Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis bahwa sebagian wilayah Indonesia kini telah memasuki musim kemarau. BMKG menganalisis hingga tanggal 20 Juni 2020 menunjukkan bahwa 51,2% wilayah Indonesia telah mengalami musim kemarau, sedangkan sisanya masih musim hujan.
Musim kemarau ditandai dengan berkurangnya hari hujan dan rendahnya jumlah curah hujan yang terukur di permukaan. Umumnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia pada pertengahan Juni 2020 berada pada kriteria rendah (0-50 mm/dasarian). Dibandingkan dengan curah hujan normalnya (rata-rata iklim 1981-2010) pada bulan Juni, 50% dari wilayah Indonesia menunjukkan kondisi atas normal (lebih basah dari biasanya).
Sedangkan 30% wilayah yang lebih kering (bawah normal) terjadi di Sumatera Utara bagian tengah, Jawa Barat bagian tengah, Jawa Tengah bagian tengah, JawaTimur, Kalimantan Tengah bagian utara, Papua Barat bagian timur, Jayapura, dan Papua bagian utara dan tengah. Diperkirakan sebagian wilayah Indonesia akan cenderung basah, namun tetap perlu diwaspadai adanya potensi kekeringan di 30% wilayah Zona Musim (ZOM).
BMKG mengimbau bagi daerah yang masih mendapatkan curah hujan tinggi perlu mewaspadai potensi perkembangan nyamuk pembawa penyakit demam berdarah. Bagi daerah yang telah memasuki musim kemarau dengan deret hari kering yang cukup panjang untuk melakukan langkah mitigasi antara lain: budidaya pertanian yang tidak membutuhkan air banyak, melakukan gerakan hemat penggunaan air bersih, dan mewaspadai kebakaran hutan, lahan dan semak (Herizal, 2020).
Budidaya pertanian merupakan kegiatan terencana pemeliharaan sumberdaya hayati yang dilakukan pada suatu areal lahan untuk diambil manfaat/hasil panennya. Menurut KBBI budidaya adalah usaha yang bermanfaat dan memberi hasil. Menurut Kusumaningsih (2019) jenis tanaman yang cocok ditanam pada musim kemarau umumnya berasal dari tanaman sayur-sayur dan palawija. Tanaman tersebut diantaranya adalah tomat, terong, mentimun, labu siam, jagung, singkong, ubi jalar, kacang panjang, kedelai, dan jewawut.
Gerakan penghematan penggunaan air bersih dapat dilakukan dengan berbagai cara (Idntimes, 2019). Langkah pertama yaitu dengan meminimalisir hal sepele yang dapat memboroskan air seperti melamun saat mandi menggunakan shower, atau air dari keran mengalir saat menyikat gigi. Langkah selanjutnya adalah dengan memeriksa saluran air yang bocor, seperti toilet dan keran.
Banyak keran yang sudah dalam posisi tertutup ternyata masih ada yang menetes, tanpa disadari dalam jangka waktu yang panjang banyak air yang terbuang. Mengurangi waktu penggunaan shower juga sangat memberikan manfaat dalam penghematan air, mandi lebih cepat dua menit daripada biasanya dapat menghemat 1.750 galon air per tahunnya.
Kebakaran hutan, lahan dan semak dapat memberikan dampak kerugian berupa hilangnya manfaat dari potensi hutan, berkurangnya luas wilayah hutan, tidak tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi (Rasyid, 2014). Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor alami (pengaruh El-Nino) dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol.
Faktor sosial budaya masyarakat yang perlu diwaspadai sebagai penyebab kebakaran hutan yaitu: 1) penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan; 2) adanya kekecewaan terhadap sistem pengelolaan hutan; 3) pembalakan liar atau illegal logging; 4) kebutuhan akan Hijauan Makanan Ternak (HMT), perambahan hutan; dan 6) kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya api.
Melihat dampak yang dapat dirasakan dan potensinya semakin besar pada musim kemarau maka sudah sepatutnya masyarakat siap siaga dalam menjaga hutan untuk mengurangi dampak yang terjadi dari kebakaran hutan, sehingga kerugian terhadap kerusakan alam dapat diminimalisir. Kedua, masyarakat perlu membuang kebiasaan buruk tentang kelalaian terhadap penggunaan api di dalam hutan untuk membuka lahan yang tidak terkontrol yang biasa menyebabkan kebakaran hutan.
Langkah antisipatif lainnya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak kemarau yaitu dengan melaksanakan antisipasi potensi kekeringan pada lahan pertanian dengan cara menata pengelolaan air, manajemen budidaya tanaman sesuai iklim dan kondisi melalui pemilihan komoditas, varietasi spesifik lokasi, pengaturan waktu tanam, pola tanam, teknik bercocok tanam dan pengaturan ketersediaan air (Purnawan 2019).
Langkah mitigasi lainnya untuk meminimalisir dampak kemarau dapat dilakukan dengan melakukan pembuatan sumur suntik, pembuatan penampungan untuk panen air, pembuatan biopori, dan optimalisasi lahan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga (Kementan, 2020).
Disimpulkan bahwa manajemen budidaya pertanian, manajemen pengelolaan air, optimalisasi lahan pekarangan, gerakan hemat penggunaan air bersih dan mewaspadai kebakaran hutan, lahan dan semak dapat menjadi strategi dalam mempersiapkan diri menghadapi musim kemarau (FF/Lines).