Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan seorang tetangga dari gang sebelah, yang kemudian bercerita kalau sekarang tidak berjualan lagi karena kehabisan modal. Ya, saya mengenalnya sebagai figur yang penuh jasa sebagai penjual sayur-mayur untuk menyediakan kebutuhan harian orang-orang kompleks. Dan kelihatan berkembang usahanya dengan semakin membesarnya lapak dan jenis dagangannya. Namun setelah sekian lama, lima tahunan, akhirnya tidak bertahan. Usut punya usut, ternyata karena banyak diutang. Semakin banyak catatan, tetapi tidak ada pengembalian.
Sahabat lama saya yang tinggal di kota sebelah juga bernasib sama. Usaha kelontong yang dirintis sejak dini kandas juga. Awalnya juga penuh harap, maju pesat. Bahkan sempat menjadi kebanggaan dan andalan sebagai sumber penghidupan yang prospektif, cerah ke depan. Namun karena banyak yang berpartisipasi dan atas kebaikan budinya, akhirnya meredup. Dan tak lama kemudian tutup. Lagi-lagi karena gampang memberikan utang, karena enggak enak sama tetangga, sampai enggan menagihnya.
Lain lagi cerita kawan lama saya. Dalam pesan singkatnya ia terpaksa menceritakan salah satu tetangganya. Dengan modal kata maaf, dia bermaksud mengingatkan agar saya tidak menjadi korban berikutnya. Sebab sudah banyak korban dari si tetangga ini dari ulahnya dalam hal utang-piutang. Termasuk dia tentunya, walau dengan malu-malu mengungkapkannya. Masalahnya si tetangga ini sudah terkenal jago utang, susah bayar. Bergaya gali lubang tutup lubang, sebagai gaya hidupnya. Hampir semua kenalan terlibat dengannya, tak lain karena kepiawaiannya yang sudah teruji nyata; mengelabui korban. Dan saya, menurut teman saya, adalah prospek berikutnya. Berhati-hatilah.
Berbicara utang memang seperti buah simalakama. Tidak hanya di wilayah perseorangan, di tingkat korporasi, bahkan negara pun sama. Ada yang terlilit utang dan terancam bangkrut karenanya. Saat ini misalnya, perusahaan plat merah penerbangan terancam tutup dengan utang yang menggunung. Negara tercinta kita, hutangnya juga semakin menumpuk. Semakin besar dari waktu-ke waktu. Memang masih belum parah, tetapi sangat mengkhawatirkan. Bukan karena tidak ada kemampuan untuk membayar, tetapi lebih karena utang sudah menjadi semacam budaya. Tidak enak kalau tidak berutang. Malu rasanya kalau tidak berhutang. Utang adalah simbol status sosial. Sedihnya, hanya budaya utangnya saja yang tumbuh subur, tidak dengan melunasinya. Inilah gegar budaya itu.
Secara hukum tidak ada yang salah dengan utang, bahkan banyak sisi baiknya dalam menyeimbangkan roda kehidupan. Membantu yang lemah, menumbuhkan kedermawanan, tolong-menolong dan saling perhatian. Sayang dalam perjalanannya, tidak seindah aturan dan harapannya. Yang tadinya baik, didesain dengan baik, ujung-ujungnya menjadi berantakan karena penyalahgunaan. Pertikaian dan ketidakrukunan. Banyak yang masuk dalam perangkap jebakan hutang, lewat riba misalnya. Di lain pihak juga banyak pemodal yang suka membantu dengan jeratan utangnya. Kasih tega, alih-alih menolong. Saling-silang dan makan-memakan. Klop sudah.
Menyikapi hal ini, perlu rasanya menilik kembali teladan indah dalam hal utang-piutang. Semua perlu tahu seperti apa doa yang dilantunkan Rasulullah dalam hal ini. Dalam sebuah riwayat Aisyah menceritakan; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dalam masalah utang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari)
Itulah bahaya utang. Dengan dialog yang terang-benderang seperti ini, mari persiapkan diri sejak dini. Setidaknya sering-sering berdoa sebagaimana ajaran suci tadi. Walau tidak menghilangkan utang, dengan berdoa akan menambah kemashlahatannya, kebaikannya. Mungkin masih tetap berutang, tetapi diberi kemampuan untuk membayarnya. Sebab membayarnya ini yang wajib. Jika tidak, maka beberapa ancaman menanti, di antaranya; orang yang berhutang dan berniat tidak melunasi dihukumi sebagai pencuri. Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah)
Saya yakin tidak ada yang berniat seperti itu diawal mencari pinjaman, sebab tujuan utamanya adalah pemenuhan kebutuhan. Dalam perjalanannya sangat memungkinkan terjadi perubahan niat. Lagi-lagi karena desakan kebutuhan dan himpitan ekonomi.
Ancaman berikutnya terkait utang ini adalah dosa utang tidak terampuni walau mati syahid. Bahkan dulu Nabi memberi contoh sampai enggan menyalati mayit sampai utang dilunasi. Ini tidak main-main lagi. Mati syahid adalah mati yang paling utama, dambaan setiap insan. Ia prioritas untuk surga tertinggi. Namun ditunda gara-gara hutang. Salatnya Nabi adalah syafaat yang pasti, tapi begitu Nabi tidak menyalati, hilanglah syafaat itu. Berikut sandarannya; dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim)
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah salatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau menyalati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Salatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Salatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, salatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung utangnya.” Kemudian beliau pun menyalatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar. Beliau bersabda,“Salatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud)
Memang tidak boleh main-main perihal utang ini. Selain ancaman di atas, masalah menunda membayar utang saja termasuk penganiayaan. Naudzubillah min dzalik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ ْ
“Penundaan (pembayaran utang dari) seorang yang kaya adalah sebuah kelaliman. (HR Bukhari)
Hidup yang ideal memang hidup tanpa utang. Walau sulit rasanya, tetapi tak ada salahnya untuk mencoba. Simaklah wasiat Khalifah Umar bin Abdul Aziz berikut;
ﻭﺃﻭﺻﻴﻜﻢ ﺃﻥ ﻻ ﺗُﺪﺍﻳﻨﻮﺍ ﻭﻟﻮ ﻟﺒﺴﺘﻢ ﺍﻟﻌﺒﺎﺀ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪّﻳﻦ ﺫُﻝُّ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻫﻢ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ، ﻓﺪﻋﻮﻩ ﺗﺴﻠﻢ ﻟﻜﻢ ﺃﻗﺪﺍﺭﻛﻢ ﻭﺃﻋﺮﺍﺿﻜﻢ ﻭﺗﺒﻖ ﻟﻜﻢ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﺎ ﺑﻘﻴﺘﻢ
“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya utang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah-tengah manusia selama kalian hidup.”(Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid)
Jika sudah terlanjur berutang, ada peluang untuk memperbaikinya. Setidaknya dengan niat untuk segera melunasinya, tidak menunda sehingga turunlah pertolongan Allah, seperti yang diceritakan oleh Ummul Mukminin Maimunah.
كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».
Dulu Maimunah ingin berutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki utang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi utang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi utang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah)
Juga dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berutang (yang ingin melunasi utangnya) sampai dia melunasi utang tersebut selama utang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah)
Bahkan bisa mendapat predikat yang baik, dalam urusan bayar-membayar ini, walau tidak seluruhnya. Sikap seperti inilah yang diharapkan, menimbulkan hubungan baik antara orang yang berutang dan yang memberi utangan. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Bukhari)
Jadi, bila dirangkum jadi satu, tidak ada larangan untuk berutang. Jangan jadikan utang sebagai budaya. Ia hanya pintu darurat yang digunakan sesaat. Dan jika harus berutang, jadilah pengutang yang baik, sehingga turunlah rohmatal lil-alamin.
ajkk perkelingnya
Alhamdulillah… sangat bermanfaat.
Alhamdulillah Jazakallohu Khoiro mas atas artikel dan menjadikan Manfa’at dan Barokah.
Alhamdulillah jazaakallahu khoiro
Insya Allah artikel ini bermanfaat
Semoga Allah melunasi hutang kita semua dan mencukupi kebutuhan kita semua, aamiiin
Artikel yg sungguh bermanfaat
Sy banyak berutang, bgm untuk jadi pengutang yang baik ???
Alhamdulillah, semoga menambah ilmu saya.
semoga hutang2 kita lunas semua
minta izin untuk di share kan . Ajzkkh
Alhamdulillah jazakhallahu khoiro, semoga menambah faham, dan yg punya hutang segera diberikan jalan untuk melunasi nya.