Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Seperti tidak ada habis-habisnya. Mengalir dan mengalir terus. Bertambah dan berkembang dari waktu ke waktu. Menuntun kepada hikmah kepahaman, atas kehendakNya. Dan kesyukuran yang dalam, bahwa ilmu Allah memang luas tak terbatas. Dan diberikanNya kepada yang dikehendaki. Subhanallah!
Beberapa waktu lalu, Sang Guru Bijak mengulas kembali masalah Tauhid. Laksana teko yang mencari gelas, atau sumur yang mencari timbanya. Tinggal seberapa mampu tiap diri menampung luberan hikmah itu. Dan seperti biasa, hal itu dimulai dengan membuka Kitabul Karim. Allah berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali hanya Allah.” [QS. Muhammad: 19] Setelah dengan jlentreh menerangkan makna dan keterangan kalimat tauhid ini, sampailah pada cerita yang sangat indah dan mengena.
Dikisahkan, ada seorang kiai yang mengajarkan aqidah kepada murid-muridnya. Dia mengajarkan dan menjelaskan kepada mereka sari pati ilmu yaitu kalimat; “Laa ilaaha illallaah” beserta maknanya. Selain itu Pak Kiai ini juga mendidik, memberi pelajaran dan berusaha menanamkannya ke dalam jiwa murid-muridnya keteladanan Rasulullah SAW. Di samping itu, di waktu luang Pak Kiai mempunyai hobi memelihara burung dan kucing. Salah seorang muridnya menghadiahkan padanya seekor burung kakatua. Dasar hobi, makin hari Pak Kiai semakin senang dan sering membawa burung itu pada saat mengajar. Dengan naluri alamiah dan kemampuannya, karena sering mendengar, kakatua itu belajar mengucapkan kalimat tauhid: “Laa ilaaha illallaah”. Burung Kakatua itupun akhirnya bisa mengucapkan Laa ilaaha illallaah siang-malam dengan fasihnya.
Suatu hari, ada pemandangan yang tidak biasa. Murid-murid mendapati Pak Kiai tengah menangis tersedu. Ketika ditanya, kenapa beliau menangis, dengan terbata-bata dan kalimat yang singkat dia berkata; ”Kucing telah menerkam kakatua dan membunuhnya.” Jawaban singkat itu, membuat para murid saling berpandangan dengan mimik keheranan dan penuh tanda tanya. Salah seorang dari mereka berdiri mewakili dan berkomentar; “Hanya karena inikah engkau menangis? Kalau Anda menginginkan kami bisa datangkan burung lain. Bahkan burung yang jauh lebih baik.” Pak Kiai berkata: “Bukan karena itu aku menangis, tetapi (sambil menghela nafas panjang), yang membuat aku menangis adalah, ketika diserang kucing, burung itu hanya berteriak-teriak; teriakan makian dan rintihan saja sampai matinya. Padahal dia sering sekali mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallaah” .Tetapi mengapa ketika diterkam kucing, ia lupa kalimat itu. Saya jadi tahu, bahwa selama ini, ia hanya mengucapkan “laa ilaaha illallah” dengan lisannya saja tanpa penghayatan” Pak Kiai melanjutkan; “Aku khawatir kalau nanti kita seperti kakatua itu. Saat kita hidup mengulang-ulang kalimat “laa ilaaha illallaah” dengan lisan kita, tapi ketika maut datang kita pun lupa. Tidak bisa mengingatnya, karena hati dan jiwa kita belum memahami dan menghayati sepenuhnya. Ikhlash, lahir dan batin.” Mendengarkan penjelasan Pak Kiai itu, para murid pun akhirnya terdiam, tersadar dan menangis pula, khawatir tidak jujur terhadap kalimat tauhid ini. Dan kita sendiri, apakah kita telah menanamkan kalimat “laa ilaaha illallaah” ini ke dalam hati sanubari kita dengan sebenar-benarnya?.
Kemudian cerita itu disambung dengan riwayat-riawayat yang indah tentang fadhilah kalimat tauhid. Pilihan Sang Guru Bijak kali ini jatuh pada jalur Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda;
قَالَ مُوْسَى يَا رَبِّ، عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ وَأَدْعُوْكَ بِهِ، قَالَ : قُلْ يَا مُوْسَى : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ : يَا رَبِّ كُلُّ عِبَادِكَ يَقُوْلُوْنَ هَذَا، قَالَ مُوْسَى : لَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَعَامِرَهُنَّ – غَيْرِي – وَالأَرْضِيْنَ السَّبْعَ فِي كِفَّةٍ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فِي كِفَّـةٍ، مَالَتْ بِهِـنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
“Musa berkata: ‘Ya Rabb, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu.’ Allah berfirman, “Ucapkan hai Musa laa ilaha illallah.” Musa berkata, “Ya Rabb, semua hamba-Mu mengucapkan itu.” Allah berfirman, “Hai Musa, seandainya ketujuh langit serta seluruh penghuninya–selain Aku–dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu timbangan dan kalimat laa ilaha illallah diletakkan dalam timbangan yang lain, niscaya kalimat laa ilaha illallah lebih berat timbangannya.” (HR. Ibnu Hibban
Dan masih terkait masalah timbangan ini, lebih jauh lagi Sang Guru Bijak menyampaikan riwayat lain yang tak kalah menggembirakan dan menyentuh.
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ “ يُصَاحُ بِرَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ فَيُنْشَرُ لَهُ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ سِجِلاًّ كُلُّ سِجِلٍّ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ تُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ ثُمَّ يَقُولُ أَلَكَ عُذْرٌ أَلَكَ حَسَنَةٌ فَيُهَابُ الرَّجُلُ فَيَقُولُ لاَ . فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلاَّتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ . فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ ”
Dari Abi Abdurahman Al-Hubliy, dia berkata; ‘Aku mendengar Abdullah bin Umr berkata, bersabda Rasulullah ﷺ ; “Ada seseorang yang terpilih dari umatku pada hari kiamat dari kebanyakan orang ketika itu, lalu dibentangkan kartu catatan amalnya yang berjumlah 99 kartu. Setiap kartu jika dibentangkan sejauh mata memandang. Kemudian Allah menanyakan padanya, “Apakah engkau mengingkari sedikit pun dari catatanmu ini?” Ia menjawab, “Tidak sama sekali wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi, “Apakah yang mencatat hal ini berbuat zalim kepadamu?” Lalu ditanyakan pula, “Apakah engkau punya uzur atau ada kebaikan di sisimu?” Dipanggillah laki-laki tersebut dan ia berkata, “Tidak.” Allah pun berfirman, “Sesungguhnya ada kebaikanmu yang masih kami catat. Sehingga kamu tidak termasuk orang zalim pada hari ini.” Lantas dikeluarkanlah satu bithoqoh (kartu sakti) yang bertuliskan syahadat ‘laa ilaha ilallah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rosulullah’. Lalu ia bertanya, “Apa kartu ini yang bersama dengan catatan-catatanku yang penuh dosa tadi?” Allah berkata padanya, “Sesungguhnya engkau tidaklah zalim.” Lantas diletakkanlah kartu-kartu dosa di salah satu daun timbangan dan kartu ampuh ‘laa ilaha illallah’ di daun timbangan lainnya. Ternyata daun timbangan penuh dosa tersebut terkalahkan dengan beratnya kartu ampuh ‘la ilaha illallah’ tadi.” (HR. Ibnu Majah).
Dari sini kita semakin tahu betapa besar arti dan keutamaan kalimat tauhid ini. Untuk itu, mari bersama-sama memperjuangkan bagaimana setiap diri mampu melakukan internalisasi dengan baik sehingga mendarah daging. Dan nantinya bisa memetik hasilnya kelak di akhirat dan menjaga ketika ajal tiba. Kebersamaannya tidak hanya di lisan saja, tapi ada di hati, darah, nafas dan tingkah laku kita sehari-hari. Walaupun tidak harus berteriak-teriak seperti cerita kakatua di atas tadi. Dan mengambil moral cerita di atas, yang perlu diperhatikan adalah seberapa besar kemauan kita untuk terus berjaga dan mengambil sikap hati-hati. Sombong jangan, meremehkan juga tidak. Terus berusaha, bersyukur, berdoa, mengagungkan, mempersungguh dan husnudhon billah dalam beribadah agar semua selamat sampai ajal nanti.
Selama masih menghirup udara, tidak ada jaminan berpisah secara husnul khatimah. Sebab kenyataannya dalam perjalanan hidup ini kadang susah ditebak. Ada orang yang lahirnya sholeh, tinggalnya di sebelah masjid, setiap ngaji tak pernah ketinggalan, setiap ucapan penuh dengan dalil, berakhir dengan baik? Seakan Allah memberi peringatan keras pada diri ini, menunjukkan kuasaNya; ternyata di akhir hayatnya, tak disangka, ditemukan mati pada seutas tali. Sedih. Sakit. Ingin menjerit. Naudzu billahi min dzalik
Alhamdullilah jasa kallohughoiro atas pencerahan nasehat dan peringatan semoga bermanfaat bagi kita yg membacanya amiiin.
Allhamdulilah zkh atas ceritaya
Semoga bisa memberikan hikmah buat Kita semua🤲 amiin
Alhamdulillah jaza kumullahu khoiro atas nasehatnya,
Semoga alloh paring barokah. Aamiin…