Pagelaran akbar sepak bola telah dimulai. Pesta empat tahunan itu telah dibuka hari Jumat kemarin di negeri hitam – Afrika Selatan. Gegap – gempitanya pun menyebar ke seluruh antero dunia. Tua – muda, lelaki – perempuan bahkan anak – anak sangat antusias menyambutnya. Pelosok – pelosok negeri pun tak ketinggalan, bersolek menyambutnya. Seakan tak ada yang mau ketinggalan dan minder disebut kuper karenanya. Benarkah? Apalagi ada fakta yang menyatakan bahwa sepak bola adalah agama kedua. Sebab olah raga ini ditengarai sebagai olah otot yang paling popular di dunia. Dan tentu saja banyak sekali pengikut dan penggemarnya. Maka, ketika menyebut diri tak suka sepak bola, bisa berarti mengasingkan diri dari dunia nyata. Dan ketika tak tahu tentang bola, bisa berarti setengah bunuh diri alias malu cing, kata orang betawi. Itu semua adalah asumsi – asumsi. Orang boleh bilang apa saja. Orang boleh berkata apa saja. Hasil survey sekali pun boleh jadi bahannya, agar orang semakin percaya. Tapi, mari simak sekelumit fakta kecil berikut ini tentang bola ini. Dulu saya termasuk orang yang hobby bola, walau tidak gibol alias gila bola. Beli majalah bola, koleksi souvenir – souvenirnya. Ngumpulin kaos team – team beken. Pajang poster pemain top. Ngluruk untuk nonton tayangan bola setiap ada pertandingannya di TV. Malam sekali pun. Diskusi dan adu argument masalah bola dan lain sebagainya kegiatan terkait dengannya. Pokoknya ngefans habis. Bahkan ikut bersedih jika jagoannya kalah. Tak jarang menyumbang doa untuk kemenangan tim kesayangan. Gak ada hubungan kerabat, hubungan saudara, bahkan hubungan bisnis sekalipun tapi begitulah kenyataannya. Terperdaya.
Dalam keadaan seperti itu, tiba – tiba seseorang menghampiri saya. rasanya saya kenal, tetapi dimana saya lupa. Belum selesai saya bergumul dengan ingatan saya, dia sudah memulai bicara.
“Lagi sedih ya, jagoannya kalah?”, katanya. “Begitulah dunia. Dan yang semacam Sampean itu banyak. Tapi tak mengapa itu bagian dari proses kehidupan yang sedang bertumbuh dan bertumbuh – kembang. Tak usah kuatir. Cepat atau lambat Sampean akan sadar sendiri.”
“Apa maksudnya,,,?”, saya nyahut bak api diberi rumput kering.
“Ada hal – hal yang lebih bermakna dan penting dalam kehidupan ini lebih dari sekedar apa yang sedang Sampean alami dan rasakan sekarang. Apalagi Sampean muslim – orang pilihannya Allah.Mudah-mudahan Allah lekas memberi kesadaran yang dalam kepada Sampean.”
Kalimat ini semakin mendesak ketidak – tahuan saya akan maksudnya. Apalagi sudah membawa – bawa nama Allah. Apa maunya orang ini?
Dan saya memilih menyerah untuk mendengarkan maksud baik dari orang ini. Mudah – mudahan memang baik adanya.
Selanjutnya dia berkata, “Coba simak firman Allah dalam hal memilih aktifitas di dunia ini. Dengan tegas Allah menyebutkan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kemudian dia menerangkan tentang ayat 114 surah an-Nisaa, yang artinya kurang lebih begini; “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” Itulah ukuran hidup. Itulah keberhasilan hidup.”
“Jadi tidak usah repot – repot membuat parameter keberhasilan hidup ini lagi. Tiga hal di atas itu cukup dan mencukupi. Jadi, alangkah sayangnya jika Sampean merasa bersedih, kecewa, atau marah kalau jagoannya kalah. Atau sebaliknya merasa bangga, jumawa bahkan arogan jika jagoannya menang. Itu semua hanya nafsu diri saja. Tak hanya bola. Perasaan atau keinginan yang lain pun akan disikapi dengan hal serupa.”
“Lalu?”
“Kenapa diri anda masih menyukai sepak bola di dunia ini. Itu tingkat dasar. Kelas embek. Di usia Sampean harusnya sudah bisa bersepak bola dengan tiga hal di atas tadi. Suka sedekah. Suka amar ma’ruf, berbuat baik dan mendamaikan manusia. Tiga bola itu perlu Anda gelindingkan dan mainkan. Memberikan suasana sejuk dan indah di sekitar kita. Itu adalah bola sesungguhnya yang harus Sampean tendang ke seluruh penjuru dunia. Melebihi jabulani. ”
“Terus..?” suara saya lirih menyerah.
“Temukan suasana indah dengan bola – bola air mata ketika Sampean bersimpuh – berdzikir di penghujung malam dengan Allah Yang Maha Esa. Itulah sepak bola terindah dalam hidup ini. Karena setiap manusia adalah pemain bolanya Allah sebagai penyebar dan perantara nikmatnya. Bukan menyia – nyiakannya. Keberhasilan ditentukan seberapa banyak anda menendang rohmat Allah kepada manusia lainnya. Bukan hanya tenar di dunia melainkan di seluruh langit dan bumi. ”
Saya pun menitikkan air mata. Saya berani melek malam untuk nonton bola. Berani begadang untuk bola. Tapi berani menolak panggilannya untuk bermain bola dengan Allah di setiap penghujung malam, ketika Allah turun ke langit dunia. Gara – gara sepak bola piala dunia.
Dan mimpi itu pupus, ketika suara istri menggema membangunkan saya untuk sholat subuh segera. Sebentar lagi matahari sudah menganga. Oalah sampai kebawa mimpi pertentangan batin saya, menghadapi piala dunia ini. Seribu alasan, berjuta komentar sah – sah saja. Yang jelas mimpi itu mengilhami saya untuk memanaged diri lebih baik dan baik lagi dalam menyikapi hidup ini, seperti jargon pembinaan generasi penerus: berpengaruh, tidak terpengaruh.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah