Jakarta (9/5). Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan mengatakan, pihaknya berencana menggandeng pemuka agama dan ormas untuk mensosialisasikan kampanye anti SARA dan politik uang dalam Pilkada 2018. Menurut Abhan, rencana tersebut telah direalisasikan dengan kedatangan DPP LDII ke kantornya.
Abhan menuturkan, informasi anti politik SARA dan politik uang akan disampaikan dalam materi khotbah keagamaan. “Saat ini, kami sedang merumuskan materi untuk khotbah tersebut. Kami menggandeng tokoh masyarakat, seluruh tokoh agama dan juga ormas,” ujar Abhan kepada wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (8/5).
Dalam perumusan materi khotbah itu, Bawaslu akan menekankan dasar hukum yang tidak memperbolehkan politik uang dan kampanye SARA. “Jadi norma hukumnya jelas, money politic dilarang kemudian tim kampanye yang menyinggung SARA itu bisa pidana. Tergantung nanti pembuktian kami dalam pengkajian dugaan pelanggaran itu,” tegas Abhan.
Dia menuturkan sejauh ini para pemuka agama antusias dengan usulan Bawaslu. Meski begitu, kepastian penuntasan materi khotbah belum dapat dipastikan. “Pembahasan masih berproses, sebab mengumpulkan berbagai elemen masyarakat kan tidak mudah. Peran tokoh agama dan ormas sangat signifikan untuk mengampanyekan gerakan lawan money politic, tolak politisasi SARA dan sebagainya,” tambah Abhan.
Dalam pertemuan Bawaslu, Bawaslu mengingatkan dalam memberika program kepada calon pasangan supaya adil dan merata. “Jangan sampai ketika suatu ormas sudah memiliki feeling kuat, bahwasanya bakal calon pasangan ini akan menang, maka itu sudah termasuk kampanye,” ujar Rathoyo Rasdan selaku Ketua DPP LDII.
Bawaslu meminta ormas Islam termasuk LDII berhati-hati saat mengikuti kampanye terbuka pasangan calon kepala daerah. Jangan sampai kehadiran pejabat negara saat kampanye terbuka dianggap sebagai bentuk keberpihakan. “Posisi pejabat negara yang ikut kampanye rawan diartikan tidak netral,” kata Ketua Bawaslu, Abhan
Bawaslu mencatat sudah ada ribuan pelanggaran yang terjadi pada penyelenggaraan pilkada serentak 2018. Bahkan satu bulan lalu sudah ada 420 kasus pelanggaran. “Banyak masalah yang dilakukan oleh pejabat negara,” ujar Abhan. “Datanya sedang kami rekap. Kami akan sampaikan detail datanya sebelum bulan puasa.”
Salah satu pelanggaran yang dilakukan pejabat negara, Abhan mencontohkan, terjadi di Maluku Utara. Di wilayah tersebut, ada kepala desa yang hanya mengacungkan jari saja diputuskan bersalah. Alasannya, acungan jarinya diasosiasikan dengan salah satu pasangan calon.
Sejauh ini, Bawaslu melihat wilayah yang paling banyak terjadi pelanggaran pejabat dalam pilkada 2018 adalah Sulawesi Tenggara. Di wilayah itu sudah tembus lebih dari 100 pejabat yang dianggap tidak netral. “Pelanggaran pejabat akan ditindaklanjuti. Tergantung pelanggarannya, kalau berat, bisa sampai diberhentikan atau dipidanakan,”tutup Ketua Bawaslu RI. (Wicak/LINES)