Akhir – akhir ini sehabis sholat shubuh, rasanya malas untuk beranjak. Penginnya bisa nongkrong berlama – lama di musholla. Untuk apa? Yang jelas menikmati pagi. Dalam keheningan pagi, terasa sangat indah suasananya. Hembusan anginnya sejuk menerpa. Udara dingin – bersihnya menusuk dada. Sekujur tubuh bergegas menyapa. Dengan lantunan syukur, menikmati suasana yang ada. Tapi, bukan itu yang beda. Riuh burung berkicau, benar – benar menjadikan semuanya lain. Merdu, ramai dan atraktif. Lincah, berirama laksana orkestra.
Mengiringi semesta bertasbih mengagungkanNya. Allah berfirman, ”Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Israa:44). Semakin asyik tenggelam dalam keheningan, semakin asyik pula pikiran jauh melayang. Pertama, mencari fenomena apa yang tengah terjadi. Kenapa kok banyak banget bunyi burung? Tumben banget ada kicau burung yang elok. Bertalu – talu. Bersahutan seperti melihat malaikat. Kicau itu tidak dari burung – burung emprit, prenjak, burung pipit atau burung gereja saja. Yang cuma ribut dan bergerombol beraninya. Ada kicau lain, seperti yang sering saya dengar di hutan dan tempat orang berlomba kicau burung. Benar – benar syahdu. Ada yang pendek – pendek. Ada yang panjan – panjang. Ada yang ritmik, ada yang acak. Kebetulan di seberang ujung gang blok saya, ada tetangga yang hobby pelihara burung. Selain aktif lomba, mereka juga memijahkan juga. Puluhan burung ada di sangkar dan kandang mereka. Kebanyakan burung perkutut. Kadang setiap pagi anak saya yang paling kecil suka ngajak main melihat burung – burung itu. Dan tentu saja mendengarkan gratis kicauannya. Dari kegiatan inilah saya bisa membedakan sedikit suara kicau burung itu.
Nah, selidik punya selidik, ternyata semua itu buah dari tiga pohon besar yang saya tanam akhir abad 20 dulu. Kayaknya jauh ya abad 20 padahal sekitar tahun 1999. Sekarang tumbuh besar dan hidup di halaman depan rumah saya. Dua pohon rambutan dan satu pohon nangka. Diameternya hampir 20 cm. Jadi lumayan besar. Kanopinya saja membuat jalan depan rumah saya paling rindang. Tanpa saya sadari, ternyata pohon – pohon itu menjadi rumah surga para burung. Dan dugaan saya ada burung piaraan yang lepas, semacam cocak rowo, yang tinggal sementara di dahan pohon itu. Sehingga setiap pagi ada kicau yang tak henti – henti eloknya. Rejeki, batinku.
Kedua, masalah thiyaroh. Ingat kenangan ketika bersama Ibu di desa dulu. Kalau ada burung yang bunyi bertalu – talu, pasti komentarnya miris. Menakutkan. Kalau ada burung gagak bunyi, biasanya habis maghrib, komentarnya — wah mau ada yang mati nih. Kali lain ketika dengar kicau burung di senja hari, komentarnya — ada perawan hamil nih. Atau ada jago berkokok, selepas isyak, katanya ada setan lewat. Padahal harusnya malaikat lewat bukan? Semua dikaitkan dengan hal yang kurang baik. Dan masih banyak lagi yang lain. Naudzubillah. Saya yakin Ibu mendapat hal serupa dari mbah buyut dulu. Suka menghubung – hubungkan dan merangkai kejadian dengan sekililingnya. Dalam agama yang demikian itu jelas tidak boleh. Gugon tuhon. Itu merusak tatanan dan bisa berkembang menjadi syirik. Alhamdulillah dengan ngaji semua jadi jelas. Kalau saya tidak mengingat itu, pasti juga terseret. Maka dengan sigap saya membelokkan bisikan – bisikan yang menggoda masalah thiyaroh ini. Ujungnya melarikannya ke dalil – dalil, pun lari dari bahaya syirik karenanya.
Dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami – dalam hadits Jariyah -, ia berkata : “Wahai Rasulullah, diantara kami masih ada yang suka bertathayyur.” Rasulullah SAW menjawab : “Itu hanyalah sesuatu yang terlintas dalam hati mereka, maka janganlah sampai mereka meneguhkan niat karenanya.” (HR Muslim).
Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda : “Tidak ada ‘adwa (penjangkitan atau penularan penyakit) dan thiyarah, akan tetapi yang membuat diriku senang adalah fa’l (perasaan optimis, harapan bernasib baik dan sukses), kalimah hasanah (kata-kata yang baik). (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Thiyarah adalah syirik, dan setiap orang pasti … (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakal kepada-Nya. ( al-Bukhari dalam al-adabul mufrad).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik. “Para sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau menjawab: “Hendaknya ia mengucapkan: “Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan obyek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tiada Ilah yang haq kecuali Engkau.” (Hadits Shahih diriwayatkan Ahmad II/220)
Ketiga, pentingnya mengenal alam sekitar dan menjaganya. Jangan biarkan lingkungan sekitar kita rusak, atau bahkan kita yang merusaknya. Allah berfirman; ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (QS ar-Ruum 41)
Tanah longsor dan banjir, adalah akibat hutan yang gundul karena digunduli. Fenomena perubahan iklim adalah akibat dari ulah manusia sendiri yang tidak arif terhadap lingkungannya. Sebagai orang iman selain sejuk hatinya, sejukkanlah lingkungan juga dengan amal sholeh nyata. Rajin menanam pohon, rajin berkebun kalau masih ada tanahnya. Dan jangan lupa menanam tanaman barokah semisal jarak, besaran dan asem.
Keempat,,,ketika baru mau melanjutkannya, tiba – tiba ada panggilan dari dalam rumah. Buyarlah kegiatan mencermati elok suara burung pagi itu. Setiap bangun tidur anak ketiga saya pasti merengek minta dilayani, layaknya nggak pernah ketemu bertahun – tahun. Apa boleh buat, suara ini begitu mantap membahana. Segera direspon agar tidak berubah menjadi tangis dan ratapan, seperti anak burung yang kehilangan induknya. Memecah kebisuan pagi.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah