LINES (10/11) – Sumenep sebuah wilayah di ujung pulau Madura, Jawa Timur merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari 126 pulau. Sebagian penduduknya hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan tambak garam. Meskipun memiliki lahan yang subur, sebagian besar petani di Sumenep hidup dalam kemiskinan termasuk di Desa Paberesan. Hal ini yang jadi pemikiran H. Abdurrahman, yang merupakan pendidik sekaligus petani.
“Disini ekonominya konsistra, akibat masyarakat meminjam uang berbunga kepada orang yang mempunyai modal. Masyarakat disini juga menjual panennya sebelum panen dengan harga murah, atau disebut praktek ijon. Ini sangat tidak membantu masyarakat,” ujar Abdurrahman, Ketua Kelompok Tani (Poktan) Sumber hasil 313.
Ia menemukan petani di desanya miskin karena praktek riba. Saat mulai menanam dan memelihara padi, mereka berhutang kepada rentenir dan saat panen tiba, terjadi praktek ijon. Selain itu produktivitas petani di desanya juga tidak pernah beranjak naik. Panen yang dihasilkan hanya berkisar 4-5 ton per hektar.
Abdurrahman punya solusi. Ia menggagas koperasi simpan pinjam syariah yang memungkinkan petani meminjam tanpa bunga. Tentu pemikirannya itu menemui banyak tantangan baik itu dari rentenir maupun para petani sendiri. Namun banyak pula yang mendukung idenya itu.
Dari serangkaian pertemuan dengan para tokoh masyarakat, akhirnya terbentuk Poktan Sumber Hasil pada 23 Maret 2006. Abdurrahman ditunjuk sebagai Ketua, Hosma SP ditunjuk sebagai Sekretaris, serta Kodariono ditunjuk sebagai Bendahara dalam kelompok tani tersebut.
“Pada awalnya, anggota kami ada 27 orang. Modal awal kami 27 ribu rupiah. Sekarang sudah berkembang anggotanya menjadi 50 orang dan sampai sekarang ini kas terakhir kami sebesar 200 juta,” ujar Abdurrahman.
Ide Abdurrahman berjalan dengan baik, setiap petani yang meminjam uang untuk menanam padi atau membeli pupuk tidak dibebani bunga dan hutang dilunasi saat panen tiba.
“Saya menghutangkan pupuk pada petani. Saya beli di kios seharga 70 ribu rupiah. Petani bisa mengambil pupuknya lebih dulu, jika sudah panen petani harus membayar 75 ribu rupiah. Jadi ada keuntungan 5 ribu, inilah keuntungan anggota,” kata Abdurrahman menjelaskan.
Usai memenuhi sistem modal petani, fokus Abdurrahman tertuju pada peningkatan hasil panen dan manajemen pertanian. Ia bekerjasama dengan dinas pertanian dan Asosiasi Bank Bumi Tani Indonesia (AB2TI) serta berbagai lembaga lainnya.
“Jika ingin mengembalikan pinjaman, jangan menjual beras pada saya. Jadi beras dijual lebih dulu kepada kelompok dalam bentuk gabah agar dapat disimpan di gudang atau lumbung pangan untuk persediaan saat paceklik. Kalau harga jual saat panen harganya 700 ribu, maka harga jualnya menjadi 1,1 juta rupiah per kuintalnya. Selisih keuntungannya itu milik kumpulan poktan,” Abdurrahman mengatakan.
Selain itu, Poktan Sumber Hasil 313, juga mendirikan kelompok klinik Pengaduan Hemat Terpadu (PHT). Keberadaan ini juga sangat membantu petani menanggulangi hama dan penyakit tanaman.
“Klinik ini merupakan sarana bagi petani untuk mengatasi permasalahan di lahan pertanian. Karena sejak awal untuk mendapatkan solusi itu berasal dari pengalamannya sendiri, lingkungan atau dari masyarakat sekitar. Terkadang mereka keliru memberikan pestisida yang membuat permasalahan di lahan pertanian mereka tidak kunjung selesai,” ujar Kodariono, pendiri Poktan Sumber Hasil 313.
Kehadiran Poktan Sumber Hasil 313, mampu meningkatkan kesejahteraan petani di desa Paberasan. Setiap kali panen mampu menghasilkan padi 7,5 ton hingga 9 ton per hektar. Kerja keras Abdurrahman dan Poktan Sumber Hasil 313 berbuah manis. Berbagai penghargaan mereka dapatkan baik ditingkat provinsi maupun nasional.
Abdurahman merupakan sosok warga LDII yang jadi teladan bagi masyarakat di kampungnya. Baginya seorang muslim belum menjadi seorang muslim sejati bila belum bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya, sebagaimana Islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta.(laras/lines)