Sore itu, kedua kubu telah menarik pasukan masing-masing, untuk diistirahatkan. Tapi tidak demikian dengan Khaulah. Dia bertanya pada hampir semua orang Islam, “Apa kau tahu di mana sudara laki-lakiku (Dhirar) berada?.”
Sayang, tak seorang pun tahu. Ia sendiri tidak tahu, apakah Dhirar masih hidup atau sudah tewas.
Tangisan yang sudah lama ditahan akhirnya meledak. “Hai putra Ibu! Di pegunungan manakah mereka menaruhmu? Kalau pun mereka telah membunuhmu! Saya ingin tahu dengan senjata apakah? Apa betul mereka telah membunuhmu dengan hasam (pedang yang sangat tajam)? Saudaraku! Kalau kau masih hidup! Saya sanggup menggantikan kematianmu! Jika saya tahu di mana kau ditawan! Pasti telah saya selamatkan dengan segala usaha! Betulkah kau takkan melihat pohon Arok lagi untuk selamanya? Tertawannya dirimu membuat hatiku panas bagai terbakar bara api yang takkan pernah padam! Apakah kau telah menyusul Ayah yang kini berada di hadirat nabi SAW di Surga? Jika betul begitu; sampaikan salamku pada Baginda SAW!”
Untaian kalimat yang diucapkah Khaulah dengan menangis itu membuat pasukan Islam terharu. Hati mereka bergetar. Sedikit demi sedikit, pasukan Islam ikut menangis, sampai akhirnya semuanya ikut menangis, termasuk Khalid. Rasa cinta mereka pada Dhirar, dendam kepada musuh, kasihan pada Khaulah, berkecamuk di dalam hati mereka.
Rasa lelah yang tadinya menyiksa seakan-akan sirna, terhapus rasa kasihan dan iba pada Khaulah yang menangisi Dhirar dengan pilu. Dhirar termasuk pimpinan yang mereka kagumi dan mereka cintai. Emosi dan dendam pasukan Islam benar-benar telah memuncak. Mereka ingin langsung melancarkan serangan terganas.
Namun tiba-tiba tampak dari kejauhan, sekelompok pasukan Romawi berkendaraan kuda, berarak-arak panjang sekali. Mereka muncul dari daerah Al-Uqban (العقبان). Khalid telah didekati oleh sejumlah tokoh, sebagai tanda serangan dahsyat akan dilancarkan. Muslimiin bergerak cepat mengendarai kuda ke arah mereka. Mereka mencampakkan tombak dan pedang, sebagai tanda menyerah. Bahkan akhirnya mereka turun dari kuda lalu berjalan kaki untuk menyatakan menyerah pada Khalid.
Khalid perintah, “Amankan mereka! Bawa kemari!.”
Mereka segera dibawa ke depan Khalid.
“Siapa kalian,” tanya Khalid pada mereka.
“Kami pasukan tuan Wardan Gubernur Homs. Kami yakin tuan Wardan takkan mampu melawan Tuan. Oleh karena itu, kami menyerah dan memohon agar diberi keamanan. Kami akan menyerahkan pajak pada kalian setiap tahun. Terserah berapa jumlah yang kalian inginkan. Penduduk Homs (Chimsh) telah menyepakati yang barusan kami ucapkan,” jawab mereka.
Khalid menjawab, “Jika saya telah sampai ke kota kalian, keputusan damai dengan kalian in syaa Allah baru bisa diputuskan. Itu jika kalian serius minta damai. Di sini kami belum bisa memutuskan damai. Kalian ikutlah pada kami.”
Mereka panik dengan jawaban Khalid.
Khalid bertanya, “Apa kalian tahu sahabat kami yang telah membunuh putra panglima perang kalian?”
“Apakah orangnya yang telanjang dada dan telah membunuh kawan-kawan kami melalui serangannya yang dahsyat? Kalau betul, berarti dia yang telah membuat panglima perang kami sangat bersedih karena kehilangan putranya,” jawab mereka.
“Betul, itu yang kami tanyakan,” jawab Khalid.
“Dia telah ditawan oleh tuan Wardan lalu dibawa ke Homs. Dia diarak oleh 100 orang berkuda. Selanjutnya akan dihadapkan Raja Hiraqla, untuk dimintai laporan mengenai yang telah dilakukan,” jawab mereka.
Pasukan Islam sedikit lega karena mendapat kabar bahwa Dhirar masih hidup. (mulungan.org)