Saya merasa beruntung bin syukur, tinggal di kampung, walau anak saya sering bingung dan bertanya, “Kita ini tinggal di desa apa di kota sih Pak?” Dengan gaya politisi, saya selalu jawab begini; “Kalau kota itu tak ada jalan yang berlubang, apalagi becek. Sedangkan di desa itu cirinya jalannya berlubang dan becek. Nah, sekarang perhatikanlah jalan di sekitar rumah kita?” Kulihat dahinya berkerut, wajahnya berubah demi menemukan dan menyimpulkan jawabannya. Tapi saya yakin dia telah mengerti maksud saya bahwa dia tidak tinggal di kota tapi di desa alias kampung.
Alhamdulillah Allah paring, saya tinggal di atas sebidang tanah di sebuah desa di pinggiran BSD City – yang masih beradu pantat dengan kebun dan persawahan. Bahkan semak, ilalang dan lahan tidur serta belukar berserak di mana – mana, di sekitar mata memandang. Kesyukuran itu mengemuka begitu saja, mengalahkan kekurangan lain yang mungkin banyak orang keluhkan: buat apa sih tinggal di kampung seperti itu? Karena setiap senja tiba, selalu saja terdengar berisik binatang malam bersahutan. Ada jangkrik ngerik, kodok ngorek, walang kekek, suara belalang, kicau burung hantu yang menakutkan, suara burung gagak yang menyeramkan dan suara lain yang begitu mengharukan menyambut datangnya malam. Saya yakin semua itu tidak akan didengar oleh orang – orang yang tinggal di kota. Mereka hanya mendengar deru kendaraan dari waktu ke waktu. Tidak siang, tidak malam, sebagai pengganti indahnya suara binatang di waktu malam seperti tempat saya tinggal. Karena binatang – binatang malam itu sudah terusir dari habitat perkotaan. Kalaupun ada, suaranya nyaris kalah dengan bunyi deru knalpot dan klakson kendaraan atau tetabuhan lainnya.
Kesunyian dan keheningan sering membawa saya semakin larut menikmati kemegahan malam, berpadu – padan dengan indahnya paduan suara itu. Semakin diperhatikan semakin asik. Semakin lama mendengarkan semakin terkesan. Orkestranya tiada tara. Koornya tak ada matinya. Semakin disimak semakin nikmat. Seolah ada yang memberi komando untuk tidak berebut dan saling – silang. Tapi saling mengisi dan berbagi. Akur di jalur dan rolenya masing – masing. Menyentuh kalbu. Menggiring lubuk hati kecilku merintih seraya berbisik; dengarlah suara itu, seolah gelombang tasbih yang berkejar – kejaran, bukan? Habis satu menyusul yang satunya lagi. Terus begitu. Berderu – deru. Bersahut- sahutan. Tiada ujungnya. Gemuruh, membahana, seakan mengajak mengingat Yang Maha Kuasa. Dan saya terkesan lebih dalam lagi begitu mengingat ayat Allah dalam Surat al-Israa’ ayat 44. Subhaanallah, saya memekik dalam diam dan menahan nafas yang panjang.
Allah berfirman; “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Inilah salah satu tafsir ayat itu. Pembelajaran yang tiada tara. Berkah yang tiada bandingnya. Binatang – binatang malam itu sungguh telah bertasbih kepada Allah, dengan bahasa mereka yang saya tak tahu. Binatang –binatang kecil itu sungguh telah menyebut nama Allah sepanjang waktu. Padahal, mereka tidak diberi surga. Binatang – binatang itu bertasbih sepanjang malam, dari gelap senja sampai terang fajar tiba. Luar biasa. Tiada henti, kecuali ada yang mengganggunya. Tak kenal lelah, bagaimana pun keadaannya. Tak pernah bosan, setiap malam melakukannya. Tidak merasa capek. Apalagi lesu. Konstan begitu dari awal hingga selesai. Padahal mereka tidak pernah diancam dengan neraka. Mereka semua hanya bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya di dunia ini. Padahal, itu cuma sedikit. Bersyukur diberi kesempatan hidup sekali di dunia ini. Padahal itu cuma sebentar. Seumur jagung, orang bilang. Namun kesyukurannya luar biasa. Dahsyat. Bersyukur atas rejeki yang diterima siang tadi. Dan saat hari berganti malam segera bertasbih memenuhi ruang dan waktu dengan riang. Gelap malam seolah sebuah penantian penuh pengharapan yang sangat dinantikan dan mengasyikkan buat mereka. Waktu yang ditunggu – tunggu. Seakan tak terpisahkan dengan kelamnya malam. Semakin gelap semakin mendalam. Semakin dingin, semakin menjadi. Tiada pernah ada yang mau ketinggalan.
Dan Allah menegaskan lagi di ayat lain: “Tidaklah kamu tahu Muhammad bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Surat an-Nuur:41)
Fenomena ini, semakin membuat saya merasa ciut, kerdil dan kecil. Semua ini semakin membuat saya tak berarti di hadapan makhluk – makhluk mungil itu. Apalagi di hadapanNya. Malu. Semakin tersipu. Kalah sama kodok, kalah sama belalang, kalah sama jangkrik dan kalah sama binatang malam lainnya. Mereka telah mengalahkan dan merendahkan jiwa saya serendah – rendahnya dalam hal ibadah malam. Hina – dina. Bagaimana tidak? Manusia diberi pengharapan berupa surga. Manusia diberi ancaman yaitu neraka. Manusia diberi kefadholan dengan dilipat-gandakan amalan baiknya. Manusia diberi umur melebihi mereka. Manusia diberi rejeki lebih banyak dari mereka. Akan tetapi, tak kuasa menghidupkan dan menghidup – hidupkan malamnya untuk bertasbih kepadaNya; istighfar, berdoa, sholat dan atau dzikir – dzikir lainnya. Secara mengepolkan syukur atas nikmatNya seperti yang diisyaratkan Nabi SAW: afalaa akuunu abdan syakuuron. Namun lebih banyak tidur dan tidur, ketika malam tiba. Kalau tidak, biasanya malah nglembur. Mengejar kerjaan yang belum kelar. Mengejar setoran. Atau perbuatan sia – sia lainnya. Maka tak heran orang – orang sholeh jaman dulu, para sahabat dan Nabi Muhammad SAW selalu mengingatkan dalam bentuk keheranan dan sindiran yang nandes seperti ini, “Saya tidak melihat seperti neraka yang tidur orang yang lari darinya. Dan saya tidak melihat seperti surga, tidur orang yang mencarinya. [1]” (K. S. Jannah wan Naar halaman 44 – 45). Kita adalah pencari surga, penghindar neraka bukan? Kita mau surga, tolak neraka, bukan? Tetapi kita tidak bisa mengatur malam dengan bijaksana. Kita tidak bisa tidur dengan seksama, penuh kegunaan dan tepat sasaran. Lebih banyak tidur daripada terjaganya. Padahal, yang diminta Allah hanya sebentar saja. Cukup 1/3 malam saja. Tak lebih. Itu sudah cukup. Dan kenyataannya, itu banyak yang belum bisa memenuhinya. Banyak jiwa yang terlalaikan.
Menerawang kembali kesejatian kita, bahwa hidup adalah untuk beribadah, maka sudah sepatutnya kita merasa malu jika tidak bisa beribadah di waktu malam. Menilik kembali jalan menuju surga selamat dari neraka, yang penuh onak dan duri di sepanjang jalannya, maka sudah selayaknya diri berhias sholat malam, doa malam sebagai bea untuk melapangkan jalannya. Meretas kembali tujuan hidup mulia mati masuk surga, maka perlu perubahan mendasar pada diri ini semata. Kemuliaan adalah milik Allah dan RasulNya. Kemuliaan adalah di bangun malam. Memupuk asa menjadi hamba yang bertakwa, rasanya perlu perjuangan dan kesungguhan dari sekarang untuk memeperbaiki hidup sebelum ajal menjemput. Dan bangun malam adalah solusinya. Kita tak perlu malu belajar dari makhluk – makhluk kecil itu. Kita tak perlu mencibir. Justru kita harus berkawan dan bersanding dengan mereka untuk berdzikir menghidupkan malam. Dan untuk mengetuk hati yang bebal lagi bengak dan sombong ini dari bangun malam, coba mulai sekarang dengarkanlah malam. Berkawanlah dengannya. Pasang kuping yang tajam, buka mata yang lebar, semai rasa yang mendalam mengikuti irama malam. Temukan tanda – tanda kebesaran Allah di dalamnya. Agar kita tersadar bahwa apa yang kita lakukan belum apa – apa dibanding apa yang Allah telah berikan kepada kita. Dan belum seberapa dibanding makhluk kecil yang begadang semalaman memujiNya. Sebab Allah telah begitu loma [2] – menggelar tanda kebesaranNya ketika datang malam, agar memampukan setiap insan untuk bangun di sebagian malam. Suara – suara itu, pekik – pekik itu, alunan – alunan itu. Semua penuh arti. Sayang seribu sayang, banyak di antara kita yang mengabaikannya. Tutup telinga, tutup hidung, tutup mata, tutup mulut, bahkan tutup indera lainnya. Tak mau memperhatikan, tak sudi mencermati, walau hanya sejenak saja. Maka di kesempatan yang baik kali ini, dengan kerendahan hati dan kepasrahan yang dalam saya kembali mengajak instrospeksi. Temukan hal yang bisa memacu diri untuk bangun malam. Apa saja itu di sekeliling kita. Dan setidaknya tulisan ini bisa menjadi sedikit bahan renungan. Pikirkanlah teman !!! Think it man !!!
Oleh: Ustadz.Faizunal.Abdillah
Belajar untuk selalu memperbaiki diri sebagai wujud menunaikan hakikinya hidup. جزا ك الله خيرا atas nasehatnya.