Palu (15/11). Pengajian Umum warga DPD LDII Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Minggu (15/11) lalu, terasa berbeda. Pada kesempatan ini, DPW LDII kedatangan Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulteng Kombes Polisi Sutarso, S.H., M.Si. Dalam kesempatan itu, Sutarso menegaskan Indonesia masuk kategori darurat narkoba. Artinya, peredaran narkoba sudah tidak bisa dianggap remeh lagi dan pengaruhnya sangat membahayakan masa depan bangsa.
Ketua DPW LDII Sulawesi Tengah, Agussalim Sutan Marhum, S.Pd,. M.Pd, dalam sambutannya, mengharapkan terutama para orangtua serta generasi muda LDII, bisa memperhatikan dengan seksama materi. Pasalnya pengaruh narkoba bisa menimpa siapa saja, “Tidak menutup kemungkinan di antara kita bisa saja terkena narkoba, mengingat peredaran narkoba sudah merambah di kalangan para remaja juga bentuk narkoba yang bermacam-macam,” ujar Agus.
Harapan Agus ini tak berlebihan, pasalnya narkoba merupakan ancaman serius. Di Sulteng jenis narkoba yang paling banyak beredar adalah shabu. Di dalam shabu terdapat zat amphetamine yang bisa menyebabkan adiksi atau kecanduan.
Dalam periode Maret-November 2015, pihak BNNP Sulawesi Tengah sudah merehabilitasi 936 orang. Untuk itu BNNP berupaya melakukan kerja sama dengan beberapa pihak di antaranya rumah sakit yang ada di Buol, Toli-toli, Ampana, dan Luwuk. BNNP juga melatih para dokter di rumah sakit, teknik merehabilitasi para pecandu. Selain itu BNNP juga bekerja sama dengan organisasi masyarakat di Sulteng, termasuk LDII.
BNN berharap dengan bekerja sama dengan ormas Islam, para ulama ataupun juru dakwah terbekali pengetahuan tentang bahayanya narkoba, “Dengan demikian para juru dawahdapat terus mengulang-ulang pesan mengenai bahaya narkoba di setiap pengajian,”papar Starso.
Menurut Kombes Polisi Sutarso, Indonesia menjadi wilayah paling disenangi oleh para bandar narkoba, karena menjual narkoba di Indonesia, lebih menguntungkan dibanding menjualnya ke negara lain seperti di Hongkong dan Malaysia. Jika di dua negara tersebut penjualannya berkisar Rp 700 ribu, maka di Indonesia menjadi Rp 2,1 jut.
“Ini disebabkan ketika obat-obatan terlarang tersebut sampai di Indonesia tidak langsung diedarkan tapi di oplos dulu. Narkoba asli di oplos dengan obat anti nyamuk, semen putih dan amphetamine. Tidak terbayang apa jadinya bahan-bahan yang seharusnya tidak masuk ke dalam tubuh, malah dikonsumsi secara terus menerus,” ujarnya.
Sutarso mengajak warga LDII Sulteng untuk bekerja sama dalam menuntaskan masalah dalam penanggulangan narkoba. “Narkoba itu menguras harta juga tentunya merusak bangsa secara perlahan. Untuk itu kalau hanya diserahkan pada pihak BNN atau polisi pun tidak cukup, sehingga kami sangat membutuhkn peran serta orang tua,” kata Sutarso.
Ia juga meminta bantuan para orangtua agar lebih perhatian kepada anak-anak. Sebab anak-anak bila memiliki masalah, namun tak menemukan solusi, mereka cenderung menyelesaikannya dengan mengonsumsi narkoba. (NWind/LINES)