Dalam jangka waktu yang singkat, serentetan bencana telah menyinggahi saudara – saudara kita. Gempa dahsyat di Jawa Barat, kemudian disusul gempa hebat di Padang, Sumatera Barat dan gempa berikutnya di kaki Kerinci. Semuanya menelan korban harta, benda dan nyawa. Semuanya meninggalkan cerita, tangis duka dan derita. Kejadian yang tidak bisa diduga dan tidak bisa disangka. Hanya sekejap dan meluluh -lantakkan segalanya. Dalam hitungan detik dan menit. Namun mampu menghancurkan berbagai bangunan yang dibangun berlama – lama oleh anak manusia. Itulah dahsyatnya kuasa Allah Yang Maha Perkasa. Siapa mampu mencegahnya? Apakah ada yang merasa aman dari KuasaNya?
Dalam ketermenungan hati ini, bait – bait puisi Rendra selalu memenuhi biduk benak kepala saya. Saya mau, saya ingin, berhasrat bahwa,
………. keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku".
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
Sengaja saya kutip Makna Sebuah Titipan ini, untuk mewakili perasaan saya. Setidaknya itulah perasaan hati ini seketika. Spontan ketika mendengar gempa dan selamat darinya. Mungkin juga kebanyakan manusia. Ya, saya tidak menampik bahwa terkadang memang pernah demikian. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, banyak pemahaman-pemahaman yang akhirnya memberikan pencerahan kepada batin saya bahwa itu perlu dikoreksi kembali. Tidak demikian adanya, sebab setelah menjadi orang iman, beribadah, tahu dalil, ngaji tentu akan terjawab semua keluh kesah dan keraguan hidup ini. Begitulah hati, mbolak-mbalik dan iman yang naik-turun.
Seandainya tidak ada saudara kita yang ikut tertimpa gempa, mungkin kita sepakat mengatakan kalau itu merupakan siksa. Namun berhubung ada juga saudara kita yang tertimpa, maka kita katakan itu sebagai musibah. Toh, kita mendapatkan pencerahan yang jelas dari para penasehat bahwa gempa itu sebagai siksa untuk orang kafir, sedangkan bagi orang iman itu sebagai musibah. Benarkah?
Apapun namanya, apapun bentuknya, yang namanya musibah itu tidak mengenakkan. Dan walaupun kita tidak tertimpa bencana tersebut, namun biasanya kita juga kena imbasnya besar maupun kecil. Sebenarnya ada kerancuan pemahaman (dibenak saya); kapan kita mengatakan bencana itu musibah dan kapan kita mengatakan itu sebagai siksa. Hal ini terkait dengan keberadaan kita dengan masyarakat luas – di sekitar kita. Sebab kita akan gampang mengatakan itu sebagai siksa, bencana, hukuman dan apapun yang bersifat jelek, jika kejadian itu tidak menimpa kita. Sebaliknya jika itu menimpa kita, maka kita tidak serta merta mengatakan hal yang sama bukan?
Mari kita simak lagi surat Fathir ayat 45, Allah berfirman; ”Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya/aniayanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”
Ayat tersebut setidaknya mengingatkan kita bahwa Allah tidak akan menyiksa lagi hambanya di dunia ini secara langsung jika melanggar hukum-hukum-Nya, melainkan menunggu sampai nanti setelah mati. Maka kemudian Allah berfirman dalam surat Asy-syura ayat 30, ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Jadi, kedua ayat ini klop – saling melengkapi. Artinya menerangkan bahwa bencana yang terjadi itu sebab ulah manusia sendiri, seperti banjir bandang dan tanah longsor sebab hutannya digunduli. Kecelakaan kereta api sebab masinisnya ngantuk. Kapal tenggelam karena perawatannya tidak memenuhi standar. Lumpur panas nongol sebab SOP-nya dilanggar, dsb. Tapi bagaimana dengan bencana Alam? Itu adalah sunnatullah – hukum Allah. Sesuatu yang telah digariskan oleh Allah akan terjadi. Maksudnya bukan sebagai suatu siksaan karena ulah hamba yang menentangNya. Sebab Allah sudah berjanji sesuai ayat di atas. Dan tidak pilih kasih, baik ada orang iman atau tidak di dalamnya. Coba kita simak surat Anfaal ayat 33: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.
Dengan ayat – ayat ini semoga menjadi tambah jelas dan tambah luas kolam pemahaman kita. Maka, jika ada orang yang mengatakan kalau bencana itu sebagai peringatan dari Yang Kuasa, kita bisa mengiyakan. Kalau ada orang yang mengatakan gempa itu sebagai siksa, kita bisa menerima. Atau seperti kata Ebiet, bahwa bencana adalah tanda kalau Tuhan telah bosan melihat tingkah kita, dengan seraya kita menganggukinya. Pun kalau ada yang berkata kalau itu tandanya Allah murka, kita pun menyetujuinya. Kalau ada yang mengatakan lindu itu sebagai mushibah, kita bisa memahaminya. Apapun kata orang, kita bisa mengartikan dan mendudukkan pada tempatnya. Yang terpenting, semuanya itu berarti bagi diri masing – masing sebagai jalan pintas untuk mendekatkan diri – taqorrub – pada Yang Maha Kuasa dan berbuat baik semata pada sesama. Semua sah sesuai dengan cara pandang dan tingkat pemahaman ilmunya masing – masing. Sebab dibalik semua bencana itu, ada berkah yang tersimpan di dalamnya. Ada rahasia Allah yang akan terbuka bagi umat manusia. Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Dalam sekejap saya teringat syair pujian di masjid kampung saya. Para fatayat sering mengumandangkan bait pujian berikut ini:
Bumine goyang – bumine goyang, arane lindu
Ora sembahyang – ora sembahyang bakale wudu.
(Ketika bumi bergoncang, itulah yang namanya gempa
Ketika orang tidak sembahyang, rugilah akhirnya)
Bagi yang belum bisa memahami uniknya dinamika hidup ini, masih ada waktu untuk memperbaiki perspektifnya, sehingga menjadi manusia yang utama – pol – jembar wawasannya, baik dalam bertindak maupun bertutur kata di atas cakrawala kehidupan ini. Jangan serta merta kita gembira jika bencana itu tidak menimpa kita atau saudara kita dan mengatakan itu siksa. Namun gunakanlah itu sebagai introspeksi, motivator peningkatan ibadah kita, seraya istirja jika perlu atau berdoa – yaitu doa ketika melihat orang dicoba. Dan yang paling penting representasikanlah rasa empati kita dalam wujud yang sebenarnya. Jangan hanya bilang kasihan, tetapi tak berbuat apa – apa.
Oleh :Faizunal Abdillah