Oleh Arief Iswanto, Pemerhati Lingkungan Hidup
Kurang apa Indonesia bila ingin menjadi raksasa industri pangan dunia? Negeri ini memiliki wilayah terluas di Asia Tenggara. Bila membandingkannya dengan negara-negara lain yang memiliki wilayah yang luas, Indonesia bertengger pada posisi ketujuh. Luas daratan Indonesia sekitar 1.922.570 km² atau 1,5 persen luas daratan dunia. Secara statistik, keperuntukkannya 75 persen untuk budidaya tanaman, peternakan dan perhutanan, sisanya didominasi padang rumput 7 persen, dan keperluan lainnya, di antaranya permukiman dan industri.
Itu baru berbicara pada permukaan tanahnya. Bila menelisih kandungan buminya, negeri ini memiliki tanah subur, minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, batu bara, emas, dan perak serta tanah jarang (rare earth). Ini adalah sederetan modal Sumber Daya Alam potensial yang terkandung di dalam perut bumi pertiwi Indonesia. Seharusnya ini menjadi kabar baik bagi bangsa Indonesia – menjadi kesenanganmu dan hewan-hewan ternakmu (Al Quran, Surat Abasa, ayat 32).
Di atas lahan itu, rakyat Indonesia bisa menamam beras dan beternak untuk mendapatkan protein hewani. Salah satunya, untuk mendapatkan daging sapi yang merupakan konsumsi pokok paling menonjol penduduk Indonesia. Saat ini, penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa, dengan konsumsi per kapita per tahun berturut-turut, 140 kg beras dan 2,85 kg daging sapi. Dengan data tersebut dapat dihitung pola konsumsi rakyat Indonesia. Bahkan, jika semua mengkonsumsi kedua bahan pokok tersebut, diperlukan masing-masing per tahunnya ± 32.400.000 ton beras dan ± 769.500 ton daging sapi. Namun realitanya, jauh panggang di atas api: Indonesia masih jadi importir produk pertanian dan peternakan.
Bila dikalkulasi, untuk mencukupi kebutuhan beras seluruh penduduk Indonesia hanya diperlukan luas sawah ± 84.000 km² atau 8.400.000 hektar. Perhitungannya, dengan asumsi per hektar sawah menghasilkan 4.500 kg beras. Maka, rinciannya untuk 270 juta penduduk Indonesia memerlukan 270.000.000 x 140 kg = 32.400.000 ton beras, setara kebutuhan areal 8.400.000 hektar atau identik dengan 84.000 km². Bayangkan dengan luas daratan kita yang 1.922.570 km², secara teknis tidak mustahil kemandirian pangan bisa diwujudkan. Sebab, angka luasan tersebut, hanyalah 4,47 persen dari luas total daratan Indonesia — bandingkan areal subur Indonesia 12 persen. Saatnya, ayo kita rawat kebutuhan pokok hidup, tidak ada salahnya berteori serta menggunakan data sekunder, kemudian berasumsi untuk memprediksi suatu kegiatan usaha, agar hasilnya terukur dan akurat. Upaya menuju realisasi swasembada pangan.
Namun kenyataannya, terjadi paradoks. Hal yang harus dipertanyakan adalah apakah masing-masing provinsi tidak memiliki data penduduk dan kebutuhan beras bagi penduduknya untuk kebutuhan setiap tahunnya? Lalu, jika memiliki data tersebut, apakah sulit mencetak sawah sesuai kebutuhan agar bisa berswasembada beras? Tentu secara teori ini bukan perkara sulit pula. Apalagi Good Agricultural Practices untuk bercocok tanam padi sudah tersedia, tinggal mempraktikkannya. Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pemerintah Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 2,25 juta di sepanjang tahun 2018. Bila jumlah penduduk dan kebutuhan pangan terdata dengan baik, setiap provinsi bisa secara mandiri memenuhi kebutuhan pangannya. Bahkan, antar provinsi bisa bekerja sama saling mensubsidi. Bahan pangan pokok yang khas di suatu provinsi, semisal jagung dan sagu bisa ditingkatkan produksinya dengan lahan yang tersedia.
Selanjutnya, dengan perhitungan yang sama seperti menghitung kebutuhan beras nasional, dengan asumsi sapi diternak secara keraman (dikandangkan), 1 ekor sapi memerlukan ruang 3 m², dengan estimasi per ekor sapi menghasilkan 300 kg daging dan kebutuhan daging sapi per kapita per tahun 2,85 kg. Dengan hitungan tersebut, untuk mencukupi kebutuhan daging masyarakat Indonesia per tahunnya, hanya dibutuhkan luasan areal 7.695 km², tidak lebih dari 0,40% dari luas wilayah NKRI. Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Indonesia telah mengimpor daging sapi sebanyak 84.499 ton, selama Januari – Juni 2020. Pertanyaan berikutnya, masihkah harus impor daging sapi setiap tahunnya?
Negeri yang kabarnya gemah ripah loh jinawi ini, masih berkutat impor daging sapi untuk mencukupi konsumsi dalam negeri. Harga daging sapi juga tidak pernah sesuai dengan patokan terendah versi pemerintah. Harga dan jumlah impor daging sapi, bisa kita abaikan pembahasannya. Namun, secara filosofis muncul pertanyaan, apakah sarjana peternakan di Indonesia kurang dan enggan menjadi peternak? Serta apakah perhatian pemerintah masih lemah? Apakah teknologi penggemukan dan pakan ternak masih tertinggal, regulasi tata niaga apakah masih perlu dibenahi? Apakah kartel perdagangan masih mendominasi, tentunya solusinya yang kita cari, karena penyebabnya sudah bisa diduga.
Memang, tak perlu saling menyalahkan. Hal yang harus diperhatikan adalah Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam yang melimpah di negeri tercinta ini harus dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Mari saling bahu membahu, mencukupi kebutuhan dalam negeri dan selebihnya diekspor. Walhasil, negeri ini bukan lagi raksasa yang tidur, tapi raksasa pangan yang melimpah ruah hasil buminya.