Oleh: Faizunal A. Abdillah; Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Ilustrasi: Ihsan
Masalah umum yang dihadapai kebanyakan orang adalah konsistensi. Hal ini terkait pola hidup dan sumber daya lingkungan yang saling terkait dan ketergantungan satu dengan lainnya. Karenanya, jika sesuatu sudah bisa berjalan secara konsisten, biasanya sangat memberi manfaat. Bahkan membanggakan. Contohnya, bisa sholat secara konsisten berjamaah pada awal waktu. Bisa rutin bangun dan sholat malam. Penghasilan pun rutin setiap bulan sehingga sedekah lancar. Sungguh menggembirakan. Sesuai hasilnya, pun tak mudah dalam menggapainya. Perlu waktu, butuh kesabaran, ditambah ketekunan dan tak henti berharap pertolongan Allah dalam pelaksanaan. Simaklah hadits berikut ini.
Dari ’Aisyah, Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
“Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR Muslim).
Sebelum jauh, mari sempatkan menikmati anekdot segar untuk membangun konsistensi lewat cerita sufi yang menggeletik hati. Konsisten bukan sekedar pengetahuan. Banyak orang tahu konsistensi, tapi jarang yang bisa menerapkan. Konsistensi adalah sebuah integritas. Keteladanan dan sebuah hasil perjuangan kesungguhan.
Seorang darwis menemui Nasrudin untuk berguru kebijaksanaan kepadanya. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat perilakunya. Suatu malam, Nasrudin menggosok-gosok kayu untuk melentikkan api. Api kecil pun muncul. Nasrudin lalu meniup-niupnya. “Mengapa api itu kau tiup?” tanya si darwis. “Agar lebih panas dan lebih besar apinya,” jawab Nasrudin. Benar saja, api pun membesar. Nasrudin kemudian memasak sop. Setelah matang, ia lalu menuangnya ke dalam dua mangkok. “Makanlah,” kata Nasrudin sambil mengambil bagiannya, kemudian meniup-niup sop tersebut. Sang Darwis mengerutkan kening. “Mengapa sop itu kau tiup?” tanyanya. “Agar lebih dingin dan enak dimakan,” jawab Nasrudin. “Ah,” sahut si darwis, “Aku rasa aku tidak jadi belajar darimu. Engkau tidak konsisten dengan pengetahuanmu. Semula engkau meniup agar bertambah panas, sekarang engkau meniup agar dingin. Kamu tidak konsisten!”.
Menyikapi anekdot yang pertama, maka Nasrudin berimprovisasi. Kalau tindakan yang sama pada tujuan yang berbeda dikatakan tidak konsisten, maka sekarang dia bermaksud beda, memberikan jawaban yang sama pada situasi apapun yang berbeda. Suatu saat Nasrudin bertemu sahabat lamanya. Nasrudin ditanya; “Hei Nasrudin, berapa usiamu sekarang?” “40 tahun,” sahut Nasrudin singkat. Beberapa tahun kemudian, mereka bertemu lagi. Sahabat itu kembali bertanya, ”Kau terlihat sehat, berapa usiamu sekarang, Nasrudin?” “40 tahun,” sahut Nasrudin. “Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama.” “Aku konsisten,” jawab Nasrudin.
Konsisten itu bukan hanya jawaban yang tidak berubah. Tetapi sebuah ketetapan yang terus berjalan bersama waktu sebagai jawaban. Terlebih lagi dalam urusan ibadah.
Dalam hal ini, fatwa tua yang indah mengingatkan; dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ berkata padaku,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR Bukhari).
Konsistensi itu buah kemajuan, bukan kemunduran. Tengoklah pembicaraan di sekitar kita, sebagai refleksi kehidupan. Sering kita mendengar; “Dulu nggak hapal, sekarang lupa”. “Dulu nggak bisa, sekarang belum terlaksana.” Ini juga konsisten, tapi konsisten tidak bisa. Atau; “Dulu lupa, sekarang nggak ingat”. “Dulu belum bisa, sekarang belum mencoba.” Ini sama juga dan anehnya kadang kita malah tertawa mendengarnya. Untuk itu, sekaranglah waktu mencoba. Mari kita mengubahnya, sebagaimana petuah yang disampaikan Sang Guru Bijak, dari para ulama salaf. Sebagian ulama salaf mengatakan:
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Sebagai tambahan bahan pencerahan dalam hal konsistensi ini, mari jaga momentum. Ketika timbul semangat dan niat segera laksanakan. Jangan tunggu sehingga padam. Berjuanglah terus untuk menjaga api semangat itu, agar tidak menyimpang. Dan lihatlah hasilnya itu. Bertambah kebaikannya atau sebaliknya. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ
“Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (telat/malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi ﷺ, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” (HR Ath-Thobroni).
Kami berharap, para sahabat tidak bingung dalam membangun konsistensi ini. Raihlah keberkahan dan manfaatnya. Jangan sampai cerita si pengembara dan penggembala yang satu ini datang menghampiri. Kalau ya perlu segera dikoreksi.
Seorang gembala sedang menggembalakan dombanya. Seorang yang lewat berkata, “Engkau mempunyai kawanan domba yang bagus. Bolehkan saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang domba-domba itu?” “Tentu,” kata gembala itu. Orang itu berkata, “Berapa jauh domba-dombamu berjalan setiap hari?” “Yang mana, yang putih atau yang hitam?” “Yang putih.” “Ah, yang putih berjalan sekitar enam kilometer setiap hari.” “Dan yang hitam?” “Yang hitam juga.” “Dan berapa banyak rumput mereka makan setiap hari?” “Yang mana, yang putih atau yang hitam?” “Yang putih.” “Ah, yang putih makan sekitar empat pon rumput setiap hari.” “Dan yang hitam?” “Yang hitam juga.” “Dan berapa banyak bulu yang mereka hasilkan setiap tahun?” “Yang mana, yang putih atau yang hitam?” “Yang putih.” “Ah menurut perkiraan saya, yang putih menghasilkan sekitar enam pon bulu setiap tahun kalau mereka dicukur.” “Dan yang hitam?” “Yang hitam juga.” Orang yang bertanya menjadi penasaran. “Bolehkah saya bertanya, mengapa engkau mempunyai kebiasaan yang aneh, membedakan dombamu menjadi domba putih dan hitam setiap kali engkau menjawab pertanyaanku?” Gembala itu menjawab, “Tentu saja. Yang putih adalah milik saya.” “Ooo, dan yang hitam?” “Yang hitam juga,” kata gembala itu
Dan syukur Alhamdulillah, semoga tulisan ini juga konsisten, mengajak pembaca tertawa dari awal sampai akhir.
Mantap…. mari kita jaga selalu niat kita tuk selalu karna Allah….
Terus berkarya, untuk kemaslahatan umat