Salah satu sinetron favorit anak laki – laki saya adalah Suami – Suami Takut Istri (SSTI). Mungkin juga ada (banyak) di sini yang suka menontonnya. Ngefan. Terutama dengan tokoh Karyo dan Tigor. Entah dimana letak lucunya, namun hampir semua gerak dan omongannya bikin dia tertawa terpingkal – pingkal. Sebagai hiburan – layaknya anak saya – boleh – boleh juga. Namun bagi yang dewasa, tontonan seperti itu adalah kontraproduktif. Alih –alih mendapatkan hiburan, yang terjadi justru racun bagi ramuan kehidupan keluarga idaman: keluarga bahagia dan sejahtera, mawaddah warohmah.
Tidak dipungkiri, dalam kehidupan nyata masih ada. Bahkan banyak. Nyatanya ada istilah keluarga DKI alias Di bawah Kekuasaan Istri. Walaupun begitu, bahtera ini tetap berjalan, eksis dan mampu bersaing dengan keluarga ideal lainnya. Dan tak menutup kemungkinan di kalangan kita juga ada. Apakah yang demikian ini perlu dirubah? Atau dibiarkan saja?
Beberapa waktu yang lalu, lama banget, ada nasehat yang ciamik. Lembut tapi teges. Sederhana tapi dalam – nandes. Seandainya dulu sebelum jadi suami itu menjadi pembantunya – batur, atau sopirnya, tetapi setelah menjadi suaminya, maka istri harus bisa ta’dhim – mengagungkan, hormat dan berbahasa yang baik kepada suaminya. Ini adalah patron keluarga yang ideal dalam koridor menyempurnakan agama dan mencari surga selamat dari neraka. Sebab disadari atau tidak bahkan dalilnya lebih pedas dari sambal balado padang.
Allah berfirman; Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita). (QS an-Nisaa;34)
Dari Ibnu Umar ra., ia menuturkan, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya (bertanggung jawab) dari yang dipimpinnya. Dan seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya dari rukyahnya. Dan seorang suami adalah pemimpin di keluarganya dan akan ditanya dari yang dipimpinnya. Dan seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya dari apa yang dipimpinnya. Dan pembantu adalah pemimpin pada harta benda majikannya dan akan ditanya dari apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya dari apa yang dipimpinnya.” (Rowahu Bukhory dan Muslim)
Dari Zaid bin Arqom ra., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang perempuan belum menunaikan hak Robbnya sampai ia menunaikan hak suaminya, hingga seandainya suaminya memintanya (untuk jimak) pada saat dia di sekeduk (punggung) unta, maka ia tidak boleh menolaknya.” (Rowahu ath-Thabrani).
Dari Abu Huroiroh ra., dari Nabi SAW beliau bersabda, “Kalau seandainya aku boleh memeirntah seseorang sujud kepada seseorang niscaya aku perintahkan perempuan untuk sujud kepada suaminya. (Rowahu at-Tirmidzi dan ia berkata; Hadits Hasan Shohih)
Dari Abdullah bin Amr ra., dari Rasulullah SAW beliau bersabda, “Allah Yang Maha Suci tidak akan melihat kepada seorang perempuan yang tidak bersyukur kepada suaminya, sedangkan ia tidak merasa kaya darinya (maksudnya: masih butuh pada suaminya).” (Rowahu an-Nasaa’i)
Nah, dengan demikian prototype keluarga DKI ini harus dirubah. Tidak boleh dibiarkan. Kalau bisa dibabat habis. Tuntas. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana sampai hal itu bisa terjadi. Keluarga seperti itu tidak terjadi sekonyong – konyong. Tetapi ada proses – kejadian yang melatarbelakanginya. Inilah yang harus diketahui untuk menjadikan kembali keluarga sebagaimana mestinya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sesuai tuntunan Allah dan Rasulnya, agar bahagia dunia akhirat. Dengan demikian tidak serta – merta kondisi ini bisa dihilangkan. Perlu ketelatenan, perhatian yang lebih dan pengertian yang dalam untuk menemukan sumber masalah dan solusinya. Bahkan mungkin, satu per satu kasus berbeda walaupun kelihatannya sama.
Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah