Jujur saja, in my mind, dulu taubat itu sesuatu yang harus dijauhi. Kalau perlu jangan sampai dilakukan. Dia seakan sebuah prestige dan prestasi, jika sedikit melakukan taubat. Sedikit taubat berarti hebat. Sedikit taubat berarti sedikit salah. “Anda layak dapat bintang,” itu kira – kira. Apalagi bagi mereka yang pernah mengalami masa perploncoan ketika jadi mahasiswa. Dimana dituntut perfect, tidak boleh salah sedikit pun. Kalau salah itu jelek. Salah itu aib. Salah itu harus diganjar dengan hukuman yang berat. Ini kultur kita. Walhasil, banyak yang jera melakukan kesalahan. Kalau sampai berbuat salah sebisa mungkin ditutupi. Ditutupi yang rapat supaya tidak ketahuan. Dan tidak kena hukuman. Awal – awal saya mengaji juga begitu. Nuansa taubat tidak jauh berbeda. Ia masih menjadi momok yang menakutkan bagi setiap diri. Belum ada apresiasi yang benar mengenai taubat. Hanya sebatas taubat itu baik, tapi implementasi, sosialisasi dan lingkungannya masih kontra produktif. Belum mendukung sepenuhnya satu sama lain. Bagaimana kita mau melihat taubat itu baik, kala kita tertimpa kesalahan dan disuruh taubat, yang lain malah sorak kegirangan? Banyak yang masih memandang sebelah mata, memandang “hina” kala kita menjalani taubat. Banyak yang seolah nyukurin dan seolah arena balas dendam. Akhirnya kata taubat menjadi jargon hampir di setiap pembicaraan; “Awas taubat lho!” Sebagai sindiran karena seringnya disuruh taubat oleh pengurus dan atau kiat bagaimana memilih jalan agar terhindar dari taubat. Jangan sampai kena taubat. Begitulah, Naudzubillah.
Beruntung, dari dulu saya diberi kepahaman bahwa salah itu biasa dan benar juga biasa. Tidak ada manusia yang sempurna. Alhamdulillah. Semenjak dulu saya punya prinsip jangan takut berbuat salah. Oleh karena itu, rentetan kejadian yang pernah menimpa diri ini, seakan mengalir dan semakin membuat diri ini kuat dan kuat dalam menghadapi berbagai hal. Mendapatkan pelajaran yang berharga, yang mungkin tidak didapatkan oleh yang lain. Dan yang penting, itu semua tidak menjadikan sakit hati, dendam atau kemarahan. Justru merupakan cikal bakal pemahaman yang lebih baik dan lebih sempurna tentang arti taubat. Hikmah yang membahana untuk mengerti arti qodar yag sesungguhnya. Ditengah memudarnya pesona taubat di kalangan kita. Demikianlah Allah paring.
Mungkin pengalaman masa lalu, atau rasa malas yang berlebih, atau rasa superiornya, banyak yang berprinsip taubat itu kan urusan kita dengan Allah? Maksudnya disirkan saja. Disamarkan. Diam – diam saja. Betul, tetapi sudah benarkah cara melakukannya? Seberapa rutinkah kita taubat kepada Allah? Atas kesalahan apa? Banyak kita yang sok suci, nggak tahu apa salahnya ketika disodori blanko taubat. Bahkan ada yang bertanya kepada teman sebelahnya, apa ya salah saya? Saking bingungnya. Terus terang, banyak di antara kita yang terjangkit penyakit seperti ini, merasa tidak punya salah dan dosa.
Untuk mendalami dan menyelami arti penting dan indahnya taubat, mari kita cermati hadits berikut ini. Dari Abu Huroiroh ra., dari Nabi SAW beliau bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sekiranya kalian tidak pernah melakukan perbuatan dosa, maka niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan mengganti dengan kaum yang melakukan dosa lalu mereka memohon ampun (taubat) kepada Allah dan Allah pun mengampuni kepada mereka.” (Rowahu Muslim)
Menurut saya, ini hadits yang harus dicamkan betul sebagai dasar pemahaman qodar salah/dosa dan pengembangan arti pentingya masalah taubat bagi setiap diri ke depan. Sebab hadits ini memaklumatkan penggantian diri, penggantian kaum yang tidak pernah melakukan dosa. Diawali dengan sumpah lagi. Kenapa kok diganti? Sebab itu sudah menyalahi ketentuan Allah. Sebab Allah telah mengdodar setiap insan itu punya salah dan dosa. Dengan salah dan dosa itu bukan berarti Allah benci atau tidak adil kepada hambanya. Akan tetapi dengan salah dan dosa itu, justru merupakan jalan bagi seorang hamba untuk mendapatkan rahmat Allah yang lebih baik dan lebih tinggi di sisiNya. Jalan itu disebut taubat (yang artinya adalah kembali). Jadi Allah sangat, sangat senang jika mendapati seorang hamba bertaubat setelah melakukan kesalahan. Bahkan di hadits lain senangnya lebih sangat daripada kembalinya tunggangan seorang musafir di padang tandus lengkap dengan perbekalannya.
Nah, mulai sekarang dan ke depan mari kita sadari bersama bahwa taubat adalah salah satu jalan untuk memperoleh keridhoanNya, memperoleh kecintaanNya, sebagaimana Allah sebutkan dalam kitabnya: Innallaaha yuhibbut tauwwabiin – Sesungguhnya Allah senang kepada orang – orang yang bertaubat. Dengan demikian, taubat tidak dipandang lagi sebagai beban atau hukuman, melainkan sebuah jalan untuk memperoleh kembali kehormatan di sisiNya. Dan telinga kita tidak alergi lagi ketika mendengar kata; taubat, tobat dan tobat…lho!
Oleh :Faizunal Abdillah