Saudara atau teman sekampung yang dia kenal pun tiada. Yang kian terasa menyesakkan, si nenek sempat telantar berjam-jam tidak diurus baik oleh rekan-rekan satu kloternya dari Padang, Sumatera Barat, maupun oleh tim medis Misi Haji Indonesia.
Perempuan asal Simpang Empat, Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat itu justru ”diselamatkan” oleh orang lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengannya, yakni Riza, staf Kedutaan Brunei Darussalam, yang kebetulan berada di Hotel Dyar Al Huda, tempat kloter Padang menginap. Reza menemukan sang nenek mondar-mandir di luar kamar, di antara lift yang tidak dipahami Dahniar cara menggunakannya, dan di lorong-lorong hotel. Usut punya usut, nenek Dahniar ternyata sengaja dikunci di luar kamar oleh rekan-rekannya sendiri yang tengah menjalankan ibadah shalat di Masjid Nabawi dilanjutkan dengan belanja berjam-jam.
Riza, yang kebetulan kenal dengan wartawan Indonesia, lantas mencoba mencari bantuan. Dia pun mengabarkan kondisi sang nenek yang telantar itu. Minggu (23/9) siang waktu Arab Saudi, rombongan wartawan yang tengah meliput di Madinah, mengambil alih ”tugas” Riza mengurus si nenek. Laporan ke petugas haji dan tim medis Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Madinah pun disampaikan. Tapi, hingga hampir dua jam, tak satu pun petugas medis dan haji muncul. Si Nenek terlihat makin gelisah. Tanpa selimut, hanya mengenakan mukena bagian atas, jelas sekali dia kedinginan akibat pendingin
udara hotel.
Dahniar sebenarnya tidak berangkat sendirian. Empat tahun lalu ketika mendapatkan nomor porsi, dia mendaftar bersama anak perempuannya, Desniawati (53). Namun suratan nasib bicara lain. Menjelang keberangkatan, Desniawati meninggal dunia. Keluarga berupaya keras ”menyisipkan” anak Desniawati
sebagai pengganti pendamping Dahniar. Nomor porsi yang dipakai tentu saja nomor yang ditinggalkan Desniawati. Tapi, aturan pelaksanaan haji tidak mengiznkan ”penyisipan” atau pergantian orang semacam itu. Maka jadilah nomor Desniawati diisi orang lain, sementara sang nenek mau tak mau
berangkat sendirian ke Tanah Suci.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Belum tergerus rasa kehilangan Dahniar atas kepergian Desniawati, dia mesti berangkat ke Tanah Suci. Di negeri orang, dia dilalaikan saudara seperjalanan. Sri Efenti Syamsuir, perawat yang bertugas di Kloter I Padang, mengatakan bahwa sang nenek ”dilarang” masuk kamar oleh rekan-rekannya karena sering buang hajat sembarangan. Selain itu, Dahniar juga acapkali mengubek-ubek koper orang lain, tak jelas apa yang dicari. ”Dia kadang berak di kasur dan kencing sembarangan. Teman sekamarnya sudah berusaha mengarahkan, tapi tidak bisa. Mereka akhirnya menyerah dan meminta kami (tim medis kloter) mengurus. Kami sudah urus dia, tapi kan ada keterbatasan-keterbatasan. Kami lantas lapor ke BPHI (Balai Pengobatan Haji Indonesia), tapi belum mendapat jawaban,” ujar Efenti, yang baru keluar kamar setelah pintunya digedor oleh wartawan.
Efenti mengaku tengah merawat satu nenek jompo lain di kamarnya sehingga tak bisa mengurus penuh Dahniar. Dokter kloter, Tommy, sedang mencari bantuan ke BPHI Madinah. Tommy harus berjalan kaki karena tidak menemukan taksi –yang memang sangat jarang– sehingga membutuhkan waktu berjam-jam untuk menemukan markas BPHI. Dia memang baru tiba di Madinah sehingga belum paham situasi. Sementara Tommy pergi, Efenti di kamar, dan rombongan kloter shalat di Nabawi, semua kamar di kunci. Sang nenek dibiarkan di luar kamar tak boleh masuk. Makin streslah dia.
Ketika tim medis BPHI tiba, urusan tak sertamerta beres. Sempat terjadi perdebatan panjang antara tim medis BPHI dengan tim medis kloter soal siapa yang seharusnya lebih tepat merawat si nenek. Dokter Jojok Santoso, ahli jiwa BPHI, meminta Dahniar tetap dirawat tim medis kloter, bukan malah diasingkan, agar cepat pulih. ”Dia mengalami keterkejutan mental dan ini sementara. Jangan diasingkan, karena itu akan memperparah. Dia justru harus sering diajak berkomunikasi,” katanya. Tapi, rekan serombongannya bersikukuh menolak saran itu. Mereka beralasan sudah tak sanggup lagi mengurus si nenek. Susah memang. Tanpa ikatan kekerabatan sama sekali, bagaimana mereka sanggup membersihkan kotoran orang di kasur, saban hari pula?
”Teman-teman sekamarnya sudah tidak sanggup lagi bantu. Mereka kan juga harus ibadah. Kalau terus-terusan menjaga si nenek, apalagi kalau pas berak di kasur, kan berat juga,” kata Efenti.
Setelah melakukan negosiasi selama hampir tiga jam, barulah tim medis BPHI dan dokter kloter mencapai kesepakatan; Dahniar dirawat sementara di BPHI, kalau sudah pulih dikembalikan ke kloter. Dahniar tak bisa bersungut-sungut. Dia tak paham apa yang diperdebatkan oleh para calon penolongnya itu. Yang jelas, menjelang petang, dia diajak berkemas untuk pindah ke ruang perawatan BPHI –yang jaraknya tak lebih dari satu kilometer dari Dyar Al Huda tempatnya menginap. Kepala Misi Haji Indonesia Daerah Kerja Madinah, Ahmad Jauhari Chariri, mengatakan, Dahniar kini sudah diurus dengan baik. Sang nenek telah dirawat dan mulai stabil. ”Saya sudah jenguk beliau dan kondisinya stabil,” kata Jauhari.
Payah benar Dahniar. Andai aturan haji tak dipasang kaku, dia tentu akan berangkat bersama salah satu anggota keluarganya sebagai pendamping. Andai tim medis tak berdebat dulu soal siapa yang paling berkewajiban merawat, dia tentu akan lebih cepat tertangani. Tapi apa pun, Dahniar kini sudah
mendapatkan perawatan yang bagus di BPHI. Hanya aturan main soal pendamping itu yang tampaknya perlu dikaji ulang. Dalam kondisi darurat seperti kasus Dahniar, tak bisakah aturan dibuat luwes?
(Dep. KIM DPP LDII, dari Madinah)