Di musholla saya ada dua quran. Satu sedang, satu besar. Yang sedang punya istri, dan yang besar didedikasikan buat saya. Karena besar enak deh bacanya. Dan quran di musholla inilah, yang paling besar. Riwayatnya pun yang paling panjang. Bahkan umurnya mendekati 20 tahun. Ukurannya 28 x 16 cm. Muasalnya dari Islamic Center Tokyo City, Japan sana. Kisahnya, dulu istri sering berkunjung ke Islamic Center dan selalu mendapatkan oleh – oleh berupa quran ini. Sebenarnya ada banyak, tapi sudah habis diberikan kepada kerabat dan teman dekat yang membutuhkan. Dulu saya sempat bertanya, kenapa kok istri tak mau pakai dan dermawan banget berbagi, padahal kan elok sekali mushafnya? Selidik punya selidik, ternyata istri kesulitan untuk membacanya waktu itu. Ia lebih memilih quran produk lokal ketimbang yang berasal dari negeri Gurun Arab walau bagus. Mungkin sekarang keadaannya sudah berubah. Ada yang berbeda. Istri sudah lancar membaca quran produk luar ini. Nyatanya, quran yang dia baca sekarang produk Darul Fikri – Beirut sana.
Di meja kerja saya juga ada quran. Ukurannya lebih kecil, walau tidak mini. Kira – kira 12 x 7 cm. Produk luar juga. Saya sengaja taruh di sana, untuk membacanya di kala senggang dan jadi perkeling setiap memandangnya. Kadang juga jadi referensi jika ada yang bertanya, atau kalau sedang iseng – iseng menulis. Saya sengaja memilih ukuran yang lebih kecil untuk fleksibilitas semata. Gampang masuk kantong dan enak membawanya. Ringan dan tidak perlu tempat besar. Selain itu juga untuk menjaga ketajaman mata. Kalau terlalu kecil, kasihan mata. Apalagi usia tak bisa direka.
Di kamar tidur, ada quran juga. Saya letakkan di sana untuk memanjakan diri ketika mau membaca atau menderesnya. Saya tak perlu capek – capek beranjak keluar kamar kalau ingin melakukannya. Ukurannya sedang. Ukuran 20 x 12 cm. Kertas mengkilat dan produk luar juga. Hampir di semua kamar tidur sengaja saya letakkan quran untuk keperluan lain semisal mengajak anak ngaji. Tak perlu cari alasan cari quran terlebih dahulu. Yang biasanya yang demikian itu dijadikan alasan sehingga terlambat, bahkan gagal ngajinya. “Ayo ngaji, tuh qurannya. Ambil…!” Dan berjalanlah proses belajar – mengajar ini. Dengan simpelnya.
Di rak buku saya terdapat 2 mushaf quran makna dari hasil ketekunan ngaji saya selama ini. Sekarang menginjak quran ketiga yang harus saya isi. Kenapa saya mesti berganti – ganti? Selain untuk variasi, juga melihat perkembangan situasi yang ada. Dulu begini, sekarang begini. Dulu disampaikan oleh ini begini, oleh si anu begitu dsb. Mengetahui kronologi, memperluas cakrawala, disamping memperdalam kekayaan ilmu dan pemahaman. Walau kadang beda, alhamdulillah bisa diterima apa adanya. Selebihnya untuk melatih ingatan dan menambah kesakdermoan dalam mengaji. Sebab qurannya masih kosong. Di quran yang awal, banyak tulisan pegon cakar ayam. Di quran kedua pegon sudah lumayan. Quran awal pakai produk Thoha Putra Semarang. Yang rapat sepasinya. Quran kedua hadiah dari orang yang datang dari Arab sana. Spasinya pun agak lebar. Dan banyak catatan – catatan kecil lainnya.
Selain 2 quran itu, ada quran lainnya yang saya koleksi ketika saya berkunjung ke toko buku. Pokoknya yang antik, menarik dan terjangkau oleh kantong, biasanya saya beli. Juga beberapa quran hadiah dari teman – teman. Biasanya kalau ditanya; “Mau oleh – oleh apa?” Saya jawab dengan trengginas, “Quran saja deh! ”. Bahkan quran terjemahan produk Depag pun ada. Saya kurang tahu dari mana dulu itu dapatnya. Yang jelas sekarang menjadi pajangan di lemari saya. Koleksi istri saya malah lebih bagus lagi. Ia punya The Holy Quran dengan versi Inggrisnya.
Kala bepergian, tak lupa selalu saya masukkan quran kecil ke dalam tas saya. Gunanya untuk deres dan mengisi waktu sebelum tidur daripada wasting time ke mana – mana. Dan alhamdulillah lumayan membantu prosesi tidur yang benar. Bahkan di bandara ketika pesawat terlambat terbang, saya buka juga simpanan itu. Walau awalnya malu, sekarang sudah terbiasa. Quran favorit saya kala bepergian adalah Sofwatul Ma’na, dimana di pinggirnya terdapat syarah keterangan hubungan ayat dengan hadits yang relefan. Asyik juga. Sayangnya semua syarah ditulis dalam arab gundul. Dengan sedikit kerepotan akhirnya terpecahkan juga, dan hasilnya semakin tahu nahwu shorof adanya. Alhamdulillah lumayan..!
Apa yang saya lakukan di atas terjadi karena me too – sharing dari beberapa teman, pengalaman dan pencarian bagaimana bisa menerampilkan ibadah, tidak mengosongkan waktu dari pahala dan tidak menganggurkan diri dari amal sholih. Karena baik kenapa saya tidak menirunya. Karena menambah keimanan kenapa tidak saya lakukan. Karena bermanfaat, kenapa tidak kudapat. Dan semua itu masih dalam koridor apa yang disebut yu’adhim atau mengagungkan, sebagaimana Allah firmankan dalam ayatnya; “Demikian itulah, dan barangsiapa yang mengagungkan syair – syair Allah, maka demikian itu adalah sebahagian dari taqwanya hati.” (QS al-Hajj 36) Yang jelas tinggal menyetel hati dengan niat yang benar. Hindari pamer, sok – sokan dan salah niat. Namun setelah saya pikir – pikir lagi, kenapa semua itu saya lakukan? Apakah benar karena alasan di atas? Dengan sejujurnya saya telisik lagi. Dengan prawironya saya selidik lagi. Dengan cermat saya ungkap dengan hati – hati. Dengan jiwa padang dan transparan. Dengan kerendahan hati saya petani. Bahwa lebih dari sekedar tiru – tiru, bahkan lebih dari sekedar mengagungkan syair – syair Allah. Saya telah mendapatkan jawaban yang pasti yaitu: butuh. Kata ini muncul menyitir firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 265 – tatsbiitan min anfusihim. Itulah yang tepat menurut saya yang masih butuh banyak ilmu ini. Itu yang terjadi.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah