Kalau kita cermati, hidup itu ternyata banyak tergantung pada masalah sikap. Artinya bagaimana kita menyikapi segala sesuatu yang berada dan datang kepada kita. Kalau kita menyikapi dengan posistif, maka positiflah hasilnya. Sebaliknya kalau kita menyikapi dengan negatif, maka negatiflah hasilnya. Para pakar leadership sering menyebutnya dengan respon. Bahasa mbah mannya persangkaan sebagaimana disebutkan, dalam hadits qudsi bahwa Allah berfirmah: Ana indza dhonni abdi bihi – Aku di sisi persangkaan hambaku dengan sikap itu.
Masalahnya, bagaimana kalau ternyata kenyataan tidak sesuai dengan keinginan kita? Kita membayangkan ketemu yang baik, kita sudah setting up mind kita dengan hal yang baik, ternyata malah ketemu yang menyulitkan. Ketemu dengan yang jelek, lagi membuat stress. Di luar dugaan. Disinilah letaknya tuntutan mempunyai kepandaian hati dan pikiran untuk membuat pembanding, sebagai respon atas situasi yang ada dan melanjutkan bibit sikap positif – husnudhon kita yang sudah kita tanam dari awal. Jangan malah membuat situasi layu sebelum berkembang. Sebab modal kita sudah positif. Situasi tak terduga merupakan pupuk husnudhon billah kita. Dengannya kita bisa tampil beda, maka akan lebih berdaya menghadapi manisnya hidup di dunia ini.
Ada bermacam cara respon yang diberikan terhadap situasi di atas. Namun ada satu hal yang paling mujarab guna menghadapinya, yaitu kelihaian mengambil pembanding yang tepat – nandes – agar hati dan pikiran kita terjaga, hidup diliputi sikap yang positif terus, serta benih husnudhon berkembang berbuah dan situasi menjadi terkendali. Artinya hidup kita selalu hasanah, selalu bahagia, yang kita nikamti setiap waktu. Tanpa terpengaruh situasi sekitar di luar diri kita. Salah mengambil pembanding, berbahaya akibatnya. Ingatlah falsafah untungnya wong jowo. Ketika terjadi suatu kecelakaan terus korbannya meninggal, sebagai ungkapan baiknya mereka bilang; untung mati, mungkin kalau hidup pasti nyusahin yang masih hidup dan cacat seumur – umur. Misal korban hidup, mereka juga berteriak untung. Katanya, untung gak mati, kalau mati panjang urusannya. Nyawa nggak ada yang jual. Pasti repot ngurus sana, ngurus sini. Jadi semua disikapi dengan hal yang positif – husnudhon – mental bersyukur yang dahsyat. Dunia tidak tersisa, kecuali baiknya.
Suatu hari, Nasrudin lari terbirit-birit menemui gurunya. Begitu bersua dengannya, dengan napas tersengal – sengal dan tanpa permisi ia langsung nerocos minta tolong; ”Tolong Guru, tolonglah saya. Rumah saya jadi neraka. Ada isteri cerewet, mertua yang banyak maunya, putera – puteri yang ribut serta sepupu – sepupu yang lari kesana – kemari. Apa pun yang Guru sarankan saya berjanji akan saya lakukan, asal nerakanya hilang, surganya datang”.
Yakin Nasrudin akan memenuhi janjinya, Gurunya pun bertanya; ”Apakah kamu punya binatang piaraan?”. Dengan satu tarikan nafas yang dalam Nasrudin menyebut ada tiga angsa, empat itik, lima bebek, enam ayam, tujuh kambing, delapan kelinci serta sembilan burung. Karena itu, sang Guru menyuruh Nasrudin memasukkan semua binatang piaraan itu ke dalam rumah. Dan juga semua manusia harus berada di dalam rumah, kemudian tutup pintu dan jendela rapat – rapat. Selama sebelas hari tidak boleh ada satu pun yang keluar dari rumah, baik itu manusia maupun binatang.
”Tapi, tapi, tapi…..”, sahut Nasrudin dengan nada gugup. Dengan sigap gurunya menjawab; ”Jangan lupa, tadi kamu sudah berjanji”. Dan terpaksalah Nasrudin kembali ke rumah untuk melaksanakan perintah Gurunya dalam rangka mendapatkan surga di rumahnya.
Sebelas hari kemudian, Nasrudin datang dengan langkah jauh lebih kacau dan lebih amburadul dari sebelumnya. Muka ditekuk dan langakah diseret. ”Tolong Guru, tolong, jangankan manusia, bahkan kambing pun sudah hampir gila sebelas hari terkurung di dalam rumah”. Dengan tersenyum bijaksana Gurunya berucap; ”Sekarang keluarkan semua binatang piaraan itu. Ajaklah semua anngota keluarga bergotong – royong dengan penuh kegembiraan. Bersihkan dan bereskan rumah kalian bersama – sama”.
Beberapa waktu kemudian selesai melaksanakan perintah Gurunya untuk bersih – bersih, Nasrudin mendatangi rumah Gurunya dengan wajah damai, tenang dan ceria. Dengan penuh keheningan dia berkata; ”Terima kasih Guru, sekarang rumahnya sudah jadi surga”.
Cerita di atas adalah gambaran bagaimana menyikapi kehidupan dengan mengambil pembanding yang tepat agar mendapatkan manfaat yang besar yaitu kebahagiaan karenanya. Dalam kata lain – mendapatkan surga dunia. Manusia dari dulu selalu punya masalah yang pelik dan susah, sehingga sebuah kehidupan, rumah tangga misalnya, bisa berubah menjadi neraka dunia bagi penghuninya. Untuk membuatnya jadi surga perlu pembanding, yang pada akhirnya bisa merubah sikap dari negatif ke positif. Kalau yang menjadi ukuran itu serba ke atas, lebih kaya, lebih cantik, lebih gagah, lebih tinggi, lebih terkenal, lebih bijaksana, dll, maka kunci surga kebahagiaan tak akan pernah terbuka. Bahkan semakin terkunci rapat. Akan tetapi jika, pembandingnya itu yang serba ke bawah, lebih rendah, maka pintu – pintu kebahagiaan dengan sendirinya terbuka lebar. Dalam lelucon di atas, untuk membuka pintu kesadaran manusia dipersamakan dengan hewan piaraan. Inilah maksud mengambil pembanding itu.
Salah satu resep yang diberikan Rasulullah SAW dalam masalah dunia adalah lihatlah kepada orang yang lebih bawah, jangan melihat orang yang lebih atas. Namun banyak orang yang sulit untuk hanya sekedar menundukkan kepala, melihat ke bawah. Mungkin karena kepala letaknya ada di atas. Bayangkan seandainya kepala itu ada di bawah, tentu tidak susah bagi kita untuk melihat ke bawah. Sayang yang ada di bawah hanya mata kaki, yang tidak bisa melihat apa – apa lagi.
Jadi, kalau kita bisa sabar dan banyak syukur dalam hidup ini, maka surga kebahagiaan dunia yang tampak. Sebaliknya jika, kita selalu mengeluh dan merasa kurang terus, maka tampaklah neraka dunia sepanjang mata memandang dan kepala berpaling. Nah, jika situasi terakhir ini yang terjadi, apa bedanya manuisa dengan binatang…? Pertanyaan yang tak perlu dijawab.
oleh: Faizunal Abdillah