Sebagian orang beranggapan bahwa yang mengalami cobaan, musibah dan sebangsanya, itu hanya orang iman saja. Banyak yang menafikan bahwa mereka yang tidak beriman tidak. Pemikiran seperti ini harus dibuang jauh – jauh. Selama tinggal di dunia, menginjak bumi Allah ini, maka akan berlaku ketetapan Allah. Setiap orang akan dicoba sesuai lakon yang telah ditentukanNya. Resapilah ayat 104 surah An-Nisaa, Allah berfirman; “Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap kepada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Seiring dengan hal ini, banyak diantara kita yang faham dalil: besarnya balasan, beserta besarnya cobaan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya cobaan (musibah), dan sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberikan cobaan kepada mereka, maka barangsiapa ridha, maka baginya keridhaan dari Allah dan barangsiapa yang benci, maka baginya kebencian dari Allah.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Nah untuk menambah detailnya kefahaman dalil – dalil ini, mari kita resapi dua cerita singkat di bawah ini.
Sebut saja Toni, waktu itu, tahun 1995, mengalami kecelakaan di tol Cikampek. Mobilnya terbalik di jalur pembatas. Ia tak ingat siapa yang nyopiri. Yang pasti, teman satu mobilnya meninggal setelah koma lebih dari empat tahun. Toni ”hanya” koma 25 hari. Dan, selama tidur panjang itu, ia seperti menghadapi layar lebar perjalanan hidupnya. Segala ulah Toni dan perilaku kenalan dia tersorot diputar ulang. Buntutnya, begitu sadar, beragam kebusukan orang di layar itu melekat pada otaknya. Ia muak oleh kemunafikan mereka.
Selain itu, ”Saya menjadi sensitif, peka,” katanya. Melihat seseorang, langsung bisa membaca pikiran dan kelicikannya. Toni memang tak berani menjamin ramalannya 100% jitu, tapi paling tidak 70-80% oke. Bukan hanya itu, ia juga merasa ucapannya bertuah. ”Saya takut bicara yang jelek-jelek,” katanya. Maka, sifat pemarahnya pun ditekan. Bila ada orang yang mencemooh, mencaci, menghina, memfitnah, bahkan seumpama meludahi pun, tidak akan dibalasnya. Padahal, dulu Toni dikenal sebagai preman yang main tempeleng. Perilakunya berubah total. Hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain, pesannya.
Kini Toni prihatin atas moral bangsa ini yang nyaris hilang kepekaan dan tak punya rasa malu. Misalnya, tinggal di kompleks mentereng, mobil berderet, tapi giliran dimintai sumbangan untuk kepedulian sosial, aduh pelitnya minta ampun. Uangnya cuma menetes. Tak sebanding dengan rezeki dari Allah. Maka, di mata Toni, berbuat baik itu terasa jadi barang langka. Karena itu, ia ingin memberi keteladanan. Nasihat ”jika tangan kananmu memberi, tangan kirimu jangan sampai tahu” tidak sepenuhnya disepakati. Ia – bermadzhab tubdus-shodaqoh alias terang-terangan – memberi justru berharap agar amalnya diketahui orang, dengan catatan: ”Tuhan, tolong tutup keran keriya’an saya.”
Dan, jika Islam mewajibkan zakat 2,5%, Toni bisa menyisikan 60% rezekinya untuk zakat, infak, dan sedekah. Ia mengibaratkan diri sebagai talang air, yang sekadar basah. Konsep meringankan umat ini, alhamdulillah, justru membuat rezeki Toni, yang memiliki sekitar 100 karyawan itu, tidak pernah kekurangan. Rezeki datang tanpa dinyana. Bayangkan, saat keluar dari rumah sakit, Toni masih punya utang Rp 40 juta. Rumah dan mobilnya ludes. Tapi, enam bulan kemudian, ekonominya pulih. ”Itu sangat sulit dinalarkan. Tak masuk akal,” katanya, sembari geleng-geleng kepala dan menyebut kebesaran Allah.
Hidupnya pun tanpa keserakahan. Jika ada sanak atau teman perlu bantuan, ia tak segan-segan menolong. Kendati orang yang ditolong itu belakangan ngemplang plus menjelek-jelekkan, Toni tetap menggusur kebencian dari otaknya. Maka, kala rekan itu datang tanpa malu dan minta tolong, ”Ya, saya menolongnya,” katanya. Konsep ”talang air” tetap dijalani. Beberapa waktu lalu, Toni mengumrahkan 15 orang ke Tanah Suci.
Lain lagi dengan lakon yang satu ini. Orangnya sebatang kara, setelah mengalami pahit – getirnya kehidupan kemudian sadar di usia senja. Sebut saja namanya Muladi. Kala muda, dia kaya. Namun, karena terobsesi meraup duit banyak tanpa harus bersusah payah, ia pun main judi. Buntutnya, mesin jahit dan rumah pemberian ortunya amblas di meja judi. Ia menyadari selalu kalah bertaruh, tapi tidak pernah kapok. Di mata dia, ketegangan demi ketegangan yang didapat lewat judi sangat mengasyikkan. Dia bersikeras menguasai dan terikat pada alam materi. Tapi, begitu orang tuanya meninggal, Muladi seperti tercampakkan dari keluarga.
Ia bak sampah. Lagi-lagi pelariannya adalah judi. Adapun modal uang untuk judi diperoleh dari mencuri. Ternyata, makin sering mencuri, ia makin percaya diri. Modal utama maling adalah tabah dan berani. Ketakutan harus bisa dikuasai. Falsafah itu dibuktikan. Saat menyatroni rumah orang kaya, misalnya, Muladi dengan tenang melangkahi orang tidur. Patung emas di atas kepala orang itu direnggutnya, tanpa terburu-buru. Sebab, jika tergesa-gesa, akan dimakan oleh ketakutannya sendiri.
Esoknya, hasil curian itu lenyap di meja judi. Begitu berulang kali, hingga akhirnya ia ditangkap dan dijebloskan ke bui. Kapok? Tidak. Penjara justru merupakan ”sekolah” ilmu permalingan. Ia bisa belajar ilmu menghitung hari, jam, dan waktu yang tepat buat mencuri dari sesama pencuri. Selain maling, juga mencopet. Saat kereta api mau berangkat, misalnya, ia amati sasaran. Begitu peluit tanda berangkat kereta ditiup, Muladi segera beraksi. Dalam sekejap, ia mampu menggondol jam, kalung, atau gelang. Teriakan korban tidak berarti apa-apa, karena Muladi sudah melompat keluar kereta.
Hasil jambretan itu dijual pada tukang tadah. Begitu duit di tangan, Muladi berjudi lagi. Minum dia tak suka, main perempuan takut ketularan sipilis. Baru sekitar 20 tahun lalu, ia menyudahi petualangannya. Muladi bekerja sebagai pembantu tukang tambal ban, penjaga perpustakaan keliling, dan terakhir jadi tukang tulis papan nama. Ia tak lagi terobsesi oleh angan-angan muluk. Penghasilannya kecil tapi dirasakan cukup. ”Orang merasa susah karena ia memikirkan bagaimana hidupnya besok pagi. Saya tidak pernah berpikir tentang besok pagi. Besok ya besok, nanti ya nanti,” katanya. Baginya, cukup berarti jika hari ini ada uang untuk makan.
Begitulah falsafah hidup Muladi, yang cuma tamat sekolah rakyat tapi gemar membaca ini. Muladi percaya pada Tuhan, tapi tidak seperti yang digambarkan dalam agama. ”Bagi saya, agama adalah fakta. Yang jelek atau yang baik, itu juga hanya bisa dilihat dari fakta. Apa yang baik menurut agama belum tentu baik kalau faktanya jelek,” ujarnya. Pemahaman itulah yang membuat Muladi merasa harus bermanfaat bagi orang lain. Saat di kantongnya ada Rp 30.000 pemberian rekan, misalnya, dipastikan uang itu akan beralih pada orang yang sedang membutuhkan. Bisa ia berikan pada tukang becak yang seharian belum narik penumpang. Tetangga yang perlu Rp 25.000 untuk ke dokter pun dengan ringan tangan dicarikan uang.
Sepertinya, di saat Muladi butuh bantuan, selalu ada yang mengulurkan tangan. Ia orang yang tak pernah punya uang, tapi tidak pernah merasa kekurangan. Ia merasa tidak punya bakat kaya. Alasannya, untuk jadi kaya itu harus berani pelit dan tega pada orang lain. Sifat-sifat itu tak dimilikinya. Sebenarnya, secara tak langsung, Muladi telah menerapkan pelajaran tentang rahasia alam. Ia memberi dengan landasan empat tepat: tepat niat, tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat manfaat. Artinya, dia memberi pada orang yang mengerti dan menyadari diberi sehingga pemberian itu dihargai dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dan, itu tidak mudah. Butuh keikhlasan yang dalam. Banyak orang yang berlebihan, tapi kemurahan hatinya nol. Jangankan untuk memberi, mengucapkan syukur atas rezeki yang masih hangat di tangan pun mulut seakan terkunci. Keangkuhan hati sering tidak mampu membebaskan diri dari segala benih kebusukan dan kemunafikan.
Sebuah pelajaran berharga tentang memberi telah dicontohkan dengan apik oleh Muladi dan Toni. Orang – orang yang notabene tidak memahami dalil – dalil di atas. Tahu pun tidak, tapi mampu memberikan keteladanan. Walau ada kurang di sana – sini. Pada sisi lain, dari rumah-rumah megah, banyak orang menumpuk harta yang bukan hak. Pada sudut lain, dari rumah – rumah ibadah, banyak orang rajin dan tekun beribadah. Salat, puasa, dan umrah mereka sekadar untuk konsumsi mata. Dan bagi kita, ini layaknya sebuah cermin, menuju kesempurnaan hidup. Tinggal mau apa tidak mengambil pelajaran darinya? Atau tetap membiarkannya? Membuta dan membisu? Menganggap semua itu tanpa arti, walau ada ayat kaburo maqtan (antaquuluu maalaa taf’aluun) yang terus menanti. Memang, berbuat baik, menyingkirkan pikiran buruk, itu pekerjaan yang tidak mudah kawan!
Oleh: Ustadz.Faizunal Abdillah