Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Sepertinya, sekarang saat yang tepat. Ditunggu-tunggu, katanya. Kala hujan bulan Desember sudah hadir lebat. Muncul banjir di tempat biasa. Bersama angin dan dinginnya. Untuk apa? Untuk berbicara lagi mengenai selimut asmara, menyambut hujan cinta di taman asri yang bernama keluarga. Walau mungkin serba sedikit, namun berharap banyak mampu menguatkan kembali hubungan suami – istri tercinta. Melengkapi dan menggenapi beberapa celoteh ringan sebelumnya. Dan kali ini waktunya memberi bumbu penyedap, biar semakin padu. Semakin terasa dan teramu. Tidak hambar. Yaitu, bagaimana membangun kualitas hubungan yang baik dari waktu ke waktu dan meningkatkan derajat spiritualitas dalam berumah tangga.
Seolah mendapat udara segar, bahtera rumah tangga akan berlayar lancar. Di haluan sebelah kiri tersedia bermacam bahan. Tugasnya adalah meramu dengan resep berikut, dengan syarat jangan sampai gagal faham.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
Dari Umi Salamah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan mana saja yang meninggal dunia, dan suaminya ridho darinya, maka dia masuk surga.” (HR at – Tirmidzi)
Jujur, selama ini banyak otak kiri yang memahami dalil ini dengan resep yang tidak seimbang. Meminjam istilahnya para pakar motivasi, tidak menganut prinsip menang – menang (win – win), akan tetapi cenderung menang-kalah (win – lose). Seolah memenangkan pihak suami dan membuat kalah pihak sebelah. Yaitu dengan memberikan tekanan, tepatnya tuntutan, bagaimana agar istri bisa selalu berbuat baik dan terus-menerus taat kepada suami. Bagaimana pun keadaannya. Tampaknya jalan pemikiran dan pemahaman seperti itulah yang tertangkap antena pemahaman di banyak kepala. Dengan semua itu, resonansinya, menghasilkan kala datang ajal, suami ridho dengan apa yang telah diperbuat dan disajikan sang istri.
Akibat yang tak terhindarkan, seakan-akan istri menjadi obyek penderita. Seolah-olah menjadi pihak yang terancam salah terus. Disorot terus untuk berbakti dan berbuat baik kepada sang suami. Sederhananya; gampang kok, asal istri bisa taat suami, surga. Sedangkan suami menjadi subjek yang “seolah-olah” terus dipuaskan. Enak dan menang terus. Itu jejaring kusut bentuk kemelekatan yang terus bertumbuh. Akibatnya, banyak kepala-kepala suami yang lupa dengan apa yang harus dilakukan agar terjadi hubungan yang baik antara suami – istri. Akibatnya, yang ada kebanyakan hanya tuntutan, tanpa tuntunan. Apalagi jika dikaitkan dengan dalil-dalil lain seperti ini misalnya, semakin menambah kebinalan asumsi tadi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ”
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu- dari Nabi SAW bersabda; “Andaikan aku boleh memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan memerintahkan seorang istri agar bersujud kepada suaminya.” (HR At-Tirmidzi)
Kebanyakan mata kepala seakan tertutup dan sumir membaca kata “andaikan”. Yang berarti tidak pernah terjadi secara nyata. Umumnya lebih terfokus kepada kalimat berikutnya yang membuai; sujud kepada suami. Artinya layak sebagai justifikasi. Menekan pihak sebelah untuk baik dan taat terus. Tanpa bersusah-payah. Itupun layak dihormati. Bahkan tidak mengapa. Tapi coba kita sandingkan dulu dengan bahan-bahan yang berada di haluan sebelah kanan. Barangkali ada yang bisa saling melengkapi. Sebentuk harapan baru, ramuan dari bahan di kedua haluan sehingga lahir pencerahan dan pemahaman mendalam secara adil dan membahagiakan. Tanpa mengalahkan. Saling menguatkan.
Bahan yang dimaksud, yang berada secara tersembunyi di haluan sebelah kanan adalah ini.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
Dari Aisyah ra, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda; “ Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmidzi)
Terus-terang, dengan bahan dalil ini menjadi suplemen untuk otak kanan. Hasilnya memberikan penerangan mendalam, melengkapi bahan pertama di atas, secara tuntas. Menuntun pada proses yang hasilnya bisa mendapatkan resep menang – menang dalam menjalani hubungan dan membangun cinta dalam rumah tangga. Bukan menegasikan atau menentangkan, tetapi justru menjadi suplemen, penjelasan lebih dalam dan jalan pemahaman menafsirkan hadits pertama di atas secara sempurna. Saling melengkapi, saling mengisi. Bukan antitesis. Apalagi jika ditambah dengan manisnya firman berikut.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًاۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. *Pergaulilah mereka dengan cara yang baik lagi patut.* Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.” [QS An-Nisâ:19].
Ada kalanya, kesadaran itu memang datang terlambat. Ting…, tiba-tiba muncul karena sebuah sebab atau pertanyaan maupun pernyataan. Laksana bintang kejora. Hadir dengan gambar-gambar yang lengkap. Tampak dimensinya dengan jelas. Terukur, tertata dan terpelihara. Lengkap dengan suasananya. Segar dan bugar. Persis seperti ketika tiba-tiba saya meramu dua bahan hadits di atas secara berurutan. Hadits kedua memberikan kesegaran tuntutan agar suami memberikan tuntunan berbuat baik kepada istri dan keluarga. Model menjadi suami terbaik. Kewajiban suami memberikan pergaulan yang baik dan patut. Nasehat yang sejuk. Perlindungan yang cukup. Dengan kata lain, bisa disebut dengan adil, rofiq, muhsin serta aris. Sedangkan dalil yang pertama di atas adalah memberikan kebugaran peringatan agar istri berbuat dan berlaku baik juga terhadap suaminya. Model menjadi istri terbaik. Kewajiban istri memberikan pelayanan terbaik. Dalam bahasa jiwa-jiwa yang bercahaya disebut taat, tawadhu dan syukur. Jadi impas dan indah bukan? Di sinilah menang-menang. Di sini untung, di sana juga untung. Tak ada yang harus merasa dirugikan karena semua berusaha menebar kebaikan. Semua atas dasar sabar, menerima dan ihklas. Sama-sama menyajikan perilaku dan budi pekerti yang luhur, terbaik, dengan koridor yang jelas dan terarah. Mengikuti aturan Allah dan Rasul. Memenuhi kewajiban dengan baik dan pada akhirnya menuai hak-haknya secara benar penuh kesungguhan. Sempurna.
Maka, ketika dua dalil di atas menjadi titian kuat, dalam bingkai yang sepadan tentunya, muncullah di lorong terdalam pikiran saya pertanyaan – pertanyaan terbuka. Membuka hati. Menyingkap kesadaran. Menyegarkan pikiran. Yaitu; “Apa yang akan dikatakan istri saya ketika saya nanti mati? Apakah saya tipe suami yang baik? Perhatian dengan keluarga, sayang istri dan gaul dengan anak – anak? Atau saya adalah tipe suami yang “brengsek”? Cuek? Mau menang sendiri?” Itulah pertanyaan – pertanyaan yang menggelayut bagai awan di pikiran dan mendung di sanubari. Hitam. Tebal. Mencekam. Beruntungnya, kita tak butuh jawaban itu sekarang, tapi nanti. Masih diberi waktu. Sekarang biarlah proses yang berjalan. Jikalau sudah baik diteruskan dan ditingkatkan. Jikalau belum sesuai, masih lubang di sana – sini, diperbaiki dan direka ulang agar menjadi baik dan cemerlang. Mumpung masih ada kesempatan. Ingatlah bahwa setiap diri adalah pemimpin, terlebih kaum lelaki.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرً
“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” [QS An-Nisaa’: 34]
Dengan menyadari adanya kelemahan, kekeliruan serta kekurangan di satu sisi, dan hadirnya kekuatan, kesabaran dan ketulusan di sisi sebelah, dibarengi ruang kesempatan yang terbentang lebar, perlu meramu semua itu menjadi satu. Sambil meretas waktu, menunggu kesempatan baik, maka ada semacam gita – cinta sederhana yang tercanang dalam diri mulai sekarang. Tanpa rasa malu, menolak ragu, mengakui ketidakberdayaan dalam merintis taman keluarga bahagia berbahan dasar cinta. Bersiap dan berbenah lagi, melalui paradigma menjadi. Tak lain adalah untuk menjadi suami terbaik bagi istri dan menjadi bapak teladan buat anak – anak. Dan memberikan cinta yang tulus kepada mereka. Cinta terbaik. Cinta di jalan Allah. Cinta atas dasar niat karena Allah. Sebentuk cinta sederhana dalam meraih ridhaNya. Semoga itu cukup. Tak berlebih. Tak perlu ketenaran. Tak perlu pujian. Dan ketika qodar mati datang nanti, itulah kalimat penyaksian terakhir yang keluar dari mulut mereka, bahwa mereka telah memiliki seseorang terbaik dalam hidupnya. Dan untuk cita-cita sederhana ini pun, masih banyak yang harus diperbuat. Tak bisa dengan tinggal diam dan duduk manis saja.
Oleh karena itu, teruslah berlomba dalam kebaikan. Rajin menebarkan benih-benih cinta di taman keluarga, sehingga bertumbuh rindang pohon asmara dengan akar-akarnya yang kuat menopang dan bunga-bunga cinta yang elok menyala. Mekar mempesona. Indah menawan. Mengundang kebahagian. Menghadirkan kedamaian. Memancar ke mana-mana. Tanpa syarat. Tanpa penyesalan.