Pak Herman Lubis dalam sebuah acara pengajian beberapa waktu yang lalu pernah bercerita. Suatu ketika datanglah pasutri (pasangan suami istri) yang mau mengadukan permasalahannya ke Ulil Amri di Pondok Kertosono. Sang istri gamang dan memprotes kelakuan suami yang mau menang sendiri. Sang suami juga begitu, merasa gerah istrinya tidak mau taat. Padahal dalilnya kan jelas, kalau istri itu harus taat suami. Harus nurut ini dan itu, selama tidak maksiat. Tanpa panjang lebar, Pak Ulil Amri berkata, “Saya ini kan ulil amrinya, seharusnya istri saya lebih taat kepada saya, wong saya ulil amrinya. Ewo semono, istri saya juga berani marah kepada saya, kala ada yang tidak berkenan…” Belum rampung Pak Ulil Amri ngomong, pasutri itu sudah ngeloyor pergi. Karena sudah merasa mendapat jawabannya. Tak perlu duduk diam mendengarkan berlama – lama.
Cerita ini seakan semakin menambah padang wawasan saya. Kemunculannya membuat jembar kotak pemahaman saya yang tadinya sempit. Begitu legowo saya menerima realita lebih dari pemahaman sebuah dalil manapun. Kalau sebelumnya memberi pengertian dalil; Dikatakan kepada Rasulullah SAW manakah wanita yang baik? Beliau menjawab; “Adalah wanita yang menyenangkan suami ketika dipandang, dan mentaatinya ketika diperintah dan tidak menyelisishi suaminya di dalam dirinya dan harta suaminya dengan sesuatu yang dibenci suami,” (Rowahu an-Nasa’i) dengan warna tegas hitam dan putih, sekarang mampu mendalaminya dengan perlahan dan sempurna. Mengetahui kembangnya dan seluk – beluk gemulai urat nadinya. Terurai. Penuh warna dalam eksplorasinya. Kenyataan jika ada istri marah terhadap suami adalah hal yang biasa. Bukan merupakan hal yang tabu dan sebuah kegagalan besar dalam hal ketaatan di dalam sebuah rumah tangga. Yang penting bagaimana para suami dan istri bisa meresponnya dengan benar. Marah tidak boleh dilawan dengan marah. Kadang yang seperti itu, cukup diselesaikan hanya dengan diam saja. Tanpa berkata – kata.
Yang banyak menjadi kendala dalam berumah tangga bagi kebanyakan orang sebenarnya adalah penafsiran taat yang berbeda – beda. Dan memang dari sononya, taat seakan berarti mutlak. Kalau gak begitu, gak benar. Akibatnya, kesepahaman dan saling pengertian tidak segera muncul dan berkembang sebagaimana mestinya. Semua berpegang pada patronnya masing – masing. Secara elegan suami berpendirian bahwa istri harus taat. Wajib. Mutlak. Tanpa reserve. Sedangkan istri mengartikan ketaatannya lebih pada dasar mastatho’na: diam, mengalah, pasrah dan respon yang lambat – laun membosankan karena keterpaksaan dan adanya kebencian. Bukan semakin rela dan suka dalam menjalani proses interaksinya, yang terjadi malah kadang sebaliknya. Konstruksi komunikasi tidak segera terbangun dengan baik. Karena kedua pihak berkeras pada ujung pemahaman. Padahal sejatinya muara keduanya – ujung satunya – tersambung dalam bingkai kerja sama dan kesetaraan. Allah berfirman, “Dan gaulilah mereka istri dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa : 19)
Pada pasutri yang telah berhasil melewati masa kritis dalam proses membangun simbiosis ini akan tampak dari hubungan komunikasi yang terjalin. Ketaatan bukan lagi hal yang paling utama, bahkan ia bisa di paling akhir, yang penting jalannya roda rumah tangga berdasarkan rambu Allah dan Rasul menuju keluarga sakinah, mawaddah warohmah. Tapi disadari atau tidak, ketaatan adalah dasar bagi segala – galanya. Sedangkan yang tidak berhasil kadang tak tampak. Namun ini merupakan bahaya laten yang perlu segera di atasi dengan hati – hati dan teliti. Meminjam syair lagu Serius, kalau rocker juga manusia, maka istri dan suami juga manusia. Peluang untuk berbuat salah tetap masih ada. Dan konstruksi bangunan keluarga bahagia hanya bingkai tanpa makna, selagi masih berkutat pada hitam – putihnya ketaatan saja.
oleh: Ustadz Fami