Era konseptual adalah era di mana penghargaan ditujukan kepada inovasi, produktivitas, dan kreativitas. Era ini melewati zaman bercocok tanam pada abad 18, era industrialisasi pada abad 19, dan era informasi pada abad 20. Kini setelah memasuki abad 21, sadar atau tidak era konseptual membentuk pola yang
menentukan gaya hidup dan kesuksesan manusia dalam menjalankannya.
Era konseptual disokong oleh perkembangan teknologi dan informasi. Keduanya turut menciptakan banyak pilihan, sehingga orang-orang cepat bosan terhadap satu konsep saja. Tidak heran jika era ini menuntut manusia memaksimalkan kinerja otak kanan untuk kreatif supaya dapat bertahan hidup.
Untuk beradaptasi dengan era konseptual, DPD LDII Kota Bogor dan Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Bogor (HMPB) mengundang Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo untuk memberikan pembekalan pada Selasa (28/2). Bertempat di Aula Masjid Budi Agung, Tanah Sareal, Kota Bogor, Sudarsono salah satu pembina HMPB memberikan pembukaan. Ia berharap para peserta bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya dari materi yang diberikan.
“Ke depan, akan ke mana teknologi, kehidupan mengarah kemana kita tidak tahu. Bagaimana kita menyikapi? Ini sangat penting bagi adik-adik akan terjun ke masyarakat. Jika anda tidak siap anda akan tertinggal. Jika anda siap anda bisa mengarahkan diri Anda agar bisa menjadi pemimpin,” ujarnya.
Diawali pemaparan Prasetyo Sunaryo, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan di Indonesia dibanding negara maju lain bisa dibilang tertingal. Di antara 100 persen umur 18 – 24 dalam setahun, hanya 17 sampai 25 persen yang mengenyam perguruan tinggi. Sementara Korea Selatan 91 persen dan Malaysia 40 – 50 persen.
“Kita yang bisa mengenyam perguruan tinggi harus bersyukur. Namun dari taman kanak-kanak hingga SMA, hanya sedikit yang siap menempuh kuliah,” ujarnya.
Meskipun patut bersyukur, jika mencermati sistem pendidikan Indonesia, Prasetyo mengajak peserta menyadari bahwa sejak SD hingga perguruan tinggi, sekolah selalu mengajari dan memberikan jawaban atas kehidupan. Padahal setelah lulus kuliah, kehidupan yang sebenarnya baru akan dimulai. Manusia dituntut mandiri mencari pertanyaan dan solusi atas masalah kehidupan.
Apalagi generasi dulu dan kini jauh berbeda. Generasi dulu lebih banyak membaca di perpustakan karena terbatasnya informasi. Kini dengan segala kemudahan akses informasi justru menjadi generasi instan yang kelebihan informasi kurang penting. Maka, agar bisa lebih fokus, sejak mengenyam sekolah dasar harus diajarkan goal setting atau cara menetapkan tujuan.
“Sejak SD, seharusnya sudah menentukan goal setting. Misal sejak SD ingin mendapat nilai sekian, lalu caranya harus dijabarkan selangkah demi langkah. Demikian juga kuliah. Untuk mendapatkan IPK yang tinggi belajar menjabarkan caranya bagaimana dan seterusnya,” ujarnya.
Prasetyo juga mengingatkan, proses pendidikan yang dijalani peserta, bisa saja kurang memadai bahkan tidak terpakai dalam kehidupan di masyarakat kelak. Maka Ketua DPP LDII yang juga Anggota Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu mengajak peserta untuk terbiasa melakukan kemampuan sintesis.
Peserta mencoba melakukan integrasi berbagai informasi menjadi data dan dari data itu dijadikan ilmu untuk memecahkan solusi yang dihadapi. Untuk itu peserta harus mencoba mengenali kelebihan dan kekurangan diri masing-masing.
“Kenal diri merupakan syarat utama untuk seseorang mampu meraih kemajuan secara positif. Kenal tentang apa bakat yang dimiliki seseorang, sebagai suatu karunia Allah. Mengenali apa yang menyebabkan muncul emosi, motivasi dan semangat serta ketekunan pada diri kita, agar perasaan tersebut bisa dikelola secara positif dan produktif,“ jelasnya.
Terlepas dari perbedaan kualitas generasi dulu dan kini, Prasetyo menjelaskan bahwa tiap generasi hadir untuk saling melengkapi. Sesuatu yang kurang dari suatu generasi, akan ditingkatkan di generasi setelahnya sebagai penyeimbang, karena kebutuhan akan bertambah terus, sesuai perkembangan jumlah manusia di muka bumi.
“Cobaan generasi saat ini lebih berat dari generasi sebelumnya karena dalilnya sudah jelas. Apalagi berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Harapan masyarakat terhadap pendidikan, generasi penerus memiliki kompetensi formal, soft competence , dan moral etika,” ujarnya.
“Apakah kita hanya berada di pantai informasi lalu memandangi informasi dan hanya berkomentar tentang lautan informasi alias bolak-balik, download, atau copy-paste melulu atau kita berenang dan menyelam di laut informasi untuk mencari informasi yang berguna dan bermanfaat, serta menyebarluaskan ke manusia yang lain?,” ujar Prasetyo.