Konon, sering diperdengarkannya kata taubat, taubat dan taubat, adalah bagian dari sosialisasi. Maksudnya pemasyarakatan kata taubat, sehingga tidak menjadi angker. Biar familiar. Nyegurah. Taubat itu baik. Taubat itu terhormat. Taubat itu bagian dari amal sholih. Taubat itu bagian yang tak terpisahkan dari ubudiyah. Taubat adalah rangkaian ibadah. Sama seperti wudhu. Bukan untuk ditakuti atau dibenci. Bukan untuk dibuang dan dilupakan. Tapi untuk dipahami dan didalemi – nresep, dihayati dan dirasakan – mantep, sehingga mendarah daging, menjadi ciri, menjadi thobiat. Semakin sering diucap, diharapkan semakin nancep di hati. Semakin sering diperdengarkan semakin terbiasa. Gendang telinga nggak aneh lagi. Sehingga tidak terkejut atau sakit hati, ketika menjalani ritual taubat yang sejati.
Untuk memahami lebih luas dan lebih padang, cuplikan hadits berikut rasanya perlu dicermati bersama, agar wawasan dan pandangan tentang taubat bisa nlisir. Godir ngalih. Jembar kalangane. Padang rembulane. Wening. Hingga akhirnya hilang semua bimbang dan keraguan, menuju kesenangan untuk bertaubat ketika berbuat salah atau dosa.
Dari Ibnu Abbas ra., dia mengatakan, ”Orang Quraisy pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW, ’Berdoalah engkau Muhammad kepada Rabbmu untuk kami agar dia menjadikan Bukit Shofa menjadi emas. Jika Bukit Shofa berubah menjadi emas, maka kami akan mengikutimu.’ Maka Rasulullah SAW berdoa kepada Rabbnya. Lalu datanglah malaikat Jibril dan berkata, ’Sesungguhnya Rabbmu menitipkan salam buatmu dan berfirman untukmu, ’Jika kamu mau, maka Bukit Shofa akan menjadi emas buat mereka, tapi jika ada yang kufur setelah itu, maka Aku akan siksa mereka dengan siksa yang tidak pernah Kutimpakan atas siapapun juga. Dan jika engkau mau, maka Aku bukakan buat mereka pintu taubat dan rahmat.’ Rasulullah SAW menjawab, ’Pintu taubat dan rahmat saja.” (Rowahu ath-Thabrani)
Jalan taubat adalah jalan kembali menemukan rahmat Allah yang tiada batas. Taubah adalah berkah yang pol. Dan adalah rahmat, sebab taubat bisa dilakukan asal ajal belum sampai tenggorokan dan qiyamat belum datang. Ada jeda. Interval. Waktu tunggu yang merupakan suatu pemberian Allah yang tiada terperi. Bayangkan seandainya Rasulullah SAW tidak memilihnya. Alangkah berdosanya ketika kita menyia-nyiakan pilihan agung itu. Itu adalah pilihan Nabi SAW atas umatnya. Pilihan terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Sepenuh masa. Lebih baik dari dunia dan seisinya. Pilihan yang tiada taranya. Yang lebih luas dan menjangkau. Berlaku sampai kiamat tiba. Sebutan apa yang cocok ketika ada yang menyepelekan pilihan itu? Dan orang yang menyepelekan adalah orang yang alergi dengan taubat. Orang yang termasuk menyepelekan adalah orang yang benci bertaubat. Orang yang menyepelekan adalah orang yang malas bertaubat ketika berbuat salah. Hanya menganggap seperti lalat yang lewat di depan hidung saja. Sekali gibas hilang. Pergi. Mabur. Tapi kembali dan kembali lagi, tak pernah merasa menyesali. Dimana letak yu’adhimnya? Ketika masih ada rasa berat itu, mari bangkitkan lagi semangat pengagungan terhadap syariat, syair – syair yang telah dipilih dan ditetapkan Allah dan Rasul untuk kita.
Melalui atsar – atsar ini, bisa kita garis – bawahi bahwa ketika bersalah gandengannya adalah taubat dan pulihannya harus banyak beramal sholih, amal yang baik. Seperti orang kalau sakit, harus ke dokter dan minum obat agar cepat kembali sehat. Jika kita sakit, tetapi dibiarkan saja, atau malah dibuat kerja keras terus, alamat bencana yang akan diterima. Bukan malah sembut tapi malah akut, tambah parah. Dan bisa – bisa jadi binasa, mati sia – sia. Adakah yang mau seperti itu? Tentu tidak bukan?
Oleh :Faizunal Abdillah