Dahulu, salah seorang tabi’in pernah berkata, “Sungguh, jika tiada sepertiga malam terakhir, aku tidak betah hidup di dunia ini”. Petuah yang indah. Ia benar-benar mereguk kenikmatan tiada tara saat berkhalwat (berduaan) dengan Tuhannya – lewat jalan bangun malam. Jaman bukan lagi halangan. Dunia hanyalah sementara.
Di sini, saat ini, seorang anak manusia berkata; “Sungguh, betapa inginnya diriku untuk bisa bangun malam, mumpung masih ada waktu di dunia ini.” Keinginan ‘meniru’ yang menggantung. Di tengah asa dan usaha yang terus membumbung. Berkelindan di ombang – ambing derasnya arus jaman. Di mana gelap malam dan siang hampir tak ada bedanya. Inilah tipuan dunia. Kesenangan yang membujuk. Walau niatnya patut diapresiasi. Akankah asa pada puncaknya?
Suatu ketika ada sekelompok sahabat yang telah mengalami kehausan karena kehabisan minuman dalam perjalanan safar berhari-hari. Ketika mereka menemukan sebuah sumber air, segera mereka minum dan membasahi muka sepuas-puasnya. Namun ada seorang sahabat yang justru ketika ia akan mengambil air, ia malahan menangis sesenggukan. Sahabat lain pun bertanya, “Mengapa engkau menangis, padahal Allah memberikanmu minuman pada saat kehausan?”.
Sahabat tersebut berkata, “Ketika aku membaca doa “Allahumma bariklana fii maa razaqtana waqina adzabannaar”, terbayang olehku penduduk neraka yang lebih haus dariku, namun diharamkan padanya meminum air sedikit pun. Firman Allah: “Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (QS. Al-A’raaf: 50).
Subhanallah, sahabat tersebut mampu menangkap hakikat kalimat “waqina adzabannar” dalam doa mau makan dan minum. Kenapa? Karena ia selalu berdzikir mengingat Allah setiap waktu. Persis seperti Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang duduk dalam suatu tempat, lalu di situ ia tak berdzikir kepada Allah, maka kelak ia akan mendapat kerugian dan penyesalan”. (HR Abu Dawud).
Masyaa’ Allah – saat ini, di sini, di jaman ini, jangankan mengingat neraka. Banyak anak manusia yang makan dan minum bahkan tanpa berdoa. Di atas kelimpahan itu, ada kepongahan. Di tengah kemudahan itu, ternyata melenakan. Gembelengan. Bahkan tak jarang yang memakai tangan kirinya. Gaya – gayaan dan sok – sokan.
Diriwayatkan bahwa Haritsah RA berkata kepada Rasulullah SAW, “Pagi ini, saya menjadi mukmin yang sebenarnya”. Beliau berkata kepadanya, “Seorang Mukmin yang benar itu memiliki hakikat. Lantas apa hakikat dari keimananmu?” Ia menjawab, “Saya jauhkan diriku dari dunia, hingga di mataku batu dan permata terlihat sama….”
Batu dan permata sama? Perumpamaan yang indah. Mirip cerita Abah (alm) yang methithi dengan wasiatnya agar melanggengkan bangun malam. Suatu ketika dia menggambarkan, saking nikmatnya bangun malam sehingga merasakan dunia seperti tai (kotoran manusia) – uang laksana larahan (sampah dedaunan). Saking khusyu’nya dalam beribadah. Saking tekunnya dalam bangun malam.
Di sudut lain kehidupan berkisah, sebagai gambaran kebanyak dari anak manusia, yang terpikat dengan dunia. Hasilnya, menjauhkan mereka dari bangun malam. Pun dunia tetap tidak kebagian.
Dikisahkan, seorang guru sedang bermeditasi di tepi sungai kehidupan ketika seorang murid membungkuk dan meletakkan dua butir mutiara indah di depan kakinya. Tanda hormat dan baktinya. Guru itu membuka matanya, mengangkat salah satu butir mutiara itu dan memegangnya sembarangan, sehingga mutiara itu jatuh dan menggelinding masuk ke dalam sungai. Murid itu menjadi cemas dan segera meloncat masuk ke dalam sungai. Akan tetapi meskipun ia berkali-kali menyelam sampai malam, ia tidak berhasil menemukannya. Akhirnya dengan pakaian basah kuyup dan badan lelah, ia membangunkan guru dari meditasinya, “Maaf Guru. Sekali lagi maaf. Guru tahu di mana mutiara itu jatuh. Tunjukkanlah tempatnya supaya saya dapat mengambilnya lagi dan mengembalikannya kepada guru.” Guru itu mengangkat mutiara yang lain, melemparkannya ke dalam sungai dan berkata, “Di situ!”
Di jamannya dan di saat kini, kebanyakan anak manusia mencoba memiliki harta – benda. Padahal benda tidak dapat sungguh-sungguh dimiliki. Oleh karena itu, yang penting dipahami, pastikanlah bahwa kita tidak dimiliki oleh benda-benda itu.
Kemudian hadits itu berlanjut:
“… Saya seakan-akan melihat singgasana Tuhanku tampak nyata. Saya seakan-akan melihat penduduk surga bersenang-senang di dalam surga dan penduduk neraka disiksa di dalam neraka.” Beliau SAW berkata, “Hai Haritsah, kamu telah mengetahuinya. Karena itu, istiqomahlah”. Kelanggengan beramal.
Dan anak manusia itu harus memulainya. Dari mana? Dari yang kecil. Dari hal yang kecil. Terus dan terus. Sedikit demi sedikit. Seperti meniti titah Nabi SAW yang satu ini. Dari Abu Hurairah RA disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah bersabda, ‘Aku menuruti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Kalau ia mengingat-Ku dalam hati, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Kalau ia mengingat-Ku di tengah kerumunan orang, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik daripada mereka. Kalau ia mendekat diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun mendekatkan diri kepadanya sehasta. Kalau ia mendekatkan diri pada-Ku sehasta. Aku pun akan mendekatkan diri kepadanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil”.
Dan yakinlah wahai anak manusia, dalil di atas masih berlaku di kelindan jaman apa saja.
Oleh : Faizunal Abdillah