Jakarta (09/07) Penulisan artikel ini didorong keprihatinan atas berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, terutama terkait dengan kontroversi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang mengandung penafsiran Pancasila sebagaimana yang berkembang pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ketika PKI masih menjadi salah satu kekuatan politik yang dominan di Indonesia.
Akhirnya RUU ini menuai banyak kontradiksi sehingga akhirnya Presiden Jokowi tidak memberikan persetujuan untuk pembahasan RUU ini bersama DPR. Menurut berbagai media, belakangan ini mulai terungkap bahwa RUU ini lebih banyak digagas oleh unsur-unsur yang oleh masyarakat dipandang sebagai manifestasi dari anasir komunis dalam tubuh DPR RI.
Degradasi
Barangkali fenomena RUU HIP hanyalah merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang mengenai semakin lunturnya semangat untuk mempertahankan dan mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mahfud MD dalam sebuah seminar kebangsaan di IAIN Salatiga, 20 September 2017 pernah menyatakan, “Nilai kebangsaan generasi muda sekarang ini boleh dibilang mengkhawatirkan. Contohnya, di salah satu universitas di Solo, dari hasil penelitian, setidaknya ada 50 persen mahasiswa menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.”
Mantan Wapres Budiono, pada 2013 juga pernah menyatakan, “Nilai-nilai Pancasila kini terus tergerus, baik dalam praktik tata kelola pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.” Berbagai fenomena itu menggambarkan, tampaknya Pancasila sebagai ideologi negara dan filosofi hidup masyarakat Indonesia terus mengalami degradasi. Tampak pula bahwa komitmen untuk merawat identitas keindonesiaan dan NKRI meluntur hingga mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Jika hal ini terus berlangsung maka tidak mustahil nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang digagas oleh para founding fathers akan akan lenyap. Pertanyaannya, mungkinkah Indonesia dibangun tanpa Pancasila?
Rasa Keindonesiaan
Pancasila lahir seiring dengan tumbuhnya rasa keindonesiaan. Dengan demikian, keindonesiaan tidak bisa dipisahkan dari Pancasila. Indonesia akan tetap ada kalau ada Pancasila. Secara historis, hingga pertengahan abad ke-19, istilah “Indonesia” belum ada, apalagi perasaan keindonesiaan. Yang ada adalah perasaan kesukuan dan jenis sektarian yang lain.
Bahkan pada awalnya nama “Indonesia” bukanlah ciptaan orang Indonesia, tetapi ciptaan etnolog asing ketika pada 1850 James Logan menggunakan kata “Indonesia” untuk menyebut wilayah geografis dari Sumatra hingga Filipina. Selanjutnya popularitas kata “Indonesia” tetap terjadi dalam dunia ilmiah. Bahkan hingga memasuki abad XX, istilah “Indonesia” yang lebih banyak digunakan oleh ilmuwan belum membangkitkan kesadaran para tokoh masyarakat Indonesia.
Memang Belanda melestarikan rasa kesukuan agar tidak terjadi persatuan yang mampu mengalahkannya. Karena itu, bisa dipahami jika gerakan perlawanan masyarakat Indonesia terhadap penjajah Belanda abad XIX hingga memasuki abad XX masih bersifat kedaerahan, kesukuan, dan sektarian seperti Perang Padri, Perlawanan Diponegoro, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan lain-lain. Jadi, “rasa keindonesiaan” waktu itu belum muncul.
Kesadaran supraetnik dan supralokal muncul dengan didirikannya Indische Partij pada 1912 oleh Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo). Mereka sadar sebagai sebuah bangsa yang tinggal di negeri Hindia yang sedang dijajah Belanda (Nederlandsch Indie). Penghuni tanah Hindia masih diidentikkan dengan pribumi atau inlander sesuai dengan kerangka hukum Belanda yang rasialis (RR 1854). Itu terlihat dari tulisan Suwardi Suryaningrat tahun 1913 yang berjudul “Als ik Nederlander was”. Tulisan ini merupakan kesadaran kebangsaan, bangsa Hindia yang sedang dijajah Belanda.
Menurut studi Elson, penggunaan awal nama “Indonesia” oleh para tokoh pergerakan nasional justru terjadi di negeri Belanda melalui organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang dibentuk sekitar 1908. Kedatangan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan dr Tjipto Mangunkusumo tahun 1913 ke Belanda (karena dibuang) memberi warna baru bagi Indische Vereeniging. Pada akhirnya nama Indische diganti menjadi Indonesisch atau Indonesia.
Menurut RE Elson, pada periode inilah nama “Indonesia” untuk pertama kali digunakan untuk nama organisasi. Pada periode selanjutnya seiring dengan meletusnya Perang Dunia I pada tahun 1914 gagasan “Indonesia” semakin tegas. Dalam koran Hindia Poetra, Suwardi pernah menulis: “Semuanya (anggota Perhimpunan Indonesia yang notabenenya juga terdapat orang-orang Indo) kelak akan bekerja sama membangun negara Indonesia pada masa depan, yang saat ini menjadi jajahan Belanda”.
Dalam konteks ini, di samping bermakna geografis (sama dengan Hindia Belanda), “Indonesia” juga mulai bermakna etnografis, namun bukan hanya menyangkut inlanders, tetapi siapapun yang bertempat tinggal di negeri Indonesia (multi-etnik dan ras). Siapa pun warga negara Indonesia adalah orang Indonesia. Jadi, sejak awal kondisi multi etnisitas orang Indonesia ini sudah disadari sepenuhnya oleh para tokoh.
Makin populernya nama “Indonesia” diiringi dengan makin munculnya kesadaran “keindonesiaan” yang sedang dijajah Belanda. RMH Soeryo Poetro pada tahun 1918 menyatakan, “Tanah Indonesia harus dikembalikan kepada bangsa Indonesia, yang memusatkan perhatian kepada negara yang akan terwujud…” Setelah itu banyak organisasi pergerakan nasional yang menggunakan kata “Indonesia” seperti PKI (partai Komunis Indonesia, 1920), PNI (1927), peristiwa Sumpah Pemuda 1928, dan sebagainya.
Sangat menarik bahwa jika pada zaman Belanda konsep “Indonesia” tumbuh dan berkembang sebagai sebuah wacana. Juga “rasa keindonesiaan” semakin diterima secara luas sebagai identitas bangsa baru sebagai anteseden terhadap bangsa yang sedang menjajahnya (Belanda), maka pada zaman Jepang rasa keindonesiaan dikuatkan dengan pengalaman praktik dalam kehidupan nyata. Beberapa pengalaman praktik pada zaman Jepang yang memperkuat “rasa keindonesiaan” adalah pengalaman dekat dengan masyarakat. Para tokoh pergerakan nasional memanfaatkan organisasi-organisasi bentukan Jepang untuk berdialog dengan rakyat.
Misalnya Bung Karno sebagai Ketua PUTERA berkeliling ke daerah2 untuk pidato. Selain itu para tokoh nasional juga memiliki pengalaman praktis di bidang pemerintahan, misalnya banyak tokoh menjadi anggota Sanyo Kaigin (Dewan Penasihat) Pemerintahan Militer Jepang.
Kristalisasi Pengalaman
Pancasila dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengalaman tiga dunia, yaitu dunia feodal, dunia kolonial (penjajahan) Belanda, dan situasi pendudukan Jepang. Oleh sebab itu, rumusan Pancasila bisa dipandang sebagai kristalisasi dan abstraksi pengalaman zaman (dan pengalaman belajar) untuk membentuk masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang ideal baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.
Karena itu, Pancasila merupakan konsensus luhur para pendiri bangsa. Pancasila yang di dalamnya mengandung semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah sangat disadari oleh para pendiri bangsa sebagai syarat mutlak untuk menjaga keberadaan bangsa dan negara Indonesia.
Kalau dicermati, salah satu sumber kegaduhan dalam RUU HIP adalah tentang posisi ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang semakin dikesampingkan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Padahal semangat berketuhanan merupakan semangat utama dalam cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Di samping nilai-nilai berketuhanan, ada nilai-nilai lain yang menjadi darah-daging berkeindonesiaan, yaitu semangat dan nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan (gotong royong). Dalam konteks itulah maka sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, harus menjadi fondasi dari empat sila yang lain. Hal itu sudah jelas diakomodasi dalam Pasal 29 ayat 1: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi kalau negara sudah berdasarkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ maka rakyat sebagai salah satu unsur negara juga harus berdasarkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Jadi, logikanya, tidak ada tempat bagi rakyat yang atheis dalam arti tidak berketuhanan.
Demikian juga ber-Ketuhanan Yang Maha Esa juga harus menjadi sumber-sumber nilai berpemerintahan dan bernegara sebagai unsur dari negara. Ibarat sosok manusia, sila pertama adalah tulang-tulang yang kokoh yang memungkinkan sosok manusia memiliki potensi kuat untuk berkembang secara optimal.
Dengan demikian, ibarat sebuah bangunan, sila pertama adalah fondasi, bukan pagar atau bingkai. Jika sila pertama dijadikan bingkai atau pagar dari sila-sila yang lain maka akan menjadi bibit persoalan yang berkepanjangan, karena terdapat pluralisme agama dan kepercayaan di Indonesia dan hal itu juga diakui oleh ayat 2 Pasal 29 UUD 1945. “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dengan memahami semangat dan jiwa yang tergali dari sejarah kelahiran Pancasila, dengan gelora semangat kebangsaan Indonesia begitu kuat, maka yang patut menjadi bingkai ataupun pagar dari sebuah bangunan terhadap sila-sila yang lain adalah sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Dalam konteks ini, apa pun agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat (sila I), apa pun aktualisasi kemanusiaan yang berkeadaban (sila II), apa pun bentuk demokrasi yang dijalankan yang berlandaskan musyawarah dan mufakat, dan apa pun model keadilan yang diterapkan sesuai nilai-nilai luhur sila-sila yang lain, harus tetap dalam bingkai Persatuan Indonesia atau tetap dalam bingkai NKRI. Di dalam bingkai atau wadah bangunan Persatuan Indonesia dalam wadah NKRI inilah fondasi ber-Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan.
Selanjutnya aspek dinamika kehidupan di dalam bangunan (misalnya sebuah rumah) dijiwai nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab, dan dilakukan dengan cara-cara yang demokratis yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat serta gotong-royong karena adanya semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Dan semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama, yakni kemakmuran dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat, makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran yang di-ridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Hanya dalam konteks inilah maka tugas dan fungsi serta amanat NKRI ini bisa diwujudkan, yaitu: “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana cita-cita dan konsensus luhur para founding fathers. Mari kita rawat dan kita kembangkan NKRI yang berpancasila karena bukan milik kita, tetapi milik para founding fathers yang akan diberikan kepada anak-cucu kita. Tanpa fondasi Pancasila, NKRI akan ambruk. (40)
Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono M.Hum
Guru Besar Sejarah Maritim, Departemen Sejarah, FIB, Undip Semarang.
(artikel asli rilis pada 25 Juni 2020)
NKRI tanpa Pancasila runtuh. Pancasila tanpa agama lumpih
Pancasila tanpa agama akan lumpuh
sdh semestinya kita bersyukur kpd Allah YME atas anugerah-Nya berupa NKRI yg berdasar Pancasila karena di sini kita bisa beribadah dg tenang dan mencari kehidupan dg tenteram.. NKRI tiada duanya..
Konten yang cukup berat. Semoga dibuatkan yang lebih sederhana tanpa mengurangi makna dan pengertiannya.
mestinya kita bersyukur kpd Allah YME atas anugerah-Nya berupa Pancasila karena dengannya kita bisa beribadah dg tenang dan mencari kehidupan dg tenteram.. NKRI tiada duanya..
Satu Pertanyaan yang dilontarkan dr. Rajiman Widyodiningrat sebelum memulai Rapat BPUPKI ” Atas dasar apa Indonesia ini akan dibentuk?”. Maka selanjutnya muncul “Pancasila” sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik indonesia. Saya setuju dengan pernyataan “tanpa pondasi Pancasila, NKRI akan ambruk”.
Selanjutnya bagaimana cara membumikan dan menginternalisasi Pancasila pada Generasi Bangsa saat ini dalam era digital dan new normal?
Ini bisa menjadi perhatian, bahasan dan tindakan kita bersama. Masing-masing komponen Bangsa dari Lintas Generasi dan lintas wilayah bisa berperan aktif; memperkenalkan, menumbuhkan pengertian dan pemahaman serta mempraktekan nilai-nilai luhur pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Cara-cara inovatif dan kreatif dengan bahasa kekinian bisa digunakan sebagai alat untuk membumikan Pancasila di sanubari Generasi Bangsa saat ini.
Pancasila….itu Indonesia
Indonesia….itu Pancasila.
Semoga Allah memberikan manfaat dan barokah.
Mantab
Kebenaran Pancasila sebenarnya telah diyakini oleh banyak orang. Sebab karena kebenaran Pancasila itulah orang merasa nyaman dan mau hidup di Indonesia. Tetapi dalam perjalanannya, oleh pihak pihak yang berebut kekuasaan atas negara ini, Pancasila dipakai untuk menyingkirkan lawan politiknya dengan mengatasnamakan Pancasila. Ini mirip dengan Islam. Sebagai agama, Islam diyakini kebenarannya sebagai falsafah dan tuntunan hidup , tetapi dalam perjalanannya dipergunakan oleh para perebut kekuasaan untuk menyingkirkan lawan politiknya dengan mengatasnamakan Islam. Sejarah akan selalu berulang
Tulisan yang bagus. Perlu disosialisasikan kepada siapa saja, terutama para generasi muda sebagai penerus dan penjaga negara Indonesia tercinta…
Pancasila selamanya..!!
Indonesia ya Pancasila kalau tidak ada Pancasila ya bukan Indonesia, Dengan Pancasila dari Sabang sampai Merauke disebut Indonesia, jadi Pancasila sebagai Ikatan Hukum Bangsa Indonesia, Jayalah Negriku Jayalah Bangsaku INDONESIA….🇮🇩🇮🇩🇮🇩
Pancasila – NKRI harga mati…
Semoga Alloh memberikan aman selamet lancar barokah…NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 harga mati!!!!!
NKRI, Pancasila Harga Mati…Jossss
Sekali Pancasila tetap Pancasila, Pancasila sudah final sebagai dasar negara dan ideologi bangsa
Lanjutkan 3 K
Untuk NKRI
ketuhanan yang maha esa harus dibela
PANCASILA SELAMANYA
NKRI harga mati
Pancasila indonesia
Pancasila itu sudah final yg di lahirkan oleh pendiri bangsa, dan letuhanan yg maha esa itu seutuhnuapun atas persetujuan para ulama yg sebelumnya utk menyatukan keberagaman agama. Unsur ada dalam RUU HIP merubah Pancasila menjadi Tri Sila atau Eka Sila jelas menyimpang dan bukan Pancasila lagi namanya, hal ini oleh byk para ahli hukimenilak akan timbulnya kemunculan PKI dengam Legal dan berkembang bebas, jelas kita tau sejarah PKI itu tidak percaya adanya Allah dan mereka tdk punya Agama, kebiadab merekapun menjadi hal sejarah yg kelam bagi umat Islam atas pembantaian PKI terhadap ulama dan santri dengan pembunuhan yg sangat keji dan biadab. Tidak ada toleransi atas berkembangnya PKi selain mereka adalah musuh sejatinya Umat Islam.
Pancasila jaya
Pancasila sdh teruji seiring dg perkembangan negara indonesia ,dan terbukti mempersatukan indonesia .
Selalu jadi landasan nkri harga mati .
Pancasila adalah fondasi yg kuat untuk membangun Bangsa dan Negara.
PANCASILA FINAL!!!
Pancasila itu Pemersatu Bangsa. Jangan dirubah.
NKRI Harga Mati
PANCASILA jaya takkan tergantikan
Tetap Pancasila…Pancasila sakti
Pancasila sakti..
Tulisan yg bagus sangat baik untuk para generasi muda dan generasi tua karena banyak generasi tua yg kurang faham sejarah Pancasila. Perlu disosialisasikan kepada semua warga negara Indonesia terutama para generasi muda.
Sampai kiamat tetep NKRI
Pancaaila menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah negara yang bernama Indonesia…..
Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah harga mati bagi bangsa Indonesia dalam artian tidak bisa dirubah, kalo merubah berarti merubah kehidupan bangsa Indonesia.. Merdeka !!!
NKRI harga mati Pancasila dasar negara berbinneka tunggal ika
pancasila harga mati…
NKRI harga mati…
dengan pancasila kita bisa bersatu melawan penjajah maka sekarang jangan sampai mau di pecah belah lagi seperti jaman penjajahan….NKRI harga mati
kita tahu bahwa pendahulu kita bisa merdeka karena memegang kuat pancasila karena keragaman bangsa indonesia, dan dengan pancasila kita bisa melaksanakan ibadah dengan damai maka tetap Pancasila Jaya NKRI HARGA MATI…….
Cobaan internal dan external akan datang silih berganti menguji existensi suatu bangsa, termasuk NKRI, jika Pancasila dan Agama sebagai pemersatu bangsa yg penuh dg keanekaragaman ini sudah tidak dipedulikan lagi, maka ancaman kekacauan akan dialami. Pemerintah dan rakyat harus komit untuk meng hidup hidupkan Pancasila dan Agama ini jika tidak ingin bernasib sama dengan bangsa lain yang tercerai berai
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyayangi perasaan sebangsanya” Dengan Pancasila dan NKRI kita bisa mewujudkannya. Tentu bi idznillah……
Alhamdulillah sangat mencerahkan, bayangkan jika gak ada Pancasila mungkin antara suku etnis saling bunuh
Panacasila satu ketuhanan yang maha esa , dasa darma pramuka pramuka itu satu takwa kepada tuhan yang maha esa.
berjalan lurus dan sejalan dengan apa yang kita kerjakan yaitu mempercayai tuhan yang maha esa , semoga allah selalu melindungi negara indonesia tercinta ini dengan di berikan bagian kedamaian dan rohmat yang banyak amiiin
Pancasila dan UUD 45 adl 2 dasar negara yg mestinya tak boleh diotak-atik
Keberadaanya sebagai penopang kehidupan berbangsa bernegara adl satu kemutlakan yg harus diisi dgn norma2nya
Setelah UUD 45 yg telah diamandemen berkali2, lanjut pancasila akan diubah
Mestinya dikembalikan pada norma2 Pancasila dan UUD 45
Bukan pengertiannya yg salah lantas perlu amandemen, tapi penafsiran dan implementasi yg disimpangkan sehingga membiaskan makna sejati
#PancasilaUUD45
Alhamdulillah kita bersyukur kpd Allah YME atas anugerah-Nya berupa Pancasila karena dengannya kita bisa beribadah dg tenang dan mencari kehidupan dg tenteram. Semoga Alloh selalu memberikan keamanan, keselamatan, kedamaian, kelancaran dan kebarokhan kepada negara kita Indonesia dan Pancasila. Aamiiin
Jangan diotak atik Pancasila …