Oleh Faizunal A. Abdillah, Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Sebelum matahari masuk ke peraduan, saya sempatkan singgah ke rumah Sang Guru Bijak. Selain untuk melepas rindu, juga rehat sejenak dari hiruk-pikuk dunia. Saat itu, waktu maghrib telah tiba, sembahyang terasa begitu nikmat, ibadah begitu indah melekat. Mungkin juga karena suasana dan lingkungan, yang indah, asri, dengan udara sejuk yang mengiringi. Dan dalam rangka ribath (menyambung), kami bercengkerama setelahnya; watawashau bilhaq, watawashau bish-shobr.
“Gak buru-buru kan, mari ngeteh sejenak,” begitu pinta Sang Guru Bijak mulai bicara. Sambil mempersilahkan saya minum, Sang Bijak mengangkat sisa gelas minuman yang telah direguknya dan berkata; “Kira-kira berapa ya, berat gelas ini?” Sambil melirik dan menerka isi gelas yang tinggal ¼-nya dari 200 ml volumenya, saya menimpali dengan berkata; “Entahlah, kira-kira 50 gram, paling banter 75 gram. Untuk pasnya kita harus menimbangnya.”
“Betul, kita takkan tahu jika tak menimbangnya. Yang jelas ini ringan. Tapi apa jadinya kalau saya mengangkat gelas ini selama 1 menit?” lanjutnya. Sambil tersenyum saya berkata; “Tidak akan terjadi apa-apa. Saya yakin itu.” Sang Guru Bijak melanjutkan, “Kalau saya mengangkatnya selama 1 jam terus-terusan?” “Wah, kalau itu akan bisa menyebabkan tangan Anda kelelahan dan mungkin keram, walau itu ringan.”
“Bagaimana kalau aku mengangkatnya seharian?” tanya sang bijak mengejar jawaban. Saya seperti diingatkan acara Metro TV Touch the Car; “Entahlah, mungkin tangan itu akan terus mati rasa, beberapa otot akan kejang dan jika tidak beruntung bisa jadi sebab kelumpuhan. Dan bila keterusan bahkan harus dibawa ke rumah sakit.” Sang Guru Bijak tertawa mendengar jawaban itu, kemudian ia berkata; “Betul sekali, lantas apakah berat gelas ini akan berubah?” “Tidak,” jawabku tegas. “Lalu, kenapa bisa jadi berat? Dan apa yang harus dilakukan supaya hal-hal di atas tak perlu terjadi?” Sang Guru Bijak terus bertanya. “Jangan lupa untuk meletakkan gelasnya dan istirahat,” jawabku sekenanya. “Persis, jangan mengangkat gelasnya terlalu lama dan terus-menerus,” kata Sang Guru Bijak menegaskan.
Sambil meletakkan gelas yang dipegangnya, Sang Guru Bijak melanjutkan pituturnya; “Itulah gambaran masalah kehidupan ini, semakin lama kita bawa, semakin lama kita akan terbebani. Semakin lama memanggulnya, semakin menderita pula kita pada akhirnya. Bobot masalah takkan berubah sedikitpun, walau kita begitu lama dan dalam memikirkannya.” Sambil menerawang jauh dia melanjutkan; “Benar bahwa setiap masalah memang harus difikirkan untuk dicari solusinya, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita mempercayakan semua pada Allah, bahwa ditanganNya lah segala kuasa. Usaha dan doa hanya sebagai sebab. Semua akibat ada di tanganNya. Dia yang mengatur alam semesta, menjaga keseimbangan langit dan bumi, sangat mustahil, jika Dia lupa memberi kita jalan keluar.”
Saya terus memperhatikan dengan seksama. Kemudian Sang Guru Bijak menyitir Surat Al-Ankabut ayat 10,
وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يَّقُوۡلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ فَاِذَاۤ اُوۡذِىَ فِى اللّٰهِ جَعَلَ فِتۡنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللّٰهِؕ وَلَٮِٕنۡ جَآءَ نَـصۡرٌ مِّنۡ رَّبِّكَ لَيَـقُوۡلُنَّ اِنَّا كُنَّا مَعَكُمۡؕ اَوَلَـيۡسَ اللّٰهُ بِاَعۡلَمَ بِمَا فِىۡ صُدُوۡرِ الۡعٰلَمِيۡنَ
“Dan sebagian manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu seperti azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semesta alam?”
Ketenangan hati adalah bukti kuatnya iman, sebaliknya kita harus hati-hati saat dilanda terlalu banyak kegelisahan. Jangan terus dibawa-bawa, sebab itu menjadikan seolah masalah kita membesar dan jadi sangat besar, hingga merasa sebagai manusia paling menderita. Karena bisa jadi saat itu iman kita berada di titik nadir hingga syaithan leluasa menggoda. Dalam menghadapi setiap masalah, jangan sampai mengeluh: “Oh God, I have a big problem (Ya Allah saya punya masalah besar)” Tapi, rehatlah sejenak dan katakanlah; “Hey problem, I have a big God. (Hey masalah, aku punya Tuhan Yang Maha Besar) Segala urusan berasal dariNya dan akan ada jalan keluar juga dariNya. Hiduplah dengan semangat pemburu, yaitu pemburu surga, bukan pemburu rente. Niscaya takkan ada masalah yang terlalu berat terasa.”
عَنْ كُلَيْبِ بْنِ حَزْنٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : يَا قَوْمِ اطْلُبُوا الْجَنَّةَ جَهْدَكُمْ ، وَاهْرُبُوا مِنَ النَّارِ جَهْدَكُمْ ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ لَا يَنَامُ طَالِبُهَا ، وَإِنَّ النَّارَ لَا يَنَامُ هَارِبُهَا ، أَلَا إِنَّ الْآخِرَةَ الْيَوْمَ مُحَفَّفَةٌ بِالْمَكَارِهِ ، وَإِنَّ الدُّنْيَا مُحَفَّفَةٌ بِالشَّهَوَاتِ
Dari Kulaib bin Hazn. Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai kaumku, kejarlah surga dengan segala daya upaya kalian dan hindarilah neraka dengan semua kekuatan kalian. Sesungguhnya pencari surga itu tidak tidur. Demikian pula dengan neraka: orang yang ingin terhindar darinya juga tidak tidur. Ingatlah, bahwa surga itu dikelilingi berbagai hal yang tak disukai, sedangkan neraka dikitari berbagai keenakan dan kenikmatan yang menggoda.” (Rowahut-Tirmidzi)
Adzan berkumandang, dan acara lepas-kangen itupun terhadang. Seolah mengobati kerinduan mendalam akan masalah-masalah yang terjadi. Pencerahan itu tiba tanpa diminta, tanpa dijanji. Laksana rejeki. Allahumma alhimni rusydi, wa’aidzni min syarri nafsi.
Masya Alloh
Betul sekali cerita sang guru , sangat bermanfaat bagi kami ,karena setiap manusia tidak terlepas dari masalah , kepada sang guru bijak dan pemerhati LDII
Terima kasih , di tunggu cerita bijak berikutnya
Alhamdulillah jaza kumullohuhoiroh
Saya penggemar artikel yg d isi oleh faizunal d majalah nuansa
Masya Allah. Benar benar betul nasihat di atas. Semoga kita diberi ketenangan dalam menghadapi cobaan, kesabaran menyelesaikan permasalah, ilham yang baik di setiap saat, dan diberi kebarokahan yang sentiasa meningkat. Semoga Allah memberi aman, selamat, lancar, dan barokah. Amiin