullah berikut ini. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (HR. Ibnu Majah, no. 4105)
Lengkap sudah. Jelas sudah. Mari sibak kesibukan, jelang pertolongan dengan menyempat-nyempatkan. Selamat introspeksi!
Alhamdulilah… Dengan pencerahan ini saya semakin cerah didalam menjalani kehidupan..dengan berbagai kesibukan..
Alhamdulillah setelah membaca tulisan ini. Saya mengerti artinya menyempatkan yang sesungguhnya,