Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Bagi generasi kolonial, sekolah adalah institusi yang istimewa. Sekolah adalah tempat yang indah. Sudah indah menggembirakan lagi. Sudah begitu, sangat dirindukan. Perhatikanlah acara-acara reuni yang berselebaran. Itu adalah tanda kerinduan. Ingin bernostalgia akan masa-masa bahagia tempo dulu. Bermain, bersendau – gurau sambil menerima pengajaran. Bergaul, bercengkerama, berjumpa kemesraan di setiap sudut mata memandang. Setiap pulang, selalu diiringi nyanyian. Bahkan tak sungkan-sungkan bersenandung riang sepanjang jalan dengan sayonaranya.
Sayonara… Sayonara…, Sampai berjumpa pula…
Sayonara… Sayonara…, Sampai berjumpa pula…
Buat apa susah, buat apa susah…, Susah itu tak ada gunanya
Buat apa susah, buat apa susah…, Susah itu tak ada gunanya
Mayoritas orang sepakat, bahwa dulu sekolah adalah kebahagian. Tapi setelah sekian lama, ada yang hilang dari sekolah-sekolah itu. Bangunannya tampak gersang tanpa kedamaian. Penghuninya tampak murung, tanpa kebahagiaan. Para pengajar tampak tertekan tanpa penghormatan. Kedamaian, kebahagiaan dan penghormatan itu telah berpindah entah kemana. Padahal bangunan-bangunan sekolah sudah tumbuh menjadi indah. Fasilitas-fasiltas sekolah sudah menjelma menjadi mewah. Dan para guru sudah tegak berdiri dengan kompetensi dan gelar yang wah. Terus kemana perginya semua keceriaan itu?
Saat ini, ketika murid-murid pulang kebanyakan terburu-buru. Bahkan ada yang seperti dikejar hantu. Boro-boro nyanyian, gurauan pun tak ada. Yang dibicarakan PR, PR dan PR. Tampak wajah lesu dan lelah membisu. Anak-anak takut ke sekolah karena dibully, dipukuli teman, berjumpa guru galak, berhadapan dengan les dan esktra kurikuler yang tidak ada habisnya. Terus setiap kenaikan yang dibicarakan hanya ranking dan ranking. Bahkan pada saat ujian ada yang dijaga polisi dan berbagai penangkapan yang menakutkan. Oleh karena itu, selain menghormati guru, kini adalah saat yang tepat untuk merekonstruksi sekolah agar kembali membahagiakan dan indah.
Dari beberapa penggal pengalaman dan kisah menyentuh kehidupan, contoh sederhana ini layak di kedepankan. Pada sebuah pelatihan pelayanan untuk para sopir taksi, di hari pertama, peserta diminta membawa nasi bungkus terbaik dari rumah masing-masing. Alasannya, perusahaan tidak menyediakan makan siang. Para peserta berlomba membawa makanan yang enak dan terbaik. Pas jam makan tiba, peserta pelatihan tersentak kaget. Nasi bungkus terbaik yang dibawa, tidak boleh dimakan sendiri. Aturannya, harus diberikan ke teman duduk sebelahnya. Sementara yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa orang lain. Pada hari kedua, para peserta juga diminta membawa nasi bungkus lagi. Setelah tahu, dan tidak mau mengulangi kejadian serupa di hari pertama, kalau nasi yang dibawa untuk teman sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya. Tidak sedikit yang hanya membungkus nasi putih saja. Toh nanti yang makan orang lain. Ternyata aturannya berubah. Di hari kedua, panitia memberi instruksi bahwa peserta harus memakan nasi yang dibawanya sendiri. Suasana pun kembali riuh-rendah, kaget, marah, kecelik dan jengkel. Walau pada akhirnya banyak yang tersadar dan tergugah dengan perlakuan sederhana ini.
Inilah sekelumit gambaran umum kehidupan yang mencerahkan. Menyangkut kepentingan pribadi, urusan perut sendiri, betapa borosnya manusia memberi. Bahkan terkait makanan, banyak yang terserang stroke. Karena rakusnya dan tidak ingat berbagi dengan yang lain. Sebaliknya, terkait perut orang, kepentingan orang lain, menyangkut orang banyak, betapa sedikit yang diberikan. Itulah egois. Hidup memang egoisentris. Kalau tidak dijaga dan diseimbangkan, ego selalu muncul sebagai pemenangnya. Dan tatkala ego bertahta di puncaknya, inilah yang lahir kemudian; bayi penderitaan dan kesengsaraan, merobohkan rumah kebahagiaan.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Berkaca dari sini, kasus sekolah juga serupa. Banyak hal di sana-sini yang ujung-ujungnya hanya ego semata. Mengajar misalnya, paling banter seperti barter, tanpa intuisi, nol keikhlasan. Mengejar target tanpa penghayatan; murid mengerti apa tidak. Berbasis kurikulum saja cukup, jangan berlebih. Selain itu, tugas lembaga privat yang disebut les. Sang murid juga demikian, hanya mengejar nilai dan skor ambang batas. Mengejar target tanpa pemahaman. Klop sudah. Tak ada wajah memberi yang serasi, baik yang di atas maupuan yang di bawah. Padahal para guru bijak selalu berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi.”
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Baqarah:195)
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةًۗ وَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan memperlipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS Al-Baqarah:245)
Untuk memulai gerakan sekolah yang indah, caranya bisa bermacam-macam. Boleh meniru pola pelatihan sopir di atas, bisa juga mengajak anak didik ke panti asuhan, belajar menghormat yang lebih tua ke panti jompo, mencuci kaki kedua orang tua saat kenaikan kelas, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan pentingnya memberi, memberi dan memberi. Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan. Dan kita yakin akan mendapatkan lagi sekolah-sekolah yang indah, guru-guru yang baik dan tabah, anak didik yang cerah-ceria dengan 29 karakter dan lingkungan yang sempurna. Dan akhirnya kita akan tahu dibalik syair lagu : cangkul, cangkul, cangkul yang dalam ….., tak lain adalah mencangkul ke dalam diri kita untuk menemukan mutiara kebaikan dan memancarkan cahaya keikhlasan kepada sekitarnya.
Kerjasama yg baik itu lintas masyarakat, gak boleh macet, walaupun di organisasi yg sama. Masyarakat orang2 tua murid, sekolah, dan masyarakat kerja harus duduk bersama, saling menghargai. Aamiin
Pentingnya pembekalan dan penerapan karakter luhur pada semua tingkatan usia guna mencapai kehidupan yang bermartabat.